Search

20 Okt 2008

HUMA DI ATAS BUKIT


TADI malam saya ‘kesurupan’. Lagi asyik menulis sesuatu di laptop, tiba-tiba mengalun intro lagu Huma di Atas Bukit. Kontan saya menghambur ke ruang TV, bersimpuh, dan ... melelehkan airmata.

MetroTV yang mengudarakannya, dalam program “80-an”. Huma di Atas Bukit ditaruh di ujung acara, dilengkapi klip jadul pinjaman dari TVRI yang melukiskan sukacita awak God Bless (Achmad Albar, Ian Antono, Donny Fattah, Jockie Soeryoprayogo, dan Teddy Sudjaya) bersama keluarga mereka.

Inilah lirik yang menggetarkan saya itu:

Seribu rambutmu yang hitam terurai
Seribu cemara seolah mendera
Seribu duka nestapa di wajah nan ayu
Seribu luka yang nyeri di dalam dadaku

Di sana kutemukan bukit yang terbuka
Seribu cemara halus mendesah
Sebatang sungai membelah huma yang cerah
Berdua kita bersama tinggal di dalamnya

Nampaknya tiada lagi yang diresahkan
Dan juga tak digelisahkan
Kecuali dihayati
Secara syahdu bersama
Selamanya, bersama, selamanya

***

SAYA lupa sedang jatuh cinta pada siapa tatkala pertama mendengar lagu ini, kira-kira kelas 2 SMA. Tetapi saat mengaliri gendang telinga, Huma di Atas Bukit tak ubahnya semilir angin senja ketika kita berdiri di puncak bukit yang sepi. Tak ada deru mesin, tak ada sumpah serapah tetangga, tak ada sesuatu pun yang mengusik. Begitu damai, begitu senyap, indah dan penuh warna.

Dua menit sesudah lagu itu usai, saat kelas 2 SMA itu, saya segera membayangkan bakal berumah tangga secara sederhana dengan rumah mungil, dengan anak-anak yang ceria dan istri yang tak rewel.

Saya menghidupi mereka dari honor tulisan. Sesekali memancing di kali bening. Bermain layang-layang di perbukitan. Memboncengkan anak-anak dengan sepeda kumbang melewati kebun dan jembatan.

Kami duduk selonjor di bawah randu, mengamat-amati pelangi, menggoda kupu-kupu, memandang bulan merah saat petang tiba. Anak-anak berlarian di padang ilalang ketika ibunya datang dengan sekeranjang pisang. Kemudian kami saling bergandengan tangan saat pulang.

Fragmen kehidupan kami ringan tanpa beban. Tak ada sesak dalam dada, tak ada murung yang memasung. Kami berteman tempias hujan, menciptakan surga dalam rencana-rencana yang bersahaja.

***

BERTAHUN kemudian, ketika lagu Huma di Atas Bukit ditimbuni jaman yang berubah, saya nyaris melupakannya. Idealisme tak ubahnya omong kosong belaka. Kapitalisme telah merasuki ruang terdalam sumsum tulang.

Sampai kemudian tadi malam lagu God Bless produk 1976 itu menggaung lagi. Saya tersentak dan berurai airmata ...

19 komentar:

Anonim mengatakan...

Duh yang lagi nostalgia

Anonim mengatakan...

Mas arief dari dulu romantis. sayang gw cowok. kl cewek udah kucakar punggungnya dengan mesra, bhwuahakakaka

Anonim mengatakan...

om ayip jadul tapi bikin gemes, hihihihi ... guyon loh mas, wekekekek

Anonim mengatakan...

Mantap bos!

Anonim mengatakan...

Hahahaha .. sampeyan emang bisa aja. Huma di Atas Bukit kegemaran aye juga loh rif, cuman terkadang aye juga melayang bersama "Dirimu"-nya Gank Pegangsaan

Anonim mengatakan...

wohohohoho, bang arif bisa aja. Selalu sendu gitu yo om sewaktu menyimak lagu-lagu pujaan? Hmmm ...

Anonim mengatakan...

Tulisannya bikin dada meratap dan tak mau hinggap. Mas Arief, pa kabar? Yuk bertemu lagi pada kesempatan yang lebih menantang.

Riema Ziezie mengatakan...

sebuah nostalgia yang indah ya...terkadang sesuatu itu indah kita angankan tapi tidak indah dalam kenyataan

Enno mengatakan...

aku lupa lagunya kayak apa mas... bisa nyanyikan untukku? :D

-- mengatakan...

so sweet....
Terkadang saya juga mendambakan hal yang indah seperti itu....
Walaupun saya sadar terkadang mimpi ga selalu jadi kenyataan....
Tapi saya yakin, keindahan selalu datang pada saat yang tepat walupun dengan kondisi yang berbeda :)
Nice post... bikin terharu...

Anonim mengatakan...

wew..

itu lagu kesukaan saya juga mas, dan sebenarnya udah bikin tulisan mengenai judul lagu tersebut juga, tp dah keduluan posting. selamat mas, angan2 kita sama! *kok diselametin segala nopo ik? :p

wiwien wintarto mengatakan...

sama. aku juga berurai air mata... karena nggak sempat nonton!
kuwi wiwikwae nang kene gek opo!? simon NDI!??

Arief Firhanusa mengatakan...

@alea: Iya, nostalgia adalah bagian dari serat2 hidup

@bebek: ojo nakal tho, tar kubocorkan ke Reni loh! Hahaha ...

@imut: pssstt jangan kenceng-kenceng, tar mbak dengar!

@fatamorgana: apanya sih yg mantap?

@kang ipank: waaaa "Dirimu" juga oke kok

@pepatah: iya, cengeng ya?

@mas kaleng: yuk, kapan-kapan ya.

@enno: sayang ngga bisa main gitar nno

@Hellen: I hope so. Makasih sudi mampir

@mbak wie: mungkin kita hidup dalam era yang sama ya mbak wie, dan kebetulan selera kita sama, hihihi

@wiwin wintarto: long time no see om Win? Jujur saya pernah mencandui tulisan-tulisan Anda. Thanks mau mampir.

Anonim mengatakan...

memimpikan hal2 nikmat itu bagai candu. aku pun suka melakukan hal yg sama...meski impian gak selalu menjelma kenyataan tapi aku gak sudi mengenyahkannya. yg penting gak sampai lupa menginjak dunia nyata...hi3x

goresan pena mengatakan...

hei...senang sekali membaca 'racun'2 yang menginfiltrasi kayak gini, temanya sederhana, tapi penulisannya 'ngena'...salam kenal mas..

saya link blog nya yah..

oya, hm..kadang, sebuah lagu bisa menggiring kita untuk mengeja masa lampau..

Syaiful Safril mengatakan...

NIce POsting.....
I like it

NAZA LUCKZANA mengatakan...

luar biasa...kenangan memang mampu terbawa lagu.. seperti virus yang kekal bersarang....

Anonim mengatakan...

wah...kalau lagu ini memang lagu faforite saya..lho..goodbless sempat jadi lagu wajib buat band kami dulu...hehe

Ge Siahaya mengatakan...

Hmm....ada juga ternyata laki2 yg melankolis dan berani ngaku mencucurkan airmata di tanah ini.. *L*--bukan mimpi kan ini ya? *cubit diri sendiri--auuuchh*