Di kelompok “jadul”, saya bersyukur punya Mas Arief Burhanudin. Orang Semarang yang bekerja di Indomedia Group ini sikapnya mirip saya dalam berondongan banjir alternatif musik masa kini: tak mudah terpengaruh oleh gemerlap palsu penyanyi-penyanyi baru.
Kemarin, misalnya, ia membantu blusukan ke mailing list dan seabrek situs yang memuat lagu-lagu 80-an, saat saya utarakan padanya mengenai keinginan saya memiliki lagu-lagunya Harry Rusli plus DKSB-nya itu.
Meski hasilnya kurang maksimal karena lagu-lagu hits Kang Harry sudah jarang beredar – bahkan di internet sekalipun – namun ada satu kesamaan dalam menyikapi blantika musik.
“Penyanyi jaman dulu itu pakai soul, Mas, sedangkan yang sekarang cuma menuruti tuntutan industri,” ujarnya. Saya mengangguk sepenuh hati.
Lalu kami bercakap tentang Andi Meriem, Fariz, Ikang Fawzi, God Bless, Jingga, Harry Mukti, Adegan, Ian Antono, Nicky Astria, bahkan sampai Basiyo, pelawak legendaris yang barangkali tak dikenali oleh generasi kini.
Andi Meriem, atau Ebiet, atau Franky Sahilatua, Iwan Fals dan sebagainya, menyanyikan tembang dengan penuh kesungguhan, penuh makna, penuh penjiwaan. Labels major juga belum sebanyak sekarang. Dulu, Musica Record adalah pemain tunggal meski ada beberapa mayor label lain yang mencoba menguntit.
Para penyanyi lawas itu juga dibekali bakat alam. Simak suara Broery Pesolima, Utha Likumahuwa, Harvey Malaiholo, Sundari Sukotjo, Keenan Nasution, Mus Mujiono, Dian PP-Dedy Dukun, Trie Utami, Ruth Sahanaya, Vina Panduwinata, Rafika Duri, Fariz RM, Rita Effendi, Agus Wisman, Atik CB, Ermy Kulit, January Christy, hingga Indra Lesmana.
Suara-suara mereka megah tanpa sentuhan mixer. Suara-suara yang kelasnya festival dan bukan asal. Suara-suara yang telah dimasak oleh perut-tenggorokan dan bukan karbitan. Suara yang asli dan tak dikebiri.
Mendengar Andi Meriem melantunkan Bimbang, Rela, Lenggang Lenggok Jakarta, atau Pasrah, jantung serasa diajak berlarian ke wilayah penuh bunga. Menyimak Harvey menyanyikan Dara atau Seandainya Selalu Satu, dada dipenuhi kilau nirwana. Memutar kaset Dian PP dan Vina, hati ini diselipi asmara dan cinta.
Pada masa kini, tatkala musik sudah dikangkangi komoditi, kita seolah langsung dihadapkan pada para penyanyi yang semuanya bersuara bagus, dengan tata musik yang seakan seragam. Gelontoran grup band nyaris tak terkendali, sebab setiap tahun lahir begitu banyak kelompok. Sedikit saja di tengah mereka benar-benar punya ciri khas sebab mereka membangun aransemen yang sama, tanpa menafikan beberapa grup yang punya karakter kuat macam GIGI, Slank, Letto, atau Cokelat.
Vokalis bersuara bagus bisa saja segera diciptakan dari sosok yang antah berantah lantaran kini ada banyak peralatan guna mendongkrak. Mixer merupakan piranti sulap paling ampuh untuk memperkenyal vibrasi penyanyi supaya tampak keren. Padahal, aslinya kapasitas mereka pas-pasan.
Industri musik tak ubahnya penerbitan buku. Setiap label mayor mencantumkan target sekian kaset saban tahun, sebagaimana penerbit yang dikejar-kejar keharusan menerbitkan buku agar tetap eksis, biarpun buku-buku tersebut pada akhirnya hanya teronggok di rak toko!
Itu mengapa sebuah grup musik yang diwawancarai oleh Tukul dalam “Empat Mata”, Selasa (8/7) lalu terpeleset omong dengan mengatakan bahwa bagi mereka bukan masalah jika CD-nya dibajak orang. “Pembajakan malah menguntungkan kami karena ada promosi gratis,” ucapnya.
“Promosi murah” ini tentu kaitannya dengan daya penetrasi pasar untuk lebih lekas mengenalkan lagu-lagu kelompok musik tertentu, lantaran target mereka untuk BEP bukan dari penjualan CD/kaset, melainkan meraup keuntungan lewat konser atau menjadi bintang iklan!
Saya merasa bersyukur punya kawan macam Mas Arief Burhanudin itu.
8 komentar:
kemaren ke djendelo kafe di jogja... wah disitu lagunya jadul2 semua... tapi enak2. cobain mampir deh mas :)
@enno
daerah mana tuh? rasanya baru denger nih.
saya beruntung punya guru sampeyan.
aku lulus ya? duh!! padahal aku pengen terus berguru boss..
@blue
udah, dah lulus, wahahaha ...
beruntung mas arif hidup di 3 jaman (hihihihi). setidaknya bisa menoleh ke belakang dan menilai perkembangan terkini soal musik.
bagus mas tulisannya, bisa buat referensi. aku jg pencinta musik loh, cuman bs maen gitar aja sih. suaraku ga keruan masalahnya, hahaha
Bener, Pin, saya beruntung hidup di jaman Ebiet, Slank dan Kangen Band.. huehehehe
loh, mas arief jadul tho aslinya? kirain masih belia, hahaha
Sip mas. cuman sampean lupa bahwa di tiap generasi dan jaman selalu ada tren. tren yg trus berkembang mengikuti arah angin. Bukan perbuatan dosa andai anak2 ABG sekarang lebih demen BCL atau D'Massiv ketimbang Koes Plus atau The Mercy,, hihihi
iya, Mira. utk satu itu saya setuju banget nget. Cuman, kata bokap-nyokap, ngga ada salahnya pula melestarikan khazanah permusikan negeri ini. Kalau ngga kita, siapa lagi?
So, sambil dengerin GIGI atau DEWA19, toh ngga salah andai di rak CD juga ada album Harvey Malaiholo atau Vina Panduwinata.
Thanks telah mampir ke sini, Mir.
Posting Komentar