Menyimak berita televisi belakangan ini miris rasanya hati. Segenap stasiun mengabarkan tentang ketimpangan. Sesi pertama seluruhnya memberitakan angka-angka mencengangkan tentang sogokan Rp 6,6 miliar dari Artalyta Suryani ke jaksa Urip Tri Gunawan, sesi berikutnya memberitakan masalah kekeringan. Ratusan warga Tasikmalaya ramai-ramai menenteng jeriken, menuju mata air di sebuah sawah yang berjarak 3 kilometer dari rumah, demi mandi, minum, dan menanak nasi.
Saya tak mengungkit kebijakan stasiun televisi perihal sesi-sesi lara dan nestapa yang ditaruh secara ‘bertetangga’ – meski kepiluan lain juga diusung di trap berikutnya penyuguhan berita, umpama soal mutilasi terhadap Aril Somba Sitanggang oleh Ryan, sesama homoseksual, yang menambah-nambah kepedihan hati – lantaran keredaksian TV punya pertimbangan news value yang rancak sesuai pakem masing-masing jurnalisme televisi.
Yang membuat ngilu, negeri ini seolah sedang berada dalam pusingan angin yang membanting-banting kaum papa dengan debum yang amat menyakitkan. Di jajaran elite dan berduit, uang seolah kertas tak berharga yang begitu mudah dilempar ke keranjang sampah. Di dunia duafa, seseorang perlu menjilati nasi basi untuk sekadar memperoleh 10 ribu rupiah.
Memang benar KPK gesit menyikat koruptor. Tetapi yang terkuak kemudian adalah munculnya semacam presentasi massal bahwa negara yang pernah dijajah Jepang dan Belanda ini keropos luar dalam, bahkan barangkali seperti dijilati belatung yang beranak pinak di sekujur tubuh Bumi Pertiwi.
Seorang kawan pernah menyebutkan,
Kesempatan memang seolah tersodor di depan mata, jika siapapun di negara ini memperoleh jalannya. Nyaris tak ada beda antara preman yang mengompas pedagang sayur di ujung pasar, dengan pria-pria (belakangan juga wanita) berparas licin dan lehernya digantungi dasi. Seluruh akses menuju “menjadi pekerja” perlu dilalui dengan pelicin. Sampai-sampai menjadi portir sebuah bandara pun seseorang harus mengeluarkan belasan juta rupiah untuk mempermudah.
Seluruh harta kekayaan negara hanyalah untuk kemakmuran rakyatnya. Namun hatiku selalu bertanya-tanya mengapa kehidupan tidak merata.
Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Yang kaya makin kaya,
yang miskin makin miskin
3 komentar:
memang benar bang. Negeri ini sedang dijilati belatung yang beranak pinak di sekujur tubuh.
gak nyangka... ternyata si mas penggemar bang rhoma hehe hapal lagunya cink! :)
tulisan ini menambah daftar panjang kebencianku pada kaum kapitalis...
walau harus aku akui kalau saat ini aku masih membutuhkan mereka...
Posting Komentar