WAJAH yang diguyur garis-garis keriput cokelat. Pupil mata perempuan mungil ini diliputi lara. Dari balik kerudung hitam, ia menerawang ke jalanan dengan sejuta pertanyaan: kapan semua ini berakhir? Kapan Tuhan memanggil untuk menyusul suami dan anak saya?
Hari-hari yang lebam. Perempuan ini mengais rejeki dengan mengundang orang untuk memahami nasibnya yang malang. Ia tak butuh iba, tetapi tak ada lagi yang bisa ia lakukan di usia 55.
“Seribu dua ribu mungkin bisa menyambung hidup saya. Saya tak mau dianggap pengemis. Ini saya lakukan semata karena saya tak punya apa-apa lagi. Saya tidur di terminal, halte, emperan toko, dan ruang tunggu rumah sakit. Di rumah sakit tak ada yang mengusir karena saya seakan sedang menunggui famili yang tengah mondok,” tutur Sumari, nama perempuan ini, di halte Kerten, Solo, suatu pagi, dengan lirih.
Saya menyodorinya dua kotak minuman kardus, rasa kacang hijau dan susu. Ia menolak. “Buat Mas saja. Saya sudah punya air minum di tas itu,” tolaknya seraya menunjuk sebuah tas yang teronggok di kursi halte. Saya melirik. Bukan sebuah tas dalam makna sesungguhnya, tetapi hanya kain kumal yang dilipat menyerupai tas. Tapi saya mendesak. Akhirnya ia menerimanya.
Sumari – ia minta dipanggil Bu Sum saja – mengisahkan ihwal mengapa ia menjadi pengelana. Gempa bumi di Yogya dan sekitarnya, 26 Mei 2006, ‘membunuh’ anak semata wayangnya, sang suami, serta hampir seluruh kerabat.
“Anak dan suami saya mati kejatuhan blandar (rangka kayu rumah, letaknya di atas langit-langit) saat gempa terjadi. Rumah kami remuk. Saya kehilangan orang-orang yang saya cintai, harta benda, dan pengharapan,” paparnya pilu.
Sang anak baru saja menuntaskan pendidikan di STM. “Sebelum gempa ia ikut tes di PLN Bantul, dan diterima. Bulan Juni ia sudah bisa bekerja. Tak tahunya akhir Mei terjadi gempa bumi ... “ air mengembang di sudut matanya. Bergulir perlahan dan mengairi pipi.
Saya menyentuh tangannya. Tapi ia makin tersengal. Saya ingin memeluknya, membawanya berlarian di ladang jagung, memetik semangka dan buah delima ...
8 komentar:
mas, ada yg aku gak ngerti tentang 'berlarian di ladang jagung, memetik semangka dan buah delima'...
maksudnya????
@enno
membuat Bu Sumari bahagia, karena beliau berhak atas semua yg menjadi haknya. Ia telah memenuhi kewajiban sebagai ibu dan istri, tetapi hak-haknya dirampas oleh gempa.
ahahh...si enno tumben gak ngerti maksud tulisan si Mas...
Jika ketemu lagi Bu Sum yang lain, sampaikan juga salamku buat mereka yah, Mas :)
Paling tidak saat kita mendengarkan ceritanya, mereka tidak merasa sendiri lagi dan diacuhkan dunia...
masalahnya menurutku, ungkapan itu gak nyambung sama cerita, mei...
lagian belum tentu juga ibu itu mau diajak lari2 di ladang jagung... emangnya gak capek apa? dia kan udah tua je!
Trus, trus, emangnya mas arief yakin bu sum doyan semangka dan buah delima? hehehe :P
@enno
hmm, enno udah melupakan detail kalimat bersayap rupanya. Ini kan sama aja kalau kamu nulis intro ini di judul "Menjelma Burung":
"Aku akan menjelma burung. Mengikuti petunjuk angin, terbang ke kotamu yang syahdu. Bertengger di atap rumahmu yang kelabu oleh debu dan pahat waktu"
Ya kalau burung mau dijelmai sama kamu, bhuwhahahaha ...
@ mas arief jelek: hehehe gak mau kalah ye... burung pasti mau laaah... secara keren ginih guenya weks! :P
kenapa musibah justru singgah ke mereka yang hari2nya selalu menderita lahir batin yah...
apa karena mereka tidak bersyukur dan hanya mengeluh saja...
apa karena rasa syukur mereka tidak pernah sampai ke Sang Pencipta...
karena hidup adalah perang dan masing-masing manusia punya jihadnya sendiri.
karena hidup adalah kasihNya dan Dia senantiasa pencemburu dan ingin tau sampai batas mana mahluk-mahluk terunggul yang paling Dia kasihi itu dapat bertarung dan masih percaya padaNya.
karena pada tiap helaan nafas adalah belajar. dia untukmu, untuk aku, untuk mereka, dan untuk dirinya sendiri.
(kerjaan saya tinggal selembar lagi. yay!)
Posting Komentar