Ma, hari ini aku menangis lagi. Sprei jingga hadiah Mama kini basah oleh airmata. Aku tak sanggup lagi, Mama, aku tak kuasa lagi menyembunyikan kegetiran ini.
Aku bukan lagi perempuan kecil yang main lompat tali. Tapi hatiku tetap saja balita. Mama mengajariku untuk mengepak seperti kupu-kupu, namun tak ada yang bisa menghelaku untuk terus terbang seperti layang-layang.
Betapa malunya hati ini, Mama, sebab aku tak mampu mengeja makna cinta. Telah Mama ajarkan bagaimana cara mencintai dan dicintai, sebagaimana Mama bersikukuh mencintai Papa yang berkaki timpang dan bongkok. Mama bersikeras menemani Papa sampai mati, kendatipun Papa tidak lebih tinggi dari mama. Mama hanya mencintai Papa sejak pandangan pertama, dan terus berhati baja. Mama mencintai Papa sebagai pria pertama dan selamanya.
Mata mama indah dan berseri-seri. Hati mama pun bening seperti telaga. Sayangnya aku hanya mewarisi pijar mata, tinggi semampai, dan kuning langsat, tetapi tak mampu menjaga dengan sempurna kelenjar rasa.
Kelenjar yang kini tak tahan goncangan, sehingga setiap kali datang lelaki dan kemudian pergi, aku mendadak runtuh dan mengeluh. Lelaki yang hanya datang seperti kumbang, kemudian pergi ke rimba lagi.
Aku seperti perempuan kecil yang main lompat tali, mengaduk-aduk perasaan lelaki, menjerat hingga sekarat, lalu membiarkannya berlalu. Seperti itu berulang-ulang, sampai akhirnya tibalah waktunya untuk memilih satu saja di antara mereka. Usiaku sudah siap menikah dan punya arah. Tapi, terlambat, Ma, aku tak ubahnya maniken yang ditaruh dalam gudang ketika sudah digunakan.
Mama, mengapa ada karma?
*Elegi untuk Enny, adik bungsuku, yang sekarang tengah menunggu kelahiran anak keduanya di Pontianak. Semoga Tuhan memberkati. Kecup sayang.
1 komentar:
Peristiwa pernikahan memang membuat haru. Terlebih pada saat acara sungkeman. Aku tidak pernah tahan, tak meneteskan airmata.
Sebuah tulisan yang manis dari seorang kakak...
Posting Komentar