Daun-daun berguguran di Bumi Pertiwi. Ranting-ranting patah di negeri ini.
Alam tengah melakukan ritual penting dalam rangka menguji kadar kebangsaan penduduk negara penuh cobaan ini. Ritual yang meranggas pohon kekar masa lalu, untuk digantikan dengan tunas baru yang lebih segar dan kuat.
Bulan Mei seperti periuk di atas tungku. Soeharto berdebum terjerembab pada 1998, ketika reformasi mengusung benderanya. Kebangkitan nasional membawa roh Boedi Oetomo ke segenap sumsum siapapun yang masih merasa punya Sang Saka.
Alam pula yang memberi tanda-tanda tentang peringatan. Orang-orang perkasa dipetik dari haribaan, lalu disemayamkan dalam senyum Tuhan. Sophian Sophiaan, Ali Sadikin, kemudian menyusul SK Harimurti. Siapa lagi? Siapa lagi yang bakal ‘mengkat’ guna menandai makna ketulusan?
Bulan Mei ini begitu banyak aksara. Begitu banyak airmata. Begitu meluap emosi jiwa. Piala Thomas dan Uber menjadikan Istora mirip negara kecil tempat kebersamaan direkatkan. Teriakan “Indonesia!” serta kelebat bendera meruntuhkan apapun yang menyekat. Siapapun kamu, apa agamamu, darimana kamu dilahirkan, darah kuning atau jingga dalam tubuhmu, hitam atau putih kulitmu, semua satu: Indonesia!
Istora melupakan sejenak puing-puing, sebab pada keesokan harinya kembali kita dihadapkan pada debu dan kutukan. Indonesia adalah negara yang terseok dan terlindas. Negara yang dicemooh dan diludahi. Negara yang akrab dengan bencana. Negara yang ditindih kemiskinan, padahal katanya makmur sejahtera.
Negara yang dibelit utang. Negara yang orang-orangnya telanjang, meski katanya penuh kepribadian. Negara yang orang-orangnya menyemir rambut, meski katanya punya adat ketimuran. Negara yang dikorupsi pejabatnya. Negara yang dipenuhi polisi yang menyikat duit rakyat jelata. Negara yang memperkosa ibunya sendiri!
Indonesia, oh, betapa laknatnya para pengelola! Ibu Pertiwiku, mengapa kau cecapkan pahit ke sumsumku?
Kebaya merah kau kenakan
Anggun walau nampak kusam
Kerudung putih terurai
Ujung yang koyak tak kurangi cintaku
Wajahmu seperti menyimpan duka
Padahal kursimu dilapisi beludru
Ada apakah?
Ibu
Ceritalah seperti dulu
Duka suka yang terasa
Percaya pada anakmu
Tak terfikir tuk tinggalkan dirimu
Ibuku, darahku, tanah airku
Tak rela kulihat kau seperti itu
Ada apakah?
Ibu
(Kebaya Merah, Iwan Fals, Album SWAMI II 1991)
3 komentar:
saya tidak tahu kalau ternyata bp. Ali Sadikin jg 'pergi'. Setelah jalan2 ke beberapa blog temen2 baru sadar. Dan ternyata Mas juga sudah menuliskan disini...
Selamat jalan...
Ada satu lagi 'daun berguguran' yang ga diliput oleh media, yaitu papaku.
Setidaknya, bagi kami, dia adalah pahlawan, 'daun penting dari family tree kami', dan panglima keluarga.. dan dia dipanggil tepat seminggu sebelum Sophan Sophiaan..
Anyway, nice blog mas.. Salam kenal :)
Mas Arief, apakabar? Beberapa hari ini blog mas eror ya? v mo baca tapi ga bisa. Makasi ya mas, udah mau baca blog v, secara tulisan v ga ada apa2nya dibandingkan dengan tulisan mas. V senang d bacanya.
Komentarin tulisan v lagi ya mas, biar v semakin semangat nulisnya hehehe
Posting Komentar