Search

16 Mar 2009

KETIKA SAYA TAK DIHONORI


Uang bukan berhala. Tak diupahi tidak membuat saya sekonyong-konyong bangkrut. "Upah" dalam bentuk lain mengandung gizi dan lezat di hati ...


SEROMBONGAN mahasiswa dari kelompok "anu" – markasnya di sebuah gedung tua di Jalan Durian, Banyumanik, Semarang -- menyalami saya, bulan lalu.

"Ini sekadar cendera mata dari kami," ujar satu diantara mereka sebelum saya menghambur pulang.

Di mobil, bungkusan saya buka. Isinya plakat "tanda terima kasih" untuk apa yang saya berikan selama dua jam di depan mereka.

Sejenak saya muram. Saya pikir ada amplop berisi sekian ratus ribu, seperti biasa disodorkan oleh mereka yang meminta saya jadi pembicara workshop jurnalistik. Namun, semenit kemudian saya tersenyum. Plakat saya taruh di bufet khusus sesampainya di rumah, dan saya bangga memandanginya sesekali.

Pagi setelah workshop, sebuah "surat pembaca" di Harian Wawasan, Semarang, 'memaki' panitia workshop yang tak becus memberi honor. Surat pembaca dari pembicara lain yang sesinya bertetangga dengan jam saya. Kalimatnya pedas. Saya tak tega menulis di sini.

***

UANG, entah mengapa, memijat adrenalin untuk murka. Saya tak menyalahkan rekan wartawan dari media lain yang menyumpahserapahi panitia workshop tadi, sebab diundang acara beginian bukanlah persoalan gampang.

Kita menyisihkan waktu -- ijin maupun membolos -- dari rutinitas. Selebihnya pembicara mesti konsentrasi, mengulik referensi dari sana-sini, dan tak mudah mengajar sekian puluh orang untuk memenuhi kewajiban moral sebagai penyaji materi.

Saya sempat berhadapan dengan sejumlah mahasiswi yang mengantuk. Barangkali lantaran bosan, atau sesinya memang pas makan siang sementara nasi kardus belum dibagikan. Terpaksalah saya turun dari mimbar, duduk dan jalan-jalan di tengah mereka, dan sesekali mengumbar trik-trik memikat, umpama mengajak mereka tebak-tebakan.

Karakter audien beragam. Saya perlu 'mencubit' mereka dari godaan tidur dengan cara memuji seseorang. Di barisan nomor dua dari depan, seorang mahasiswi mirip Angelina Sondakh. Saya tanya dia dengan tiba-tiba: "Eh, mbak yang pakai baju ungu adiknya Angelina Sondakh, ya?" Sontak semua tertawa. Suasana pun fresh lagi.

Nah, pengerahan energi seperti itu memang memakan tenaga. Mungkin saja rekan yang komplain tadi merasa telah susah payah, tetapi pulang-pulang tak dibayar rupiah.

Tetapi, bagi saya, tak masalah saya tak diupahi (dalam bentuk duit), karena acara-acara semacam ini -- yang kebanyakan digelar para mahasiswa -- menuai beberapa kesadaran saya tentang arti "mengasah ilmu" setelah sekian waktu terkubur lantaran dalam pekerjaan lebih banyak mengaplikasikan praktik ketimbang teori.

Dalam benak saya juga lahir satu adagium mulia: "Berbagi ilmu bukanlah pekerjaan hina".

Satu lagi, mahasiswa lebih sering suntuk soal keuangan ketimbang berlebih. Saya pernah menjadi mahasiwa, dan kere melulu adanya, huhwhahahaha ... !!

20 komentar:

Anonim mengatakan...

aku ngakak waktu njenengan menyebut 'mirip Angelina...'. hanya membayangkan ekspresi Mas Arief saja, seperti biasa... hahaha...

ngomong2, mahasiswanya pasti jalan Durian ta, bukan di jalan Kanfer, Banyumanik ta, mas ? :D

Sekar Lawu mengatakan...

Waktu saya masih mahasiswa, kalau mau ikutan seminar dan harus bayar...waaa...saya suka mundur karena gak punya fulus. Sekarang baru sadar, kaluk "iuran" nya buat bayar narasumbernya....qiqiqi

Anonim mengatakan...

wah, berkahmu akeh tenan maz!

Anonim mengatakan...

kadang kita juga perlu menghargai pemikiran, kan bang. Pastinya, sebelum hadir di workshop itu, ada yang namanya menyunting ide, menatah kalimat, atau membesut pengalaman untuk diutarakan.

Ya, mungkin orang di surat pembaca itu sudah menyiapkan segalanya, dan ingin ada "harga" dibalik itu semua. dan saya pikir itu sah-sah saja.

kalo tiap workshop nggak dibayar sampeyan mau bang? aku mbok diwenenhi pelatihan. pelatihan memikat hati perempuan.

Anonim mengatakan...

"ndak papa honore plakat dik" kata mas arief penuh kearifan "...HANYA JANGAN SERING-SERING BEGINII!!"...lanjut mas arief sambil getem-getem..

Anonim mengatakan...

Harus berjiwa besar, mungkin sekesar menghibur diri mas Arif berfikir gini aja "kalo uang kan bisa cpt habis, tapi kalo plakat kan dipandangi terus ndak abis2". Hehehe... maaf ya.. Sing sabar....

lintang mengatakan...

mudah-mudahan berpahala mas..

Anonim mengatakan...

Wah, catet ah: Kalo ada acara2 yg non-profit dan no-duwit, saya sudah tahu harus menghubungi siapa, hihi...

Setahu saya, siapa yg memberi tanpa perhitungan, akan menerima berkat berlipat ganda. So.. keep smiling, keep charming (^_-)

Anonim mengatakan...

Ndak usah nggresulo, semua harus dilandasi rasa ikhlas, betul gak Pak Arief yang sangat arif dan bijaksana?

Miss G mengatakan...

Walaaawww...curang bener dikau.. Ga ada SB-nya jadi gimana mau bales nowel *hihi*

Pasang lagi dunk.. masa takut sama "penggemar Anggun" *Manas2in* *Komporin*

(^^,)

Anonim mengatakan...

Hmm...
Kalau menurut aku nih, Mas.. dari awal panitia musti bilang, "Honornya bukan rupiah, ya, Mas... tapi souvenir... Masih mau jadi pembicara?"

Biar nggak ada yang menggerutu seperti ini... :)

Arief Firhanusa mengatakan...

Berbagi dengan:

@GOENOENG
Ekspresi yg kayak apa Mas? Kayak di warung itu ya? Haha ...

@MBAK AYIK SEKAR LAWU
Huh, dasar mahasiswi bengal! **sambil monyongin bibir**

@THE BITCH PITO
Iya, Pi, amin.

@BLUE
Pelatihan memikat perempuan? Wahahaha, ada-ada aja. Eit, bukankah ente lebih pintar drpd aye?

@MBAK ERNUT
Hahahahaha ...

@IYAS EMBUN PAGI
Hehehehe, mayan kok Yas, saban hari bisa mandangi deretan plakat itu :p

@MBAK LINTANG
Amin Mbak.

@G
Wahahahaha, mo ambil keuntungan ni ye!

@IDA
Ida siapa ya?

@G
Udah tuh, weks!

@LALA
Iya sih, tp masak harus gitu. Malu euy,, hehehehe

Anonim mengatakan...

Mas Plakatnya dijual aja
kan jadi honor uang?
he..he

guyon mas,
dapet plakat yo kebanggaan
mas Arif memang oye!!

dyahsuminar mengatakan...

ha.ha..ha....
Bunda sering mengalami seperti itu...maka sekarang bunda punya tempat yang bunda sewakan..maupun gratisan untuk para mahasiswa...agar belajar menyelenggarakan Event..seminar atau yang lain.,,tapi peserta harus bayar...walaupun murah.Hal ini agar mereka menghargai ilmu si pembicara...
Suk..tak aturi di Jogja piye ???

Anonim mengatakan...

jadi pembicara didepan mahasiswa memang tidak mudah mas :) kebanyakan masih belum mengerti gimanajadi audience yang baik, apalagi kalo acaranya masih di kampus mereka...dapet salam dari berisik dan cuek...salut dengan caramu menarik perhatian mereka, aku bahkan belum pernah menemukan pembicara seminar *jaman kuliah ya* yang mau jalan jalan hehehe..

But again...yang terakhir...kere banget jaman mahasiswa? waduhh..kok kebalikannya ya mas?? aku kok perasaa lebih makmur jaman mahasiswa dulu?!? wakakkakaak...faktor masih dapet uang jajan dari sana sini mas..(sana sini itu artinya pacar yang ada disana dan disini :P)

Arief Firhanusa mengatakan...

Berbagi lagi dengan:
@ITIK BALI
Kalo nanti kapan-kapan saya bangkrut beneran, plakat bakal saya jual, huahakakak ...

@BUNDA DYAH
Wah, matur sembah nuwun sak deringipun, Bunda. O iya, tawaran Bunda jelas saya terima. Dalam bentuk apa, Bunda? Mungkin saya bisa membantu nyuri-nyuri waktu. Nuwun.

@YESSY MUCHTAR
Waks jangan-jangan dulu saya salah satu 'korban'-mu Yes, soalnya sering ada yang minta ditransferi uang saku waktu itu,, hihihihihi ...

goresan pena mengatakan...

iyahhh...musti diingat-ingat...lain waktu, klo' ada social event yg ga ada budget utk pmbicara nya... ngubungi mas arief ahhhh...

bersedia?
siap??

Arief Firhanusa mengatakan...

@HESRA
Sompret! :((

Anonim mengatakan...

huahahhahahahah....
ada yang sewot...

untung sekarang sudah terbit lagi SB nya...jadi kan bisa dihubungi sewaktu-waktu...hi hi...

perbanyak amal, mas...
xixixiixix....

pisss....(piisssaaang gooreeeng...)

bisnis online mengatakan...

Wahh.. Makasih Info nya kk ^_^