Search

7 Sep 2008

Biarlah Waktu Tak Bisa Diputar Ulang


Di depan puluhan santri dalam sebuah workshop jurnalistik di Semarang Timur, Minggu (7/9), saya disadarkan tentang satu hal: anak-anak jaman sekarang lebih gurih mengunyah fasilitas.

Seorang remaja putri, mengaku bernama Dela, bertanya: “Mas Arief, saya mau tanya, keahlian khusus apa saja yang harus dimiliki calon wartawan?”

Dengan semangat puasa, saya langsung menjawab: “Nggak ada keahlian khusus, kecuali nggak punya malu.” Ia tampak bengong. Saya segera menimpalinya untuk menandaskan, “Keahlian khusus yang kamu maksud itu ialah nggak punya malu, jangan pernah malu, alias bertebal muka.” Lalu sontak mereka terbahak-bahak.

Ya, wartawan tak boleh introvert lantaran mereka harus menyeruak ke percakapan-percakapan, bertemu dengan orang-orang, dan harus mengorek komentar dari narasumber.

Pada masa kini, rasa-rasanya rasa malu itu nyaris sirna. Para remaja tak pernah segan-segan memakai kaus kelihatan pusar, mengalungkan ponsel di leher, bahkan menyemir rambutnya dengan cat yang warnanya sulit ditebak karena campur baur dan tumpang tindih. Beberapa di antara mereka duduk di kafe dengan laptop hotspot, sesekali telepon dengan nada ‘ember’, dan membuat dunia seolah sempit dan ‘hanya milik mereka’.

Itu sebabnya tak ada alasan bagi generasi mutakhir untuk malu tatkala ia harus mewawancarai seseorang pada saat mereka telah menyandang baju wartawan. Ini berbeda dengan awal 90-an, ketika seorang wartawan freelance seperti saya harus menginterview Rano Karno di GOR Simpanglima (almarahum), yang kini berubah menjadi Mal Citraland.

Saat sudah beradu muka dengan Rano, lidah saya kelu. Saya tak tahu harus ngomong apa, sampai kemudian Rano ‘menolong’ saya dengan bertanya: “Mas mau nanya apa? Hayo, nanya apa saja, nanti saya jawab,” katanya sembari tersenyum tulus (senyum yang belakangan justru sangat akrab dengan saya sejak saya bekerja di Tabloid BOLA – 1996-2002 – dan Rano menjadi kolumnis Piala Dunia, Piala Eropa, atau even-even sepakbola lain di BOLA).

***

Anak-anak jaman sekarang tak pernah dibelit kesulitan sarana. Dulu, saya mengirim naskah berita ke Jakarta (saat bekerja di BOLA) dengan faksimil. Lalu beranjak lebih modern dengan modem (dengan kapasitas minim, sehingga mengirim satu file bisa lebih dari 5 menit). Mengetik tulisan bukan dengan komputer, tetapi mesin ketik konvensional yang suara tak-tok-nya membangunkan tetangga.

Awal-awal menjadi jurnalis tak pernah saya naik sepeda motor, sebab memang tidak punya. Kesana-kemari saya menunggang ompreng, sehingga baju atau kaus sudah sangat kusut ketika saya sampai di depan narasumber.

Untuk mencetak foto, saya mengutang dulu dari kawan, kemudian saya ganti ketika honor tiba. Era digital seperti saat ini membuat saya sangat iri. Pada 1990-1997, pemotretan harus memakai film, dan harganya cukup mahal untuk ukuran saya yang memang pas-pasan. Yang membuat jengkel, jika kebutuhan foto hanya 2-3 frame, film harus dipotong di kamar gelap, dan pemotongan itu mengorbankan tak kurang 5 frame. Begitu seterusnya, sampai tiba-tiba saya sadar film saya sudah habis, sementara esoknya saya musti memotret lagi, alias saya wajib berbelanja film lagi.

Toh jaman tak bisa diputar ulang. Selagi anak-anak jaman sekarang menikmati fasilitas, generasi tua macam saya tak mau kalah. Kalau mereka bisa bangga dengan internet yang membuka jendela dunia, saya malah sudah berada di beberapa langkah di depan mereka.

Kalau anak-anak sekolahan membuat friendster, maka saya sudah mampu mengutak-atik html blog/web. Laptop saya lebih garang dalam urusan spec karena Core 2 Duo, dan jauh lebih maju ketimbang beberapa remaja yang saya lirik masih memakai centrino, bahkan Pentium M.

Saya bisa mengutak-atik Photoshop, atau Corel, atau PowerPoint. Kemajuan karena otodidak dan cukup membuat saya bangga karena beberapa kali justru saya dimintai tolong meracik foto dengan Photoshop oleh sejumlah ABG anak tetangga.

Menyangkut ketertinggalan yang pernah saya enyam tatkala remaja, saya berjanji kelak anak-anak saya adalah orang-orang hebat yang amat dibutuhkan bangsa dan negara, dengan kemampuan maksimal dan membanggakan. Anak-anak yang taat beragama dan berbhakti pada orangtua!

2 komentar:

Enno mengatakan...

aku juga sempet mati gaya waktu awal2 jadi reporter hehehe... ternyata dirimu juga ya ^^

Anonim mengatakan...

ama Pektayku mantep mana maz? xixi...

*asemik.. lagi dipenjara di pabrik sampe jam segini masih ngendon depan desktop*