Search

25 Sep 2008

ROMANTISME LEBARAN YANG HILANG


Lebaran ini berderap menuju titik nol dengan ritme yang membuat sesak dada.

Dalam kegelisahan ini, tampaklah wajah Bapak. Pria yang dulu saya idolai itu sekarang menjadi karang, terutama beberapa Idul Fitri terakhir.

Memasuki rumah, dulu, senantiasa bertabur aroma kembang. Langkah ringan melekat ketika telapak kaki menginjak kusen pintu.

Ia duduk berurai senyum di sudut ruang tamu, di tengah beragam penganan di atas meja. Ibu, dengan kerudung baru, menyongsong saya dengan luapan gembira.

“Masuk. Ayo sini.” Selalu itu ucap Bapak setiap melihat kedatangan saya. Sebuah narasi pendek yang menabur keriuhan yang hening.

Saya tak segera bersimpuh karena mendadak saja sanak famili mengerumuni. Biasanya Om Antono dan Bulik Sri yang bergegas menyalami. Kemudian Eyang Putri. Lalu sejumlah sepupu macam Baskoro, Ira, Heri, dan juga sejumlah tetangga.

Baru setelah basa-basi lewat dan ruang menjadi sepi, saya menghampiri Bapak dan Ibu. Saya menciumi punggung tangan mereka dengan jiwa raga seraya berbisik, memohon maaf atas segala dosa.

Mata mereka berkaca-kaca. Ibu menciumi kening saya seolah saya masih delapan tahun yang perlu dininabobo. Kami terdiam beberapa saat, kemudian melepas tangan dan berarak menuju meja makan, diikuti Indah, Edi, dan Eni, tiga adik saya.

Lebaran ini saya rindu suasana itu. Tapi saya tak yakin romantisme menyelimuti kami lantaran tak ada lagi Ibu di sana, berganti perempuan paruh baya yang tak bisa menandingi kelembutan Ibu ...

1 komentar:

Anonim mengatakan...

semoga ada hal yang baru yang ditemukan. romantisme lama yang hilang bukankah tak perlu disesali, karena berakhirnya sesuatu berarti pula mulainya sesuatu yang lain, yang baru. bukan begitu? :)