Search

5 Agu 2008

Selamat Tidur, Bunda


Di sebuah warung, kemarin siang, saya bertemu Hanum bersama suaminya. Hanum ini teman SMP yang pernah saya taksir, kini domisili di Semarang, ikut sang suami. Naksir gaya monyet. Lagipula saya anak kampung yang waktu itu super minder. Apalagi Hanum boleh dibilang kembang kelas. Anak kota pula. Jadi, ya cuma ‘pura-pura naksir’, khas pubertas.


Setelah basa-basi, ia bercerita tentang Bu Mia, guru Bahasa Indonesia. Bu Mia? Ah, wanita mungil dengan senyum tulus itu? Saya ingat frame kacamatanya yang senantiasa hitam. Saya ingat ia membiarkan gerai rambutnya menutupi sebagian mata sehingga ada kalanya ia mirip Atiek CB. Mengapa dengan dia?


“Ia meninggal, Rief, sebulan lalu. Kanker rahim.”


Saya terhenyak. Saya ternganga. Susah payah saya jumputi masa silam, di sela-sela rerumputan jepang di beranda kelas 2 SMP 2 Demak. Sejauh mata memandang, tampaklah hamparan tanah lapang alun-alun dan Masjid Agung. Senyum Ratri, Yudha, Wahid, Ika, Titik, Anna, Pak Yitno tukang kebun melintas-lintas.


Senyum yang ini beda. Selalu mekar bunga aprilia saat ia menuang ilmu di depan kelas. Ia mengajari kami cara menyusun kata menjadi mozaik-mozaik kalimat yang merdu atau pilu. Kami menyimak dengan seksama. Bu Mia ceriwis cara mengajari, namun ia tahu bagaimana menuntun kami.


“Yang lain boleh istirahat, kecuali Arief,” ujarnya suatu siang. Saya terkejut. Ada dua Arief di kelas itu, satunya Witono. “Arief kamu yang Ibu maksud,” sambungnya sembari menunjuk saya.


Saya tambah kaget. Dosa apa saya? Jangan-jangan ia melihat saya sedang ngemil kacang goreng saat pelajaran tadi.


Kami tinggal berdua. Ia menyuruh saya mendekat. Saya duduk di bangku berjarak 1 meter dengan meja guru. Ia menatap saya dengan seksama dari ujung matanya. Menyelidik dan sedikit menghakimi. Saya makin cemas.


“Kamu menjiplak dari mana?”


“Menjiplak apa, Bu?”


“Ibu yang bertanya.”


“Mengenai apa, Bu?”


“Karangan tadi.”


Saya mendadak bego. Karangan yang mana? Tentang liburan sekolah itu? Atau yang mana?


“Ya, tentang liburan di rumah pakdhe itu. Kamu dibantu siapa saat mengarang?” Hardiknya, seolah ia bisa membaca pikiran saya.


“Saya tidak dibantu siapa-siapa, Bu. Saya mengarang sendiri sepulang dari rumah pakdhe.”


“Betul katamu itu?”


“Iya, Bu.”


“Kalau begitu, nanti sore kamu ke rumah Ibu. Tahu kan tempatnya?”


Saya mengangguk. Anggukan yang sama kembali saya lakukan saat ia mengatakan sesuatu yang tidak saya duga. “Kamu berbakat menulis. Tak ada anak kelas 2 SMP bisa memaparkan sedemikian rupa dalam tulisan tentang pengalamannya. Mau Ibu bimbing agar kamu lebih pandai menata kalimat?” Ia mengurai senyum, memamerkan sikap keibuan yang transparan. Ia memakai kaus ungu dengan bunga matahari di bagian depan, meletupkan rasa nyaman dan pualam.


Usianya masih belia ketika itu, kisaran 24 atau 25. Mengajar di SMP 2 adalah kali pertama setelah ia lulus dari Unnes Semarang (dulu IKIP). Ia menjadi ‘ibu kedua’ saya. Ia mengajari beragam cara menukik kata, membelokkan alur, mengerem hiperbola, mengaduk-aduk rasa, dan mengakhiri cerita.


Ia tumpahkan segenap ilmu yang ia punya. Ia menggarap saya seperti tukang jahit membuat celana. Ia mengarahkan saya menuju pintu terang dengan kilap pelita. Ia adalah ‘ibu kandung’ saya dalam kepenulisan. Setiap sore, kecuali Minggu, saya diajak ke rumahnya, diperkenalkan pada kedua orangtuanya. Saya merasa dihargai, disanjung, dijewer, dan menyulut cemburu beberapa teman karena berulang saya disebut-sebut sebagai percontohan.


Sejak lulus SMP saya tak pernah lagi bertemu dia. Bahkan ketika tulisan saya mulai dimuat majalah MOP, Anita Cemerlang, atau Suara Merdeka kala saya masih SMA. Saya menyesal tak pernah menyambanginya, bahkan sekadar menulis surat atau bertelepon. Sampai kemudian kabar yang saya terima adalah kematiannya ...


“Ia mengidap penyakit itu sejak kira-kira lima tahun lalu ... ” kata Hanum.


Saya tak mendengarkan apa-apa lagi. Mendadak saya terlempar ke ruang angkasa ...


[selamat jalan, Bunda]

5 komentar:

Enno mengatakan...

dulu dari SD sampe SMA nilai mengarangku selalu 9... tapi guruku gak pernah 'menggarap' aku tuh... dia sirik sama aku kali yee... hehehe

*piss bu!*

Meita Win mengatakan...

Turut berduka yah, Mas :)
Berdoalah bagi jiwanya, dan berterimakasihlah atas bimbingannya, aku tau, Mas tidak akan melupakan sosok 'Ibu' yang seperti itu...

karena sekarang, dirimu ada, menggantikan Ibu. Membantu kami belajar menulis indah :)

Terimakasih Bunda atas bimbinganmu!

Anonim mengatakan...

anda memang jago mengarang, apalagi mengarang indah.

Veni mengatakan...

V turut berduka cita mas..

Anonim mengatakan...

guruku akeh je, maz. aku sinau nulis ya mbayar pirang2 taun. tapi kenapa dikaw lebih jago ya?