Search

22 Agu 2008

Kabut, Telaga, dan Kaki yang Telanjang


Kabut berjalan terhuyung menyerbu kakinya yang basah. Ia meletakkan kepalanya di bantalan angin, menghirup embun yang jatuh satu-satu dari pucuk bambu.


Kau harus jatuh cinta terlebih dahulu untuk bisa menulis kata-kata. Atau patah hati dan nyaris bunuh diri,” gumam sebuah suara.


Ia tak peduli. Kakinya tetap berkecipak dalam air telaga. Sudah empat hari ia menerawang di dermaga ini. Selalu pagi ia pilih untuk memunguti cinta, pilu, dan kesenjangan hati. Tetapi belum ia dapatkan bunga-bunga aprilia. Tak tahu ia harus memulai dari mana untuk menuang novelnya.


Dua tahun silam sinar itu meredup dan kemudian hilang dari mata seorang pria yang memberinya tudung saat hujan tiba. Ia tak sanggup bertahan di peron tatkala kepala pria itu terjulur untuk terakhir kali di jendela kereta, dan memilih berlari menembus gerimis dengan guguk yang menyayat, membiarkan napasnya jatuh dalam sunyi tanpa batas.


Sebulan kemudian tangannya gemetar meraup cek berangka sekian belas juta. Bukan jumlah uang pemicu gugupnya tangan, melainkan karena hatinya melepuh saat mengingat betapa isi novel yang sehari sebelumnya diluncurkan sebuah penerbit Yogya itu berisikan tentang kabut dan kegeraman. Ia hampir menyudahi hidupnya tatkala menuliskan ending cerita. Sebuah ending yang bermuatan kapal yang karam. Kapal yang tenggelam secara berulang-ulang tiap kali ia perlu bercerita lewat novel-novelnya yang selalu best seller dan diburu para kutu buku.


Kau harus jatuh cinta terlebih dahulu untuk bisa menulis kata-kata. Atau patah hati dan nyaris bunuh diri,” gumam suara itu lagi.


Ia tak memedulikannya. Hatinya tak lagi memiliki ruang rindu ...

2 komentar:

Enno mengatakan...

nyaris bunuh diri? Yang jelas ini bukan tentang akika... ah leganya :D

Arief Firhanusa mengatakan...

Ini tentang seseorang yang amat saya kenal. Ini tentang elang betina yang terbang menembus ribuan kosa kata, dengan sayap yang hampir patah ...