MIMIN sangat membenci tato. Ia menghardik Lyla agar menghapus tato di lengan. Diseretnya putri semata wayangnya itu ke dapur, mengaduk sabun colek, lalu dengan sentakan kasar ia menghalau gambar bunga, bonus makanan ringan.
Pekan silam, ia membentak remaja tanggung di taman kota gara-gara di leher si remaja ada tato bokong perempuan. Untunglah Barata tahu gelagat. Ditariknya Mimin dari sana demi dilihatnya teman-teman si remaja berniat mengeroyok.
"Kau ini kenapa?" Pelotot Barata saat mereka telah tenggelam di padat lalu lintas.
"Aku membenci tato!" Sergah Mimin.
"Simpan kebencianmu itu kalau tak ingin berurusan dengan polisi!" Timpal Barata tak kalah nyaring.
Pagi ini meja makan penuh selidik. Mimin tampak sibuk memasukkan sesuatu ke dalam tas. Barata mengunyah nasi dengan cemas. "Kau jejali apa saja tasmu itu, Min? Tak pernah sebelum ini tasmu itu menggelembung seperti itu," ujar Barata tak tahan.
"Pisau. Juga gunting dan dua cutter," kata Mimin dingin. Menimbulkan kengerian dahsyat di benak Barata.
"Untuk apa?"
"Aku akan menikam Ratih dan Sasa ... "
"Dua kawan kantormu itu?" Barata mendadak gemetar. Keringat dingin meleleh tak tertahan.
"Benar. Mereka pantas dicabik-cabik karena punya tato di pundak. Aku melihatnya saat senam kemarin ... "
Barata menggigil. Kalap telah mencapai puncaknya. "Keluarkan benda-benda itu dari tasmu! Sekarang! Atau mau kurebut dengan paksa?" Pekik Barata, membuat Lyla ketakutan.
Mimin merogoh tasnya. Menaruh gunting, cutter, dan pisau di atas meja. Matanya tetap liar. "Asal tahu saja, tanpa senjata ini pun aku bisa menusuk mata mereka dengan pulpen ... "
"ISTRIMU itu mungkin gila, Bar. Coba bawa ke psikiater," kata Syahrial lewat telepon. Barata memarkir mobilnya di seberang gerbang bank tempat Mimin bekerja. Ia meminta ijin kantornya absen sehari. Ia menduga bakal terjadi keributan di dalam bank, jerit pekik menggema di seantero gedung, lalu sirine polisi bersahutan sebelum mereka meringkus Mimin yang berlumuran darah karena baru saja membunuh dua teman kerjanya. Di tengah panik luar biasa, ia menelepon Syahrial.
Di waktu normal, Barata akan membentak Syahrial yang kurang ajar. Tapi, saat genting begini segenap masukan bermanfaat, terutama dari ahli jiwa macam Syahrial itu.
Lalu, usai ia lukiskan keanehan istrinya dan berjanji membawa Mimin ke rumah Syahrial, Barata menyeberang jalan. Sarapan dan merokok beberapa batang untuk menghalau cemas.
Sampai siang tak terjadi apa-apa. Ia menghubungi Mimin. Ponsel tak diangkat. Berulang demikian, sampai akhirnya ia memutuskan menelepon kantor bank. Oleh operator diberitahukan, Mimin meminta ijin pulang karena harus ke dokter.
Kecemasan Barata merangkak lagi ke kepala. Ia bergegas menghidupkan mesin, dan memutari kota. Ke dokter? Dokter mana? Dokter apa? Sakitkah Mimin? Ubun-ubun Barata berdenyut hebat. Dan akhirnya ia kelelahan setelah tak tahu harus kemana ia menuju.
Ia pun membelokkan mobil ke jalan pulang. Di halaman, ia lega karena tak ada mobil polisi di sana. Tadi ia sempat membayangkan Mimin diringkus aparat karena menusuk orang.
Di teras, tampak Mimin menebar senyum. Seperti seseorang yang sedang lega karena lulus melakukan perbuatan gila. Barata turun dan berjalan gontai. Di beranda pula, tiba-tiba Mimin memeluknya. Barata terperanjat. Tahu sang suami tengah penasaran, Mimin kemudian membentangkan secarik kertas. Barata menerimanya tanpa semangat.
"Positif, Mas. Kita akhirnya punya anak!" Ujar Mimin girang. Barata meneliti kertas dengan kaget yang belum berhenti. Disimaknya, lalu ia mendapat noktah yang merenggutnya dalam pusaran gembira tiada tara dari Dokter Hariman, dokter kandungan.
Barata pun mendekap Mimin dengan segenap rasa, seraya melihat Lyla dari punggung sang istri. Lyla, yang tengah bermain kertas di ruang tamu, sepertinya tak menyadari bahwa beberapa bulan lagi ia memiliki adik. Adik 'tiri' sebenarnya, karena ia bukan anak kandung Mimin-Barata, melainkan darah daging Purnomo, famili jauh Barata yang diadopsi sejak bayi.
"JADI hanya sampai di sini?" Ucap Meta Siregar. Matanya melotot, nyaris lepas dari kelopak.
"Ya, kita sudahi hubungan kita. Mimin menyadarkanku perihal arti kebersamaan. Kami segera punya anak," kata Barata, ringan, seringan beludru biru yang kini menyelimuti hatinya.
Meta Siregar mendengus kasar. Lalu ia berdiri, meraih blazer dari kursi, kemudian berdebum-debum keluar dari ruang Barata. Sekejap tadi, sebelum Meta sampai pintu, Barata masih sempat melihat tato naga di lengan kiri sekretarisnya itu ...
***
-Request Mbak Ernut yang menginginkan happy ending.
-Cerpen Tato pernah dimuat Harian Pikiran Rakyat, Bandung, edisi medio Juli 2006. Di atas adalah versi mininya.
Pekan silam, ia membentak remaja tanggung di taman kota gara-gara di leher si remaja ada tato bokong perempuan. Untunglah Barata tahu gelagat. Ditariknya Mimin dari sana demi dilihatnya teman-teman si remaja berniat mengeroyok.
"Kau ini kenapa?" Pelotot Barata saat mereka telah tenggelam di padat lalu lintas.
"Aku membenci tato!" Sergah Mimin.
"Simpan kebencianmu itu kalau tak ingin berurusan dengan polisi!" Timpal Barata tak kalah nyaring.
Pagi ini meja makan penuh selidik. Mimin tampak sibuk memasukkan sesuatu ke dalam tas. Barata mengunyah nasi dengan cemas. "Kau jejali apa saja tasmu itu, Min? Tak pernah sebelum ini tasmu itu menggelembung seperti itu," ujar Barata tak tahan.
"Pisau. Juga gunting dan dua cutter," kata Mimin dingin. Menimbulkan kengerian dahsyat di benak Barata.
"Untuk apa?"
"Aku akan menikam Ratih dan Sasa ... "
"Dua kawan kantormu itu?" Barata mendadak gemetar. Keringat dingin meleleh tak tertahan.
"Benar. Mereka pantas dicabik-cabik karena punya tato di pundak. Aku melihatnya saat senam kemarin ... "
Barata menggigil. Kalap telah mencapai puncaknya. "Keluarkan benda-benda itu dari tasmu! Sekarang! Atau mau kurebut dengan paksa?" Pekik Barata, membuat Lyla ketakutan.
Mimin merogoh tasnya. Menaruh gunting, cutter, dan pisau di atas meja. Matanya tetap liar. "Asal tahu saja, tanpa senjata ini pun aku bisa menusuk mata mereka dengan pulpen ... "
***
"ISTRIMU itu mungkin gila, Bar. Coba bawa ke psikiater," kata Syahrial lewat telepon. Barata memarkir mobilnya di seberang gerbang bank tempat Mimin bekerja. Ia meminta ijin kantornya absen sehari. Ia menduga bakal terjadi keributan di dalam bank, jerit pekik menggema di seantero gedung, lalu sirine polisi bersahutan sebelum mereka meringkus Mimin yang berlumuran darah karena baru saja membunuh dua teman kerjanya. Di tengah panik luar biasa, ia menelepon Syahrial.
Di waktu normal, Barata akan membentak Syahrial yang kurang ajar. Tapi, saat genting begini segenap masukan bermanfaat, terutama dari ahli jiwa macam Syahrial itu.
Lalu, usai ia lukiskan keanehan istrinya dan berjanji membawa Mimin ke rumah Syahrial, Barata menyeberang jalan. Sarapan dan merokok beberapa batang untuk menghalau cemas.
Sampai siang tak terjadi apa-apa. Ia menghubungi Mimin. Ponsel tak diangkat. Berulang demikian, sampai akhirnya ia memutuskan menelepon kantor bank. Oleh operator diberitahukan, Mimin meminta ijin pulang karena harus ke dokter.
Kecemasan Barata merangkak lagi ke kepala. Ia bergegas menghidupkan mesin, dan memutari kota. Ke dokter? Dokter mana? Dokter apa? Sakitkah Mimin? Ubun-ubun Barata berdenyut hebat. Dan akhirnya ia kelelahan setelah tak tahu harus kemana ia menuju.
Ia pun membelokkan mobil ke jalan pulang. Di halaman, ia lega karena tak ada mobil polisi di sana. Tadi ia sempat membayangkan Mimin diringkus aparat karena menusuk orang.
Di teras, tampak Mimin menebar senyum. Seperti seseorang yang sedang lega karena lulus melakukan perbuatan gila. Barata turun dan berjalan gontai. Di beranda pula, tiba-tiba Mimin memeluknya. Barata terperanjat. Tahu sang suami tengah penasaran, Mimin kemudian membentangkan secarik kertas. Barata menerimanya tanpa semangat.
"Positif, Mas. Kita akhirnya punya anak!" Ujar Mimin girang. Barata meneliti kertas dengan kaget yang belum berhenti. Disimaknya, lalu ia mendapat noktah yang merenggutnya dalam pusaran gembira tiada tara dari Dokter Hariman, dokter kandungan.
Barata pun mendekap Mimin dengan segenap rasa, seraya melihat Lyla dari punggung sang istri. Lyla, yang tengah bermain kertas di ruang tamu, sepertinya tak menyadari bahwa beberapa bulan lagi ia memiliki adik. Adik 'tiri' sebenarnya, karena ia bukan anak kandung Mimin-Barata, melainkan darah daging Purnomo, famili jauh Barata yang diadopsi sejak bayi.
***
"JADI hanya sampai di sini?" Ucap Meta Siregar. Matanya melotot, nyaris lepas dari kelopak.
"Ya, kita sudahi hubungan kita. Mimin menyadarkanku perihal arti kebersamaan. Kami segera punya anak," kata Barata, ringan, seringan beludru biru yang kini menyelimuti hatinya.
Meta Siregar mendengus kasar. Lalu ia berdiri, meraih blazer dari kursi, kemudian berdebum-debum keluar dari ruang Barata. Sekejap tadi, sebelum Meta sampai pintu, Barata masih sempat melihat tato naga di lengan kiri sekretarisnya itu ...
***
-Request Mbak Ernut yang menginginkan happy ending.
-Cerpen Tato pernah dimuat Harian Pikiran Rakyat, Bandung, edisi medio Juli 2006. Di atas adalah versi mininya.
11 komentar:
Happy ending buat Mimin dan Barata, tapi sad ending buat si Metta...Yoh wisss...ra pa-pa...yang penting happy ending toh ?
Syukuran dunk Mas, kan happy ending...
lagi2 versi mini. mbok sekali2 posting versi komplit, Mas.
ada pertanyaan yg mau tak utarakan tentang cerpen ini. tapi nanti ja, kalo pas ketemu. :D
eh lupa,
photo 'tato'nya sip markusip, boss. :D
keren euy ..sederhana tapi manis bgt .uhuy .hhe .
salam kenal .
Critanya bagus. Saya gak suka tato tapi gak pernah membenci orang yang punya tato...
(^^,) Oooooohhh... jadi itu toh sebabnya Mimin jadi benci tato, salah tuh.. mustinya yg di cabik2 ya si Barata (^^,)
cihuy...request kita terkabulkan! tengkyu braaat lho mas! Btw, jadi si mimin itu nyidam gito ya? bawaan orok? weleh...
tapi aku pokoke ndak setuju aktivitas barata dengan metha! huh! (pembaca emosi)
ending yang ngga terduga. Nice!
kisah ttg ngidam atau bawaan orok udah uzur, tp tetep bs digali dari banyak sudut. bahasa yang ramping dan enak dibaca.
kyk gt yak kl lagi ngidam? hihihihi daku blom pernah ngalami :p
beuh..beuh...gunting, cuter, walah..medeni..
Posting Komentar