Saya dihangati oleh sound mobil Mas Tok yang membahana. Mobil saya, di sebelahnya, jadi tak ada artinya. Lalu, di halaman vila itu kami membicarakan sesuatu ...
***
SAYA mencecap kehangatan di sisi anak-anak Kweni (sebuah dusun di wilayah bantul yang kami sambangi untuk sekadar bersemayam di hati anak-anak kampung), di rumah Bunda Dyah (sebab Ibu Wali Kota Jogja ini keibuan dan merakyat), di sebelah Bu Tutinonka (karena beliau penulis dan saya suka menulis), di pembicaraan sampai subuh dengan Mas Tok dan Mas Goen (yang mengupas soal selingkuh hingga grup Amy Search), dan tentu di tengah Mbak Imel dan Mbak Lala (karena mereka unik dan lucu).
Sebuah perjalanan yang me-refresh benak saya karena kebetulan tengah kusut. Satu pendakian menyenangkan yang terakhir saya lakukan tahun 2000, apalagi bertemu pula dengan Hesra (plus anak perempuannya, dan Desi, teman kampusnya). Satu reuni kasat mata karena selama ini kami cuma bertemu di dunia maya.
Sebuah malam yang runtuh oleh aksara-aksara. Saya jadi ngerti Mbak Imelda itu bukanlah 'perempuan Jepang' yang kaku (walau wanita Jakarta itu lama tinggal di Tokyo bersama keluarga), Mbak Lala itu ternyata penyanyi yang bagus meski rapuh untuk urusan asmara, Mas Tok bukan pengembala kambing dalam makna sesungguhnya (meski 148 ekor kambing etawa -- kambing jangkung yang mahal -- ada di kandangnya), melainkan kontraktor sukses, atau setidaknya mendekati sukses, dan sebagainya. Dan sebagainya.
Dua hari yang dahsyat dan membuai, namun cedera oleh setitik noktah. Tak parah-parah amat, tetapi tetap meninggalkan luka cubit. Luka cubit yang mendidik saya (atau seseorang?) untuk dewasa, baik di tulisan maupun keseharian.
Saya tak berminat menulis terang-terangan lantaran ini menyangkut kedewasaan. Kedewasaan yang menguji mental "seseorang" tatkala kami bertiga (saya bersama Mas Tok dan Mas Goen) menghajar Sabtu dini hari untuk mendaki Minggu 8 Maret 2009, dengan obrolan panjang, teh dingin, kopi, rokok, minyak gosok, dan kacang.
Obrolan panjang -- yang tadinya diikuti Mbak Lala dan Mbak Imel sebelum akhirnya keduanya pamitan tidur -- itu sebagian besar berpusar pada topik selingkuh. Kami bertukar pendapat, dan mendebatkan pendapat orang lain. Kami mencontohkan orang lain bahkan diri sendiri, malah kalau perlu membawa-bawa kasus orang tua kami dalam diskusi.
Diskusi yang tak ada ujungnya, bahkan ketika kami menyambungnya dalam sarapan nasi goreng di depan vila esok harinya, seperti halnya perselingkuhan itu sendiri, yang barangkali melibatkan dua di antara penghuni vila itu ...
***
DALAM perjalanan pulang yang disetiri Mas Goen, saya menerawang, membayangkan wajah mas Tok yang jujur, bersahaja, dan apa adanya. Tapi ada gurat kecewa yang tersamar. Ah, kapan-kapan saya akan menemaninya ngopi tanpa saya khawatir ia tak akan mengidolai (tulisan-tulisan) saya!
13 komentar:
Hmmm.... hmm... hm....
Eniwei, mendapatkan sesuatu yg berarti dan menjadikan lebih dewasa nampaknya perlu disyukuri.
Makanya, Hai orang-orang yang ingin dianggap beriman...JANGAN SUKA SELINGKUH! karena selingkuh itu perbuatan nista. Dan orang yang berselingkuh itu adalah orang yang mempunyai SELERA SANGAT RENDAH !!!
Gmn udah kapok berselingkuhkan?
*mikir serius*
siapa ya ? saya ? hmmm...
bisa jadi ! :D
ck,ck,ck...
sekarang, sehari 1 posting !
luar biasa !
*sambil nunggu sotbok*
hm sedikit ralat mas...
desi bukan teman sekampus saya...wahhh...jauh bgt...dia dl kul sastra jawa, smntara saya pertanian...
kami di satu lembaga yg sama sekarang..he..
haloo mas...
sayang waktu itu aku memang capek dan ditambah minum wine, jadi ngga bisa lek-lek an sampai pagi
tunggu aja deh tahun depan, kita bikin acara lagi yuuuk
EM a.k.a. ikkyu_san
haiya...ada apa ini, aku ra pati mudeng...
Hmm...
Mengidolakan seseorang terlalu dalam memang sebaiknya dihindari, ya, Mas...
:)
he...he...memang pembahasan tentang selingkuh selalu menghangatkan suasana apalagi kalau semua terlibat (guyonloh mas.. ngeloyor pergi)
Saya selalu berpedoman:
Berkacalah pada diri sendiri sebelum melihat keburukan orang lain.
Dan jangan ucapkan sesuatu jika itu kelak akan menjadi bumerang bagimu. (Sama dengan jangan percaya dari satu sumber saja)
EM
Mbak Imel selalu bijak baik bertutur maupun dalam pembawaan. Tidak menyesal saya mengenal dan mendengar tawanya yang renyah. Kapan bertemu lagi, Mbak?
lha mas arif mainan cat sih hahaha
Cerita pertemanan dari sudut pandang yang lain...sangat menarik....
Posting Komentar