Search

21 Mar 2009

HUMA DI ATAS BUKIT



Seribu rambutmu yang hitam terurai
Seribu cemara seolah mendera
Seribu duka nestapa di wajah nan ayu
Seribu luka yang nyeri di dalam dadaku

Di sana kutemukan bukit yang terbuka
Seribu cemara halus mendesah
Sebatang sungai membelah huma yang cerah
Berdua kita bersama tinggal di dalamnya

Nampaknya tiada lagi yang diresahkan
Dan juga tak digelisahkan
Kecuali dihayati
Secara syahdu bersama
Selamanya, bersama, selamanya ...


***

PERTAMA mendengar Huma di Atas Bukit milik God Bless ini saya kelas 2 SMA, tahun 1988. Lagu yang menggamit jiwa saya menuju semilir senja di sebuah bukit sunyi. Tanpa bising mesin, tak ada berisik tetangga, tanpa sesuatu pun mengotori telinga. Begitu damai, begitu tenang, begitu perawan.

Saat tuntas menyimaknya, bergegas saya membayangkan bakal berumah tangga secara sederhana dengan rumah mungil, istri manis dan anak-anak ceria.

Saya menafkahi mereka dengan honor cerpen, esei, dan novel. Istri saya menjual rambutan, mangga, pepaya, nangka, dan delima dari kebun sendiri. Anak-anak tak perlu mengenal PS, Reebok, atau sepeda gunung.

Di senggang waktu, kami memancing di kali bening. Main layang-layang di lereng bukit, sesekali. Memboncengkan mereka dengan sepeda kumbang pada sore hari.

Menjelang petang kami selonjor di bawah randu, melihat pelangi, menggoda kupu-kupu, memandang matahari jingga. Menunggu ibunya datang dengan sekeranjang pisang, anak-anak berlarian di ilalang. Lalu, ketika matahari tinggal lanskap, kami bergandengan tangan. Pulang.

Hidup ringan tanpa beban. Tak ada sesak dalam dada, tanpa amarah, tak ada murung yang memasung. Biarlah gerimis memercikkan tempias di sela-sela rumbia, tetapi kami menciptakan surga dalam angan bersahaja.

***

BERTAHUN kemudian, ketika Huma di Atas Bukit dilindas jaman, saya hampir tak ingat lagi untuk sekadar menggumamkan intronya yang menggetarkan.

Saya lupa rencana-rencana lama. Saya lupa untuk membiarkan rambut saya gondrong seperti masa kuliah, lupa makan cuma dengan tahu tempe saja, lupa kemana-mana naik bis kota, lupa merokok dengan kretek murahan, lupa mandi di kali, lupa masak bayam dari kebun sendiri, lupa janji tak memasang telepon rumah, lupa ikrar tak sudi beli televisi ...

Idealisme tak ubahnya sampah! Kapitalisme merongrong jiwa saya untuk selalu perih dan pilu, tapi celakanya saya menikmatinya!

Sampai kemudian Huma di Atas Bukit produk 1976 itu menggaung lagi menagih janji, menohok komitmen saya. Saya berurai airmata dalam perjalanan sendiri dari Solo ke Semarang, tadi pagi, ketika tanpa sengaja menyorongkan kaset God Bless ke selopnya. Entah siapa yang menaruh kaset usang itu di jok saya ...


***
Judul dan topik serupa pernah saya posting, berbulan lewat.

17 komentar:

Anonim mengatakan...

ahhh ya! saya sudah membaca yang sebelumnya...

ahh... memang hebat, penulis nya ini. membacanya, seperti saya membayangkan sedang mendengar 'ceramah'nya di beranda rumah, sore hari..

matanya... seperti terseret arus masa lalu, masa-masa idealisnya.. saat ia berkata:
"Idealisme tak ubahnya sampah! Kapitalisme merongrong jiwa saya untuk selalu perih dan pilu, tapi celakanya saya menikmatinya!"

kemudian, saya dan beberapa penyimaknya manggut-manggut...hem...hem...

selamat malam, Mas Arief..:)

Anonim mengatakan...

Terasa indah, teduh hati membayangkan hidup seperti itu...

Anonim mengatakan...

ih Mas arief ni kok cengeng banget seh?

Anonim mengatakan...

cengeng adalah ketika kamu tersedu-sedan sebangun tidur mendapati sebentuk jerawat lucu nangkring dengan manis di hidungmu.

cengeng adalah meratapi nilai C pada KHS karena kamu terlalu sering dugem ketimbang belajar Syntax.

cengeng adalah merengek pada pacar waktu tidak dibelikan boneka teddy bear karena si lelaki harus bayar tagihan rumah sakit ibunya.

nggak ada korelasi antara cengeng dan menghela nafas panjang mendapati idealisme terbeli oleh zaman, demi anak, istri, dan kebahagiaan keluarga untuk kehidupan yang lebih baik.

read between the lines, baby. you haven't swallowed the inedible experiences like he had.

and for you, maz. kalo nggak ada ide ga usah maksa poting lah. haha.

(this is not a hate comment for you, dea. i am simply a bitch by default)

Arief Firhanusa mengatakan...

Saya sengaja mendahulukan menjawab ANONIM, sebab ada ucapan darinya mengenai: "kalo nggak ada ide jangan memaksa untuk posting".

Sungguh, sesungguhnyalah ribuan ide menancap dan mendarat. Ribuan gagasan ada di kepala dan berenang-renang.

Tetapi, kalau saya 'memaksa' untuk merepost ulang ide lama, topik lama, maka PASTI ADA HAL YANG TERULANG DALAM KEHIDUPAN SAYA.

Saat ini, ketahuilah, saya sedang direndam PROBLEM SERUPA KETIKA SAYA MENULIS TOPIK YANG SAMA BEBERAPA BULAN ITU.

Jadi, mohon dimaklumi, Pitoresmi.

@HESRA
Ahai, ada kawat yang merentang dalam kesamaan dalam berpikir dan menimba rasa. Terima kasih ya.

@SOERYANI ATMADJA
Iya, Mbak, saya pernah beridam-idam semacam itu, tapi hidup ternyata dipenuhi huruf-huruf vokal, bukan KONSONAN.

@DEA
Selamat bekenalan dengan saya yang ringkih ini. Omong-omong, Dea siapa ya?

Anonim mengatakan...

been there, done that. amat sangat bisa maklum, maz arief yang baik. toldcha. i'm simply a bitch by deafult. you already know this, rite?

Anonim mengatakan...

sepertinya itu (idealisme) memang sesuatu yg mahal kok, mas.
bener2 muahal !
*jadi ingat konsep rumah ideal saya :( *

wis, itu saja yg bisa kutulis. :)

Anonim mengatakan...

Saya kira mas arief bukan secara sengaja ikutan kapitalis, tp jaman memang menuntut org-org pd senewen untuk meraih uang sebanyak mungkin kalau ngga pengin kelaparan.

So, nyante ajalah. Ngga usah disesali yg udah lewat. Keep smile mas.

Anonim mengatakan...

ah mz arif ky salah satu temenqu deh ah... doi pernah brangan-angan hidup di tepian kali code jogja, tp ga kesampean karna skrg malah jd majikan sebuah penerbitan gede di jakarta, hehe...

Anonim mengatakan...

Hai mas, pa kabar? Kok belakangan sedih-sedih terus postingannya? Keep smile dong, cup cup jangan nangis. But, tulisan mas makin mateng aja deh.

Anonim mengatakan...

saya temukan blog ini dr blognya temen. Isinya bagus2 dan menginspirasi. jd pengin rajin blokwalking lg. salam kenal mas, saya Kandi.

Anonim mengatakan...

aku ada ide: writing collaboration. interested? you know my number. we'll talk this over.

ps: hey! kikod ku PUMBA. kek tokoh lion king.

Ge Siahaya mengatakan...

Arief tidak cengeng, agak lebay mungkin (^_-).

Jadi berpikir bhw kadang kala, ketika sesuatu menghimpit, salah satu cara kita untuk tetap mempertahankan sanity atau kewarasan adalah memikirkan hal-hal yang terasa indah dan menyenangkan.

"Idealisme" ini, bisa jadi merupakan sebuah alat pertahanan diri dari sesuatu yang sangat mengganggu, menuangkannya menjadi tulisan merupakan salah satu terapi yg baik untuk jiwa.

Beruntunglah bisa menulis, dan suka menulis, sehingga segala sesuatu dapat dilampiaskan menjadi sebuah tulisan.

Bukan begitu, AF? (^_-)

PS: Versi lamanya lebih giris loh, yg ini malahan lebih gagah dari yg lalu. (^^,)

Arief Firhanusa mengatakan...

Berbagi (lagi) dengan:
@MAS GOENOENG
Yuhu, kita pernah mengobrolkan rumah idaman itu Mas rasanya.

@DEK MIRA ULIES
Bener dek apa katamu. Ini alami, ini bergulir tanpa diperintah, tapi benak dan dada mengikutinya tanpa sadar.

@RINY
Oya? Wah, saya tak sendiri dong kalo gitu. Berarti banyak idealisme terkubur gara-gara materi, dan barangsiapa yang kukuh mempertahankannya berarti hebat.

@RIEN
Helo, Rien, kabar baik. Kemana saja? Makasih sudi kembali mampir.

@KANDI
Ups, nama yang unik. Salam kenal dan terima kasih bersedia mampir kemari. Jangan bosan ya.

@G
Saya setuju ini: ""Idealisme" ini, bisa jadi merupakan sebuah alat pertahanan diri dari sesuatu yang sangat mengganggu, menuangkannya menjadi tulisan merupakan salah satu terapi yg baik untuk jiwa."

Menulis adalah terapi, melebihi obat paling dahsyat dari dokter manapun untuk penyembuhan, atau setidaknya mengikis kerikil yang berkerumun di lingkaran hati.

Thanks, G, komentarmu tak disadari juga terapi pula.

Anonim mengatakan...

Saya sdh pernah baca entri ini beberapa bulan yang lalu di blog ini juga, "Huma diatas bukit" simbol kesederhanaan yang di jaman sekarang kurang begitu di sukai. Hanya orang2 yang punya taste dan peka yang bisa merasakannya...

Anonim mengatakan...

kok pada baru ngeh sih kalo sampeyan cengeng ya bang?

jadi ingat masa lalu saya?

*aih ada Kandi. Apa HL hari ini Kandi?*

Arief Firhanusa mengatakan...

Tertuju:
@TYAS
Hm, benar katamu. Jaman sekarang orang memburu E90. Kemudian ganti Blackberry ketika sedang musimnya ...

@BLUE
Inget jaman kita nangis di Jalan Mataram ya Blue?