Search

13 Mar 2009

CINTA DARI MATANYA


Saya melambatkan kendara. Pukul 20.30 kira-kira. Lampu merah mengertap di depan sana. Lalu mata itu melintasi jendela, dan memasung saya dalam jiwa merana.


SAYA
pulang membawa kesal. Seorang caleg dari partai anu berjanji mau bertemu. Ia ingin diskusi, memantapkan kampanye efektif menjelang pemilu. Rupanya ia berat ke istri yang memintanya mengantar ke toko sepatu.


Dalam gerimis yang mencecar kaca bersamaan lagu Tentang Kita dari kelompok Jingga mengguyuri kabin mobil itulah saya menemukan cinta.

Saya setengah mengantuk ketika jendela diketuk. Bergegas saya menatap keluar. Seorang perempuan paruh baya, berambut masai, dan mata memerah. Bukan kusut pilu yang menyentak tangan saya merogoh laci, mencari kepingan 500 rupiah atau seribu, melainkan makhluk mungil dalam gendongannya.

Usianya mungkin setahun, satu setengah, atau mungkin dua tahun. Saya tak memedulikan umur berapa dia, atau berjenis kelamin apa, tetapi tempias gerimis yang menghajar pipi dan rambutnya itulah yang memeras jantung saya hingga terasa perih. Kuyup dingin berbaur jadi satu, membuat si kecil menggigil. Membuat bayi ini terhempas keras dan bisa paru-paru basah!

Amarah saya menggelegak. "Anak siapa, Mbak?" Bentak saya kasar.

"Anak saya," jawabnya setengah mengiba. Saya tahu ia pura-pura memelas. Dan ia bohong tentang si mungil karena bayi begini biasanya hasil nyewa.

"Kalau itu anakmu, tolong dibawa minggir! Kamu ngerti nggak ini hujan? Berteduh sana! Ia bisa mati kedinginan!" Gertak saya kencang, mengejutkan beberapa pengendara motor di sekitar.

Perempuan itu merandek sebentar. Mungkin kaget ada yang membentak karena ini tak biasa. Ia mengangguk tanda mendengar, tapi saya yakin ia pura-pura mengerti.

Sebelum perempuan itu berlalu, beberapa detik saya menemukan cinta dari mata balita yang meringkuk dalam gendongan itu. Mata bening bulat dan menganyam rindu. Mendadak saya terisak ...

14 komentar:

Anonim mengatakan...

Puluhan kali harus aku lewati mata-mata bening penuh rindu, setiap kali aku melintasi di jembatan penyebrangan, perempatan, bahkan depan rumah sendiri. Ah.. mungkin ini juga salahku yang tidak mau berbuat apa2 untuk mereka.

Ge Siahaya mengatakan...

Terus terang, bagi saya semua itu adalah salah satu "dosa terbesar" negara yg sudah gagal melaksanakan janjinya: "mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia" sehingga anak2 generasi penerus bangsa bnyk yg terpaksa harus "menjual" kemudaannya untuk dihargai 500rp atau bahkan lebih kecil dari itu.

Anonim mengatakan...

Komentar ga penting:

"Kenapa tulisan kita senada? Bedanya aku nggak marah-marah.. tapi intinya sama..."

Komentar yang lumayan penting:

Seperti biasa, aku selalu suka tulisan-tulisanmu..

Komentar yang sangat penting:

Daripada dana milyaran untuk kampanye yang katanya demi kepentingan rakyat, kenapa nggak langsung sentuh mereka aja, sih....
ck-ck-ck!

Anonim mengatakan...

hey..kamu sama persis seperti suamiku mas, yang pernah memaki seorang ibu yang dalam hujan tetap meminta minta dan membuat anaknya kehujanan dan menggigil kedinginan.

ini Pr bersama mas...sedikit atau banyak..kita harus berbuat sesuatu untuk perubahan ..yang lebih baik.

goresan pena mengatakan...

hhhhh..... itu bisnis mas...
saya pun pernah mengomel di lampu merah tatkala seorang ibu membawa bayi nya di tengah terik matahri...
tak masalah bagi saya saat dia hanya seorang diri dengan 'perannya sebagai pekerja seni jalan' anggaplah ini bentuk akting...tapi, mangkel rasanya saat dia membawa2 bayi seperti itu.

tapi mas...beberapa teman yang memang dekat dengan komunitas jalanan, memang mendapati realita yang menyesakkan juga. bagaimana remaja perempuan di jalan menjadi korban perkosaan antar sesama...tak ada perlindungan hukum bagi mereka...haha...ktp saja tak ada!

Anonim mengatakan...

mendadak saya hilang kata-kata bang. tumbuh iba saya. bukan. bukan karena melihat bayi dalam gendongan ibu itu. tapi mendengar engkau terisak bang. batin saya gemetar. sungguh.

bagaimana jika kita bunuh mereka satu-satu bang?

Anonim mengatakan...

entah, aku susah banget mengeluarkan airmata. mungkin batinku yg menjerit2, saat melihat dan merasa sesuatu yg mengusiknya. salah satunya adalah hal seperti itu, saat seorang bocah tak ubahnya komoditi. hhh... rasanya mangkel, marah, tapi tak bisa berbuat apapun !

bagaimana bila kita bikin sesuatu untuk itu ? ada ide ?

Anonim mengatakan...

Mungkin ini yang dinamakan dilema, kedua belah pihak sama2 menguntungkan..

Sungguh ironis, tetapi ini adalah simbiosis mutualisme rupanya.. Kalo di jkt pengamen dan pengemis ada yg mengkoordinir...

Dan gak mudah merubah keadaan ini, karena mereka kadang juga bukan penduduk setempat... meskipun sdh di plgkan ke desa/kota asal, tapi suatu hari mereka kembali lagi... Gimana donk...

Anonim mengatakan...

Aloooooooo mas fir lama ga mampir aku yah? sehatkan? tulisan makin ok aja ne...aku lama ga kemana2 mas, heheheheh...

Arief Firhanusa mengatakan...

Berbagi dengan:
@THE DEXTER
Kita emang masih sebatas mendiskusikan masalah ini, bro, susah mencari solusi.

@G
"Dosa terbesar". Aha, ini PR yang nggak kunjung ada jalan keluar. Mari bersama memikirkannya, bahkan jika harus terselesaikan pada generasi kita yang kesekian.

@LALA
Iya, kok kebetulan sih? Nah yang dana miliaran untuk kampanye itu udah sulit diurai, apalagi diserobot untuk kepentingan yang bukan keperluan mereka ...

@YESSY MUCHTAR
Bedanya, suamimu langsing, saya mendekati gemuk, wahakakakak ...

@HESRA
"Pekerja seni jalanan" di bidang akting? Ahahahaha, manis juga sebutan ini. Tapi tabiat mereka yang menggendong "mental kere" membuatnya tak manis lagi, apalagi ada pula yang diperkosa. Shitt!!

@BLUE
Kaya ngga ngerti kelakuan abangmu ini sih Blue. Dikit-dikit sesenggukan melihat ketimpangan ... Tapi kalau untuk membunuh nanti dulu Blue.

@GOENOENG
Batin menjerit sudah cukup untuk mengaplikasikan kegetiran. Ide yang jenengan maksud mungkin menata kembali sistem pemerintahan dan sistem kenegaraan. Ada perlunya dilakukan revolusi untuk menata kembali infrastruktur negeri ini yang telanjur remuk. Cuma, siapa mau memulai dan siapa akan mendukungnya?

@IYAS
Memang susah menciptakan lembaran baru di jagat perngemisan. Masalahnya, negeri ini sudah telanjur dicap sebagai "negara pengemis.

Tempo hari Mas Goenoeng bahkan mengucapkan joke yang membuat saya ngakak. Ia bilang, "Indonesia lama-lama menjadi pengekspor otak, sebab otak rakyat Indonesia sangat mahal lantaran jarang digunakan."

@RIEN
Hello, Rien, saya baek-baek saja. Bagaimana dengan kamu. Makasih mau berkunjung (lagi). Salam.

Anonim mengatakan...

kefakiran kadang menggilas habis akal..

Anonim mengatakan...

Aduh mas, hancur rasanya hati saya meliat foto anak kecil tersebut...

Anonim mengatakan...

blue idenya bagus. membunuhi mereka satu-satu. sepertinya asik buat sasaran belajar nembak.
tapi biar lah. bukannya masing2 jiwa sudah dibuatkan kutukan untuk dijalani sepanjang hidup? berharap saja begini: semoga tuhan tidak lupa menciptakan takdir bagi mereka.

echi weedya mengatakan...

iyaa.. aku juga pernah ngebentak ibu2+gendong batita,mas. bedanya, dia di lingkungan kampusku. bahkan, dengan kurang ajarnya masuk ke kelas2 yg baru saja selesai perkuliahan,gendong anak,pula.

ngerasa berdosa siih. anak kecil kok ngebentak orangtua. tapii... yg bikin aku dongkol,, lusanya aku ketemu dia di rektorat&dibawah terik matahari. mungkin biar dikasihani,kali ya??;p