Tujuhbelasan dicibir oleh sebagian masyarakat kita. “Perayaan yang latah. Lomba-lomba itu apa artinya? Bagi saya, hidup ini mencari uang, bukan ikutan panjat pinang,” cetus Fitri, sebut saja begitu, asisten dokter saraf di sebuah rumah sakit, dengan muka yang dibuat sedemikian rupa agar tampak menyebalkan.
Fitri, dan sebagian lain warga negeri ini bersikap skeptis terhadap ulangtahun negaranya, disebabkan oleh beberapa perkara.
Pertama, kemungkinan besar mereka tak pernah menempatkan kerumunan lomba, atau pemasangan lampu hias di jalanan, atau pemasangan umbul-umbul di tepian jalan, sebagai sesuatu yang istimewa karena dianggapnya ikut-ikutan.
Kedua, mereka mual dijejali pelajaran sejarah dan kewarganegaraan sewaktu mereka bersekolah – disebabkan pada waktu sekolah mereka nakal dan senang membolos -- sehingga menilai tujuhbelasan sebagai sebuah rutinitas yang membosankan.
Ketiga, dan ini bobotnya lebih berat, orang-orang skeptis ini tak pernah menyadari makna “bumi dipijak, langit dijunjung”. Mereka lintah yang mau menyedot nafkah di negerinya sendiri, tetapi tak pernah sadar bahwa sebagian nyawa kita dibeli dengan ceceran darah dan jeroan yang berhamburan para pejuang kemerdekaan. Pejuang yang berjudi nyawa untuk kebebasan, tanpa terpikir anak-cucunya tak lebih para maling dan tukang tilep.
Sah-sah saja tak ikutan lomba, sebab generasi terkini memang sekadar balapan karung atau cepat-cepatan mencaplok kerupuk. Boleh-boleh saja berlalu dari kerumunan ibu-ibu di lapangan dekat rumah, karena tak jarang mereka datang ke perlombaan panjat pinang untuk ngerumpi atau ngerasani tetangga.
Tetapi ketika masyarakat Amerika begitu bangga dengan “Independence Day”-nya, warga Mozambik dan Kroasia yang mengumandangkankan “merdeka!” tiap 25 Juni, beberapa di antara kita malah tak punya bendera. Banyak yang punya, tetapi malas mengeluarkan dari lemari. Ada yang sudah menariknya dari tumpukan baju di lemari, tetapi enggan memasang dengan alasan tak punya tiang.
Mereka tak sadar, atau belum menyadari, atau pura-pura tak sadar, bahwa mengurus KTP saja berhubungan dengan negara, tak punya KTP urusan tak lancar, SIM diteken oleh pejabat berwenang, menonton sinetron dari televisi yang diijinkan oleh pemerintah untuk mengudara, menunggang motor dengan pelat nomor yang diketahui samsat, meski, bisa jadi, para pejabat yang menandatangani surat-surat kita adalah koruptor juga.
Dalih paling santer diletupkan mereka yang merasa ‘tak memiliki Indonesia’ ialah bahwa negara ini sesungguhnyalah “belum merdeka”. “Merdeka apanya? Jadi kacung belasan tahun begini ente mengatakan Indonesia merdeka?” Ujar Sutiman, kernet angkutan kota.
Fitri begitu bangga dengan adik kandungnya yang kasatreskrim di sebuah polres di Mataram. Kasatreskrim yang menghormat komandannya dengan tangan setinggi dahi. Penghormatan yang sama ketika kita berdiri di depan Merah Putih yang dikibarkan pada saat upacara 17-an. Fitri juga pernah berpacaran dengan tentara maupun polisi, dua aparat yang (konon) pembela bangsa dan pengayom masyarakat, yang heroismenya seragam dengan para pejuang kemerdekaan. Ia amat bangga dengan tentara, sampai-sampai baju-bajunya bermotif doreng. Tetapi, ironisnya, ia eneg dengan acara 17-an!
“Sampean boleh bangga dengan Indonesia, tetapi Indonesia yang mana? Indonesia yang digerogoti maling? Indonesia yang hanya membuat sejahtera keluarga Cendana? Indonesia yang korupsinya nomor tiga di dunia? Indonesia yang bangga dengan TKW dan TKI? Indonesia yang tetap kere meski katanya punya sumber daya alam berlimpah? Bah!” Kata seorang teman, suatu ketika.
Benar! Tetapi, right or wrong is my country!
5 komentar:
kalau begitu kita cari musuh bersama aja ya mas... perang seperti rusia sama georgia atau kita bikin para maling uang rakyat jadi musuh bersama. biar semangat nasionalismenya bangkit kembali. kalau gak terdesak negara kita tidur melulu. he2x..
kasih alamatnya si fitri, biar aku jitak! :p
@ahmed
wuih, gagasan oke tuh mas. Mantap! Yuk kita lakukan ide itu!
its my country mas, saiya tetap bangga jadi orang Indonesia.
Betulan ini..
betul, saya juga bangga jadi orang Indonesia, karena gak hanya yang jelek dan salah melulu koq :)
Posting Komentar