Pintu itu berwarna ungu. Saya mengetuknya perlahan, takut membangunkan secara mendadak penghuni rumah. Hari masih pagi, sisa kabut menyelimuti pekarangan. Sepi. Hening.
Seraut wajah muncul dari pintu yang sedikit terkuak. Perempuan. Ia tampak lelah.
"Selamat pagi. Boleh saya bertemu pemilik rumah ini?" Ujar saya seraya membungkukkan sedikit tubuh dengan sopan.
Sesaat ia menyimak saya seraya mengerjap-ngerjapkan mata. "Anda siapa?" Ah, suaranya serak, tetapi membuat saya mendadak ingin mengapung di atas suara itu.
"Tak penting siapa saya. Lebih penting saya harus segera menemuinya."
"Untuk keperluan apa?"
"Saya harus bertemu dengannya, ini sangat mendesak. Saya mimpi bertemu dengannya dan ia menitip banyak pesan. Saya harus menyampaikan pesan-pesan itu, atau setidaknya saya akan mengatakan padanya bahwa saya telah bermimpi bertemu dengannya, sehingga saya memiliki kesempatan untuk mengatakan bahwa saya menyanggupi untuk menyampaikan pesan-pesan tersebut."
"Seberapa penting pesan itu sehingga Anda setengah memaksa untuk bertemu dengannya?"
"Penting, bahkan teramat penting karena menyangkut rasa dan saling memiliki."
"Saya tidak paham."
"Mari saya perjelas. Saya sebelumnya tak pernah bermimpi sehebat ini. Dalam mimpi, saya bertemu dengannya di padang ilalang. Saya memberinya percik air karena ia menahan dahaga, dan kemudian memapahnya menuju pohon perdu. Kami cepat akrab karena seolah kami telah lama saling mengenal. Ia bercerita banyak soal masa lalu, masa sekarang, dan bagaimana ia bisa terdampar di padang ilalang yang maha luas ... "
"Ia berpesan apa, itu yang saya tanyakan!" Ia menyela.
"Ia berpesan, agar saya menjaganya, agar saya berada di sisinya setiap kali ia membutuhkan saya. Ia juga bersedia memberikan apa saja jika pesan-pesannya saya lakukan. Ia mengatakan cinta, membuat penggalan kata 'cinta' menjadi hirarki dan pondasi. Saya menyentuh pipinya, dengan harapan ada aliran darah yang menyesap ke jantung dan segenap pembuluh. Saya sadar akan satu hal, kami sama-sama terdampar dalam kubus yang sama, cinta."
"Anda mencintainya atau hanya akan mengirim pesan?"
"Saya mencintainya."
Ia menatap saya dengan seksama.
"Tolong bukakan pintu kalau ia ada di dalam sana," ujar saya tidak sabar.
Ia kembali menyimak saya lekat. Lalu berujar lirih, "Ketahuilah, sayalah yang Anda cari."
Saya terperanjat. "Jadi?"
"Ya, pesan-pesan yang Anda bawa itu sayalah yang menitipkan. Mari masuk. " Ia mengulurkan senyum pertamanya.
****
2 komentar:
merinding saya bang!
benar-benar merinding.
bukan karena ketakutan....
tapi kata-kata yang kau oleh menjadi sedemikian indah.
bajindol,.... aku yo ho'o.... makprinding
kau memang penggembala wanita, wahai tetanggaku!!!!!
Posting Komentar