Search

26 Feb 2009

PERTAMA KALI KE LUAR NEGERI (2-HABIS)


/Ditawari PSK

SAYA
di lantai lima Hotel Regent (nomor kamarnya lupa). Bang Apul di lantai 6. Pria kocak seumuran Bapak ini membuat saya nyaman. Ia fasih Bahasa Inggris. Pernah saya dilihati paspornya. Bujubuneng, lebih 20 negara telah ia injak!

Malam itu, usai mengirim berita dan foto ke Jakarta, kami plesir. "Bawa paspor, Rief, jangan lupa!" Ujar Bang Apul via intercom. Buat apa paspor? Bukankah dokumen ini cuma diperlukan di imigrasi? Ah, daripada dianggap banyak cingcong, saya turuti. Kadang-kadang saya seperti menyimak paras Bapak saat menatap Bang Apul, hehehe ...

Benar saja. Paspor memang wajib di kantong tatkala saya menemui kejadian seperti ini.

Baru lima langkah dari pintu utama Regent, kami dihampiri pria separuh baya. Ia tersenyum sok intim, lalu merangkul saya. "Encik butuh perempuan? Saya bisa menyediakan wanita Asia hingga Rusia. Harganya murah. Ayo ikut saya kalau berminat," ujarnya, beraroma calo.

Saya bengong sesaat. Memandang sebentar ke Bang Apul. Ia mengerdipkan mata, memberi isyarat agar saya menampik. Syukurlah benteng saya kuat. Saya tolak tawaran pria ini dengan halus, dan ngeloyor pergi meninggalkan mucikari tadi.

"Kalau mendapat tawaran seperti tadi, jangan senang dulu. Itu bisa saja perangkap, sebab nanti kamu disergap polisi karena ada narkoba di saku celanamu yang diselipkan oleh seseorang. Paspor di sakumu itu memang membantu, tapi sebatas polisi tahu bahwa kamu bukan TKI gelap," wejang Bang Apul. Saya manggut-manggut mengerti.

Di trotoar, di sela lalu lintas padat, saya memperoleh pengalaman baru. Saat mendekati kios rokok, saya melihat sigaret merek Indonesia banyak dijual di sana. Hanya, bungkus dan rasanya tak segurih aslinya.

"Cekap niku mawon, Mas? Mboten mundut sanesipun? (cukup itu saja, Mas? Tak membeli yang lain?)," kata penjual rokok. Saya simak wajahnya. Ia tersenyum lebar. "Jangan kaget, Mas, saya asli Madiun," imbuhnya seraya nyengir. Lebih lebar. Sompret! Kami ngakak.

***

/Foto dengan Legenda

HARI
terakhir Seminar "The Future of Soccer" yang dilibati insan sepakbola dari seluruh penjuru dunia itu tiba. Ada sesi foto-foto. Nah, inilah yang saya tunggu-tunggu! Kamera membidik sini-sana. Foto bersama Pele adalah level tertinggi seminar selama seminggu itu. Maka, inilah giliran saya!

Saya jabat tangan pria keling ini. Ia menggenggam erat-erat. Beberapa detik waktu yang disediakan tak saya sia-siakan. Saya bilang dari Indonesia. Ia membelalakkan mata. "O, saya pernah ke Indonesia tahun 1976. Stadion (Utama) Senayan membuat saya terkesan!" Ujar pria Brasil itu dengan Inggris patah-patah. Dan, cepret! Cepret! Fotografer Jepang yang bergantian dengan saya berfoto bersama Pele itu melakukan tugasnya.

Ada wawancara eksklusif yang disediakan Pele, khusus untuk kami, saya dan Bang Apul. Itu oleh-oleh terbesar kami selama di Kuala Lumpur.

***

/Pacaran Ala TKI

BARANG
telah saya packing. Menunggu penerbangan jam 6 sore saya manfaatkan untuk membaca koran lokal. Saat itulah pintu diketuk. Ruangan mau dibersihkan. Saya mempersilakan masuk dua petugas.

Di sudut kamar, dekat jendela, saya menyelonjorkan kaki seraya membaca. Tak saya hiraukan para room girl menarik sprei dan membilas kamar mandi.

Sepuluh menit kemudian, mendadak satu di antara dua perempuan itu berkata, "Mas dari Indonesia, ya?"

Saya menurunkan koran. Saya lihat sumber suara. Wanita muda dengan logat Jawa Timur yang kental. Ia tersenyum, seakan mengatakan, dugaan Anda benar, saya memang dari Jawa.

"Mbak dari mana?" Tanya saya penasaran.

"Mojokerto, Mas. Saya Suyati, dan ini Misnah, asal Kendal, Jateng," katanya sembari menunjuk teman kerjanya.

Lalu kami 'reuni'. Keduanya berkisah banyak perihal TKW, nasib, serta tradisi sehari-hari di negeri orang. "Berapa gaji kalian di sini?" Tanya saya.

"(Ia menyebut sekian ringgit). Kalau dirupiahkan kira-kira 3 juta rupiah, Mas," ungkapnya. Wah, lumayan juga (untuk standar rupiah sebelum krisis moneter 1998).

Dasar jurnalis, saya terpikat untuk melontarkan pertanyaan nakal. "Kalian sudah bersuami?"

"Saya belum, Mbak Yati sudah," kata Misnah cepat.

Saya lebih tergoda bertanya lebih spesifik. "Oke, Mbak Yati sudah bersuami. Apakah tidak takut suami sampean selingkuh karena bertahun-tahun sampean tinggal ke sini? Lalu sampean sendiri apa kuat sekian lama tak tidur dengan suami?"

Mbak Yati tersenyum dikulum. Lalu, dengan malu-malu membuat pengakuan yang bikin saya terperanjat. "Saya punya pacar, Mas. Dia TKI juga, tapi di Serawak. Seminggu sekali kami ketemu di taman kota ... "

"Ngapain saja saat ketemuan itu?" Potong saya.

"Sebagaimana layaknya pacaran lah, Mas, kami (SENSOR) di hotel dekat sana ... " katanya, tanpa sungkan.

Saya makin melongo.


***
Dedikasi untuk Bang Apul Maharaja. Dimana Abang kini berada? Saya rindu.


25 Feb 2009

PERTAMA KALI KE LUAR NEGERI (1)


ENDANG, ibu tiri kami, mengisahkan pengalamannya menjadi TKW di Kuala Lumpur. Saya pura-pura takjub, seolah tak pernah menginjak Malaysia. Di sudut lain ruang tamu Bapak, Indah, adik saya nomor dua, hanya mesam-mesem saja.

Nah, inilah yang terjadi pada 1996, ketika saya untuk pertama ditugasi ke luar negeri oleh Tabloid BOLA. Sesuatu yang memalukan, sekian lama saya simpan, tapi tak tahan untuk tak diceritakan.

Pagi, di Soekarno Hatta, jantung saya berayun tak teratur. Maklum saja, ini pertama saya bakal menumpang pesawat terbang.

Di tangga menuju lambung Singapore Airlines, Bang Apul, wartawan senior Suara Pembaruan, sudah menjinakkan hati saya lewat joke-joke-nya yang renyah. Tapi saya tetap dengan dada berderap. Lalu duduk diam di kursi, melihat sekitar seperti pria kampung yang tahu-tahu telah berada di jantung Jakarta yang hiruk pikuk.

Beberapa menit menjelang terbang, sejumlah pramugari (cantik-cantik pula) berkeliling. Mengecek ini-itu. Menyuruh penumpang mematikan elektronika, atau sekadar mengingatkan agar kami mengunci perut dengan seat belt.

Sabuk pengaman! Aih, yang mana? Gimana caranya mengunci? Saya panik tak keruan saat telah menemukan sabuk pengaman tetapi berkali-kali gagal mengaitkan. Lebih panik lagi waktu seorang pramugari datang. Saya berpikir cepat. Supaya tak malu, segera saya tutupi perut dengan jaket, dan pura-pura sibuk membaca koran. Syukurlah, sang pramugari menganggap saya aman. Saya nyengir, tapi pahit.

Lebih pahit lagi pada babak berikutnya. Saat pesawat sudah di atas awan, pramugari mulai membagi-bagi makanan. Giliran satu diantaranya sampai di kursi saya. Menebar senyum sebentar, lalu ia bertanya: "Beef or chick?"

Tentu saya gugup. Maklum, kala itu Inggris saya belepotan dan tak siap berbincang. Asal saja saya bilang: "Beef!" Eh, tak tahunya ia menyodorkan daging. Alamak, rupanya ia bertanya saya ingin daging atau ayam!

Pesawat transit di Bandara Changi, Singapura. Saya dan Bang Apul melenggang di hamparan lantai bandara yang luas. Diterpa sejuk udara, saya mencabut Gudang Garam dari tas. Menarik sebatang dari bungkus, lalu menyelipkan sigaret di bibir.

Seseorang menepuk pundak. Saya kaget bukan kepalang. Seorang bule. Ia mengingatkan saya agar tak merokok di sana, sembari ditunjukkannya tulisan "dilarang merokok" di tembok. Buru-buru saya telusupkan lagi rokok tadi, demi menghindari borgol polisi. Bule tadi menjelaskan, siapa saja yang merokok di bandara itu (dan tentu saja kalau ketahuan), maka akan dipenjara. Wah-wah, hampir saja!

Lalu tibalah kami di Hotel Regent, Jalan Hang Tuah, Kuala Lumpur, beberapa jam kemudian. Saat Bang Apul telah menyelesaikan administrasi, maka giliran saya. Saya mencoba rileks. Kantor Jakarta sudah reservasi, jadi saya tinggal menyebut nama dan resepsionis memberi kunci.

Tapi apa lacur. Ternyata markas kami hanya reservasi, sementara pembayaran tetap oleh saya, dengan uang bekal yang tadi diberikan. Saya melirik sekeliling. Rata-rata mereka memakai kartu kredit. Sedangkan saya bentuk dan rupa credit card saja tak pernah tahu.

Saya bertanya pada petugas, apakah membayar dengan tunai diijinkan. Ia pun mengangguk. Maka, saya mengeluarkan lembaran-lembaran ringgit yang lusuh hingga recehan terkecil yang bunyinya bergemerincing kala berjatuhan di meja reception. Tak ayal semua yang di sana -- termasuk Bang Apul -- tak bisa menahan tawa. Muka saya mirip udang rebus ...

Di kamar, usai Bang Apul ngakak berat melalui aiphone antarkamar, saya nyengir kuda menyadari betapa udiknya saya ... (Bersambung)

24 Feb 2009

STOP PRESS

Saya tertawa pagi-pagi tadi. Ada seseorang yang super benci pada Anggun C Sasmi, yang meminjam blog saya untuk melampiaskan kekesalan, dengan menulis sumpah serapah sebusuk sampah di shoutbox.

Dugaan saya, yang bersangkutan terobsesi paras atau tubuh Anggun, namun hasratnya membentur tembok lantaran ia hanya bisa melihatnya di layar kaca, atau merabanya di layar komputer (sembari onani atau masturbasi).

Istri saya menyebut, pelakunya -- seorang perempuan-- iri pada performa Anggun, sehingga manakala ada sanjungan kepada Anggun seperti saya tulis di sini, maka ia naik darah.

Lelaki atau perempuan tersangkanya, saya menyebutnya BANCI. Banci karena menohok saya dari belakang, dan sangat pengecut! Pengecut sebaiknya tak perlu bertahan hidup karena ia bisa berubah-ubah dari setan, bakteri, hingga wereng!

Saran G, saya harus mem-banned IP-nya. Ia mengubah-ubah nama -- terakhir menggunakan identitas SUBHANALLAH (yang berarti "Maha Suci Allah") yang membuat saya sangat marah. Tapi, berkat G pula, saya mendapat tips untuk membabatnya (thanks, G).

Sengaja saya tak berniat menghapus shoutbox, dan sama sekali tak takut andai ia kembali mengacau karena saya punya cara untuk membuatnya lelah dan mati gegar otak!

23 Feb 2009

KETIKA SAYA NYARIS BERKELAHI


DI tikungan dekat gang kami ada warung tenda. Warung hik orang Jogja dan Solo bilang. Orang Semarang menyebutnya "warung kucing", atau sego lunyu (nasi licin).

Warung tersebut berjual nasi bungkus murah meriah beserta goreng-gorengan, dan, tentu saja, teh lezat yang dimasak dengan arang.

Sore hingga malam ramai sekali di sana. Sepeda motor berjajar di depan dan kiri-kanan. Di antara riuh rendah orang-orang lesehan, terdapat sejumlah remaja. Dari parasnya, tampak benar mereka bengal. Pria-pria tanggung itu merokok seraya saling ejek dengan bahasa kasar.

Syahdan, di warung ini sering pula ada reserse yang menyaru, ikut bergabung. Mengapa polisi di sana? Tentu saja untuk meringkus bandit, atau sekadar memburu informasi. Dengar-dengar polisi-polisi preman tadi beberapa kali memborgol kawanan maling sepeda motor di warung tenda itu.

Minggu sore kemarin saya menyantap gongso pindang di sana. Selagi makan dan kemudian merokok sesudahnya, terdengar para remaja "slum" itu bercengkerama dengan nada kencang diliputi tawa ngakak yang sangat berisik. Entah, saat itu saya sama sekali tak merasa terganggu. Biasanya situasi semacam ini memancing rasa jengah saya.

Usai merokok dan membayar makanan, saya membersit keluar. Sontak tawa mereka berhenti seolah direm. Sedetik saya membatin, kehadiran sayakah yang membuat mereka berhenti tertawa? Atau ada hal-hal konyol dalam diri saya? Saya tatap kerumunan itu. Tak kurang selusin remaja nakal melihat secara serempak ke tubuh dan mata saya. Saya sedikit tersinggung karena sebagian ada yang cekikikan seraya memandang saya.

Naluri saya mengatakan, saya memang alasan mereka menghentikan canda. Saya bawa insting itu kala kaki saya melangkah ke arah belasan orang ini, dengan risiko dikeroyok. Tak masalah, batin saya, toh hari belum gelap. Andai mereka mencoba menganiaya, saya masih punya celah untuk menyerang balik. Sudah lama kami, warga terdekat, kesal dengan ulah mereka yang suka trek-trekan motor tiap malam Minggu, menimbulkan bunyi knalpot yang memekakkan telinga! Dan inilah saatnya!

Sejengkal lagi saya sampai di motor-motor yang mereka tunggangi. Saya waspada. Tiap gerakan mereka saya teliti benar. Siapa tahu mendadak ada yang mencabut obeng dan menikam kepala saya.

Tapi ternyata keliru. Tanpa tahu apa sebabnya, seorang diantara mereka yang bertato kupu-kupu di lengan menyapa dengan ramah, "Pak ... " Ujarnya sembari menganggukkan kepala. Beberapa di antaranya bersikap sama.

Kepalan tangan yang saya persiapkan pun saya lepas. Berganti senyum untuk merespon sapaan itu. Tak lama, kami terlibat obrolan seru. Mereka ternyata maniak sepakbola. "David Beckham itu cuma dipinjam AC Milan atau benar-benar dibeli, sih, Pak?" Tanya remaja kurus dengan gigi yang berkerak hitam karena rokok.

Perbincangan kami 15 menit lamanya. Mereka kurang berpendidikan, atau bersekolah tapi tak mendapat perhatian penuh dari orangtua, dan salah bergaul. Itulah kesimpulan saya. Mereka enak diajak ngobrol, tapi sering kurang kontrol. Tak jarang saya mendengar mereka bilang (maaf) "asu" (anjing), "cocote" (diterkemahkan secara harfiah dengan "mulutnya", tapi "cocote" sungguh sangat kasar untuk orang Jawa), serta banyak lagi nama binatang dan "profesi nista" mereka lontarkan.

Saya mencoba menganalisa, adakah diantara mereka adalah pelaku perampokan yang gagal terhadap Pak Komar, tetangga di gang saya itu, beberapa hari lalu? Perampok yang gagal ini sempat membacok punggung atas Pak Komar, sehingga urat harus mendapat belasan jahitan.

Saya pamitan akhirnya. Sebelum beranjak, saya ditanya satu diantara mereka. "Bapak ini polisi, ya? Dinas di mana, Pak?" Saya tersenyum saja.

Memang tampang saya polisi? Gerutu saya.

20 Feb 2009

PELURU CINTA


... Mengapa surat-suratku tak pernah kau balas? Mengapa kau pergi seperti ditelan bumi? ...

***

SURAT bersampul cokelat. Nada-nada putus asa ditunjukkan Viona lewat amplop yang tak lagi ungu. Gegar menggeletakkannya di meja, di sebelah botol Jack Daniels, lantaran ia masih bergulat syahwat dengan Diana di sofa.

Ia mengguyur sekujur tubuh dengan air hangat, sejam kemudian. Dalam telanjang, ia ingat Viona. Ah, gadis yang ranum. Gegar mengenalnya di sudut pasar, tatkala hari menjelang dini, lima tahun lewat.

Hati-hati ia melindap menuju BMW warna gelap yang bannya kempes di sudut pasar itu. Ia menyorotkan senter tanpa bermaksud mengagetkan. Tapi, tak urung, si pemilik mobil terperanjat. Wajah kuning langsat itu serta merta sepucat mentega.

"Ada yang bisa saya bantu?" Suara berat Gegar menyurutkan nyali Viona. Tapi, entah, nalurinya mengatakan pria di depannya bukan bandit. Setidaknya, kalaupun penjahat tetapi berhati lembut.

"Ban saya kempes, Pak ... " Ujar Viona dengan geletar yang susah disembunyikan, meski tadi ia sempat merasa aman ada orang datang. Maklum saja, pasar ini gelap gulita. Ada aura jahat di sekeliling.

Tanpa basa-basi, Gegar membuka bagasi. Ditariknya dongkrak dari kolong, membuka ban, dan memasang ban cadangan.

"Lain kali jangan lewat sini, neng. Banyak pencoleng di ujung sana. Untung saya ada di dekat sini tadi," ucap Gegar seraya menunjuk sudut gelap di sayap kiri pasar.

"Terima kasih, Pak."

"Panggil Gegar saja. Oke, kau boleh pergi sekarang. Hati-hati."

Pertemuan yang membuat Gegar menyesal. Ia meninggalkan nomor telepon pribadi ke ponsel Viona. Bukan hal biasa ia lakukan. Ia pembunuh bayaran yang sangat teliti dan rapi menyimpan beragam celah kebocoran.

Paginya Viona menelepon. Sekadar menanya kabar. Celakanya Gegar tak menolak ajakan makan siang. Gegar menjemput Viona di gerbang kampus, menyisir hujan di kota atas dengan renda-renda cinta. Ada sentuhan-sentuhan kecil lengan Viona yang menggerakkan aorta Gegar ...

Keduanya terlontar dalam pusaran pelangi di rentang enam bulan. Viona seolah bersebelahan dengan gladiator tiap kali mendapati Gegar menangkupkan lengannya yang kekar. Gegar pun merasa mendapatkan tetes anggur di kemarau yang retak tiap kali mendengar tawa Viona yang nyaring.

Lalu Gegar harus berkelahi dengan situasi ini. Ia tak mau hanyut dalam asmara bahaya. Riskan andai Viona tahu apa pekerjaannya. Berisiko kalau gadis itu kelak terlibat dalam situasi panas pertaruhan nyawa.

Hanya PO BOX yang menautkan Viona kepada Gegar. Setidaknya bayangan Gegar. Gegar menyesal telah memberi alamat itu. Itu sebabnya ia tak pernah membalas surat-surat Viona.

***

MONCONG senapan mengarah lurus ke kaca plaza di bawah sana. Dari ketinggian -- di gedung berlantai 9 di jarak 200 meter dari plaza --, Gegar menghisap sigaretnya dengan tenang. Ia harus membunuh seseorang malam ini. Sesuai perintah Mr X -- begitu Gegar memanggil 'sosok' yang biasa memberinya order -- ia hanya perlu melesatkan satu peluru yang menembus kaca 5 inci, melalui banyak kepala di acara peragaan busana, dan menancap di jidat seseorang di tengah kerumunan.

Pekerjaan berat. Biasanya ia hanya perlu membidik satu target tanpa rintangan. Tapi Mr X meyakinkan. "Kau tak akan susah menembak karena ia berdiri di atas pentas," ujar pria yang sama sekali belum pernah ia lihat parasnya ini. "Besok, kau ambil sendiri honormu di tempat biasa. Lima puluh juta rupiah," sambung Mr X.

Gegar tak perlu bertanya siapa yang akan dibedil, untuk masalah apa, dan sebagainya. Pekerjaannya cuma membunuh. Lalu upah ia dapatkan. Dan lupakan.

"Lima menit lagi," ujar Mr X, entah dari mana. "Ada tanda dari seseorang yang akan melambaikan tangan di sisi kiri panggung, menuntunmu siapa yang hendak kau tembak. Ia berbaju kuning, melambaikan tangan ke arahmu."

Lup telah memperpendek jarak. Gegar menemukan pria berbaju kuning yang sebentar-sebentar memandang ke arahnya. Tiga menit ... Dua menit ... Satu menit ... Gegar mulai mengatupkan telunjuk di pelatuk. Menunggu aba-aba pria berbaju kuning.

Inilah saat Gegar harus menembak. Pria berbaju kuning menunjuk ke arah seorang peragawati yang gemulai memamerkan busana di atas catwalk. Gegar tersentak. Di bawah sana, perempuan yang harus ia bunuh adalah ... Viona!


***
Cerpen Peluru Cinta pernah saya kirim ke Koran Tempo, medio 2007. Tapi, hingga detik saya menulis ini saya belum mendapatkan kabar dimuat atau tidak. Naskah di atas adalah nukilan cerpen tersebut.



19 Feb 2009

CINTA PUTIH LOLITA


LOLITA menatap relung mata Paundra. Secarik berkas putih ia siratkan, melesak dan bersemayam dalam dada kekasihnya. Di pembaringan, Paundra tampak lelah.

"Ambil gitar itu, Lolita, nyanyikan untukku lagu termerdu," bisik Paundra seraya mengayunkan mata menuju gitar di atas sofa.

Lolita mengambil gitar. Duduk bersila di sudut ranjang. Menekan lembut kaki Paundra yang dingin. Lalu mulailah ia memetik senar. Ia nyanyikan Cinta Putih, lagu Katon Bagaskara.

Mari kita jaga sebentuk cinta putih yang telah terbina
Sepenuhnya terjalin pengertian antara engkau dan aku

Masihlah panjang jalan hidup mesti ditempuh

S’moga tak lekang oleh waktu


Cukup bagiku hadirmu

Membawa cinta selalu

Lewat warna sikap kasihku

kau ungkap tlah terjawab


Jika kau bertanya sejauh mana cinta membuat bahagia

Sepenuhnya t’rimalah apa adanya dua beda menyatu

Saling mengisi tanpa pernah mengekang diri

Jadikan percaya yang utama


Mata Paundra memejam. Larut. Hanyut. Mengalir menyusuri darah di segenap aorta. Darah yang sedang bermasalah ...

"... Positif, Lita. Leukemia ... " Ujarnya pendek di telepon, dengan geletar yang mengoyak tenggorokan.

Di seberang, Lolita terdiam. Lama. Hanya isak tangis. Ya, tak ada kata-kata.

"Kamu masih mencintaiku, kan?" Tanya Paundra putus asa.

Tak ada jawaban. Tetapi esoknya Lolita mengatakan cintanya dengan dekapan. Di beranda, di sela gerimis tebal, Lolita menciumi pipi Paundra. Ia tak ingin dipisahkan dengan Paundra, walau seinci saja.

Paundra mendapatkan cinta Lolita, suatu pagi, Desember 2006, menjelang malam pergantian tahun. Paundra hanya anak pemilik kafetaria mungil di sudut kampus. Tak ada baju mahal, lebih-lebih Blackberry. Ia mencatat daftar makan Lolita dan teman-temannya, lalu menghambur ke dapur.

Saat meninggalkan kafe, dompet tebal Lolita tertinggal. Paundra mencari-cari Lolita. Namun sampai hari kelima tak bertemu juga. Ia pun akhirnya bergegas menuju rumah Lolita. Dari KTP Paundra mendapat alamat. Ada 2 juta yang terjalin rapi serta 5 kartu kredit dalam dompet. Dan ia bukan pria yang mudah tergoda.

Di teras, Lolita bersorak girang. Ia menyangka dompetnya terhempas di jalan raya, atau dicopet saat berbelanja di toserba. Ia bahkan telah melaporkan kehilangan ini ke polisi.

Lolita mencabut 100 ribu untuk balas jasa. Tapi Paundra menolaknya. "Tidak, non, terima kasih. Saya senang menerimanya, tapi lebih senang lagi kamu nggak kehilangan sepeserpun uang di dompet itu," katanya. Ia lantas bergegas pulang, membantu ibunya melayani mahasiswa.

Tapi jalan hidup adalah misteri terbesar arcapada. Lolita menghabiskan malam-malamnya yang sepi dengan menelepon Paundra. Ia berkisah banyak, bercerita panjang. Bahasa lisan yang diliputi buncah tawa, isak sengal, dan cemburu.

"Tak percaya! Pasti kamu udah punya pacar!" Berondong Lolita.

"Sumpah!"

"Tak perlu bersumpah. Aku percaya kamu."

Kepercayaan. Rasa aman. Rasa tenteram di hati. Itu yang Lolita dapatkan dari Paundra.

"Aku pernah hamil ... Keguguran. Dikuret ..." ucap Lolita suatu hari. Ia menunggu reaksi Paundra. Seolah menanti eksekusi. Ia sudah bersiap andai Paundra meludah. Atau memaki. Atau menyumpahserapahi. Tapi tak ada respon berlebihan. Emosi yang super stabil. "Kau tak bertanya siapa yang melakukannya?" Sambung Lolita, tak sabar.

"Itu berapa tahun lalu?" Tanya Paundra dengan ketenangan luar biasa.

"2004."

"Hm, berarti telah sekian lama. Dan aku yakin kau menyesalinya. Sesal yang kau bawa hingga kau duduk di depanku ini. Untuk apa aku menanyakan siapa yang menghamilimu kalau itu hanya akan menguak luka lama?"

"Sesal itu hanya enam bulan sesudah kejadian. Aku mengulanginya lagi. Hinggap di cowok-cowok berikutnya."

"Lalu untuk apa kau ceritakan?"

"Agar kau tahu betapa nistanya hidupku."

"Hidupmu tidak nista, setidaknya setelah aku menemukanmu dalam kondisi baik-baik saja."

"Kau tak menyesal?"

Paundra menggeleng.

"Kau percaya aku telah meninggalkan jejak lama dan kemudian menemukanmu secara utuh untuk menandaskan bahwa aku pernah tak mempercayai laki-laki manapun selama setahun terakhir sebelum akhirnya memutuskan untuk mencintaimu hingga ajal tiba dan bersumpah tak akan mencari penggantimu andai kau memenuhi panggilan-Nya?"

Paundra menangkupkan kepala Lolita di dadanya. Detak cinta yang melebihi berjuta-juta kata, meski ada jurang menganga: Lolita putri tunggal direktur Pertamina, sedangkan ia hanya anak pemilik kafetaria ...

***

SIANG dengan gemerisik daun bambu. Lolita duduk bersimpuh. Tanah pekuburan masih basah. Ia menatap pusara Paundra dengan kabut yang melingkupi mata ...




***
(Terinspirasi oleh film Autumn in New York, dibintangi Richard Gere dan Winona Ryder)

17 Feb 2009

PUISI: YANG PENTING INDAH


SAYA iri pada Mas Goen, Hezra, atau Rozi Kembara. Mereka pintar membuat puisi, menangkupkan kata-kata dalam kubus yang indah.

SMA, saya dikenal tukang bikin puisi di mading. Itu juga karena saya naksir Hanum, kembang kelas Biologi. Puisi centang perentang yang isinya "kembang", "pinus", "rembulan", dan "cinta".

Sampai akhirnya satu puisi saya dimuat Majalah MOP (majalah pelajar terbitan Harian Suara Merdeka, Semarang), pada 1988. Senang rasanya diweseli honor 20 ribu rupiah koma sekian.

Lambat tapi pasti saya tidak pede lagi. Hiruk pikuk lagu-lagu KLA Project atau Obbie Messakh yang 'puitis' menciptakan satu keraguan: apakah benar yang saya tulis ini puisi? Apakah telah saya tuang diksi dan metafor secara jujur sehingga tulisan saya pantas disebut puisi?

Menurut Dresden, puisi adalah sebuah dunia dalam kata. Isi yang terkandung di dalam puisi merupakan cerminan pengalaman, pengetahuan, dan perasaan penyair yang membentuk sebuah dunia bernama puisi.

Kesusastraan, khususnya puisi, adalah cabang seni yang paling sulit untuk dihayati secara langsung sebagai totalitas. Elemen-elemen seni ini ialah kata. Sebuah kata adalah suatu unit totalitas utuh yang kuat berdiri sendiri. Puisi menjadi totalitas-totalitas baru dalam pembentukan-pembentukan baru, dalam kalimat-kalimat yang telah mempunyai suatu urutan yang logis.

Altenbern mendefinisikan puisi sebagai “pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran dalam bahasa berirama (bermetrum). Menurut Samuel Taylor Coleridge puisi adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Untuk menyusun kata-kata yang terindah penyair melakukannya dengan pergulatan yang keras; memilih dan memilah kata sedemikian rupa sampai tercipta bangunan puisi dalam sebuah kesatuan yang utuh.

Woordworth mendefinisikan puisi sebagai pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Sedangkan Dunton mengungkapkan bahwa puisi adalah merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa yang penuh emosi dan berirama.

Dari pelbagai definisi itu setidaknya ada kata dua kata kunci yang penting, yaitu “perasaan” dan “indah”. Masalahnya, prosa pun menggunakan bahasa yang indah pula. Jadi di mana letak perbedaannya?

Sebab itu, salut setinggi langit untuk kawan-kawan yang setia dengan pendiriannya, tanpa memedulikan apakah goresan pena-nya pantas disebut puisi atau tidak. Menurut saya, tulisan teman-teman sangat indah (dan itu sudah memenuhi hakekat puisi), dan saya juga tak peduli beragam teori yang membatasi mana puisi mana bukan.

Tapi, herannya, saya sangat sulit membuat puisi!

14 Feb 2009

AWARD, IFOEL, DAN HELEN


IFOEL mungkin mewakili sekian banyak orang yang peduli tentang makna persahabatan. Ia memberi saya penghargaan, yang logonya (di samping itu) juga diberikan kepada kawan-kawan bloger lain dalam lingkup semangat sama: mengetatkan tali silaturahmi.

Jujur saya pernah antisimbolis. Bagi saya, perkawanan bisa dijalin hanya lewat saling tegur sapa. Tapi tak mengapa. Toh niatan Ifoel tentu didorong oleh itikad yang baik dan bening.

Saya pernah merasa berdosa tatkala 'menolak' award yang diberikan oleh Helen. Ia, dengan tulus mempersembahkan itu kepada saya, tetapi saya (dengan tegas) menolak karena saya merasa tak membutuhkan.

Lambat laun, saya menyesali sikap saya ini. Pertama, Helen sudah susah payah. Kedua, dengan 'penolakan' itu, ada hambatan komunikasi yang muncul menyusul. Kami jarang lagi saling berkunjung (sebab itu, jika Helen membaca entri ini, saya sangat berharap ia berkenan memaafkan saya).

Terima kasih tak terhingga pada Ifoel, Helen, dan sahabat-kerabat yang mengatasnamakan persahabatan di atas bentuk-bentuk interaksi positif lain.

12 Feb 2009

TABUNG TELEVISI


SUSI meremas baju dengan cemas. Pekik kecil keluar dari mulutnya tiap Andri menyalip. "Awas, Andri! Awas remmu blong!"

Andri bersiul kecil. Ia tenang saja memelintir setir tanpa ia sadari tiap saat mobilnya bakal terguling di aspal. Ringsek. Lalu ia tewas seketika.

Susi tak ingin itu terjadi. Tadi ia lantang mengingatkan agar Andri mengurungkan niatnya menaiki mobil usai ia meeting di sebuah hotel. Sepuluh menit sebelum Mercy itu bergerak keluar, seorang pria mengiris selang oli rem, atas suruhan Marvela, istri Andri.

Marvela menginginkan Andri mati karena ia mengincar kekayaan sang suami, pewaris tunggal PT Megah Citra Laksana, perusahaan raksasa perminyakan. Marvela bersekongkol dengan Sakti, teman karib Andri. Sakti dan Marvela berselingkuh beberapa lama.

Susi benci pada Marvela, terutama ketika sinetron Cinta Berselimut Kabut ini memasuki episode 23. Tiap malam ia berselonjor depan tivi, menanti tak sabar jam berdentang tujuh kali. Tak ia pedulikan azan isya berkumandang. Tak ia dengar teguran ibunya agar ia mematikan tivi lantaran Hasan dan Fikri, dua adiknya, sedang belajar.

"Mau jadi apa kau tiap malam nonton sinetron? Cari kerja sana! Malu dong sama tetangga!" Teriak ibunya saban kali. Susi diam saja. Seolah tak ada apa-apa.

Di layar kaca, mobil Andri mulai tak terkendali. Tol padat. Andri panik tatkala disadarinya ada yang tak beres. Ia menginjak dan memompa pedal. Nihil. Kemudian ia memindah persneleng ke gigi rendah. Mesin menderum kasar diliputi cericit roda. Di depan sana menghadang jurang ...

Susi meracau tak keruan. Jeritan-jeritan kecil berloncatan. Tubuhnya terdorong ke depan tatkala mobil Andri mulai membentur mobil lain, mengiris rerumputan, melanggar pagar, dan menyerbu jalur berlawanan di seberang.

"Awas Andri! Awaaaaass ... !!" Teriaknya kalang kabut. Tangannya menggapai-gapai angin dalam ketegangan yang maha hebat.

Lalu, tiba-tiba tubuh Susi mengapung di udara. Sedetik berikutnya, secepat angin televisi menyedotnya, menerobos kaca dengan lekas, dan tahu-tahu ia telah terbang di belakang mobil Andri ketika mobil itu melayang ke jurang.

Ia mencengkeram erat-erat bember belakang, mencegah pria tampan yang diam-diam ia cintai itu celaka. Tapi mobil meluncur deras, mencium batu dengan keras, hiruk pikuk sebentar, dan hancur berkeping-keping.

Susi histeris saat ia lihat badan Andri tak berbentuk lagi.

***

SEJAM kemudian saat isak sengal mereda, gelap menyelimuti Susi. Ia sadar telah tersesat dalam dunia yang tak ia sangka-sangka.

Di depannya tergolek tabung televisi. Di layar ia melihat ibunya tengah menjerang air. Hasan dan Fikri tampak mengudap mi instan di meja makan.

Ia menggedor-gedor kaca, memanggil-manggil ibunya. Tapi tak seorangpun mendengarnya ...


=======

"Tabung Televisi" adalah cerpen saya di Tabloid Citra, edisi 768/XV/24-30 Desember 2004. Tabloid milik Kelompok Gramedia yang bertiras 800 ribu eksemplar ini berhenti terbit pada Desember 2004 itu juga, sesudah 15 tahun beredar, dan berubah wajah menjadi Tabloid Genie yang kini masih kita jumpai di lapak-lapak koran.

So, "Tabung Televisi" boleh dikata 'cerpen sayonara' Tabloid Citra.


11 Feb 2009

OMONG KOSONG VALENTINE'S DAY


Valentine's Day tak ubahnya upacara 17-an. Kasih sayang tak perlu diramaikan karena tiap napas yang berhembus telah membawa cinta.

***

"Omong kosong dengan valentine! Itu kan akal-akalan kafe atau hotel supaya ballroom-nya laku! Kita ini bangsa imitasi yang bisanya selalu meniru!"

Itu teriak Dwi Nikmatika Roma, kawan seperjuangan saya tatkala sama-sama menjadi penulis freelance, awal 1990 (dan kini ia telah mapan di sebuah media massa), tadi siang. Iseng, tadi itu, saya nanya: "Wi, ente valentinan enggak? Ajak dong anak-istri ke pantai atau hotel. Ramai tuh acara-acara."

Dwi tak sendiri. Saya setengah setuju. "Setengah" yang saya maksud: terkadang kita perlu dicubit dulu agar ingat sesuatu. Hari Kasih Sayang, alias Valentine's Day itu, sebenarnyalah upaya mengingatkan kita tentang hakekat menyayangi sesama, baik anak, istri-suami, mertua, kerabat, dan seterusnya. Tak peduli valentine sesungguhnyalah lahir dari sono.

Yang nggak setuju: saya paling anti tren. Seolah semua yang berbau Barat selalu patut kita tiru. Pesta Helloween, misalnya, dirayakan oleh remaja hingga orangtua kita dengan mencoreng muka dan berbaju mirip drakula. Padahal, apa faedahnya?

Kasih sayang -- ada Hari Valentine atau tidak -- menggelar kesempatan kita untuk positive thinking sejak pagi ketika mata kita mulai melek. Shalat subuh menggumpalkan 'status' saling menyayangi antara pemeluk Islam dengan Allah. Lalu, pagi-pagi, kita juga menandai kasih sayang dengan mencium pipi istri, menyerahkan punggung tangan untuk dikecup anak-anak saat mereka berangkat sekolah, dan mengirim SMS kepada teman sekadar bertanya apa kabar.

Kasih sayang kita aplikasikan di jalanan. Ketika kaca pintu mobil kita diketuk gadis kecil dengan mata-rambut kusut di lampu merah, kita mengangsurkan 200-500 rupiah, untuk sekadar meringankan beban hidup mereka yang papa.

Di lingkup masyarakat, tak salah andai sesekali kita berbagi oleh-oleh, biar misalnya cuma lima butir salak. Halal pula kita menengok tetangga yang tengah susah karena baru saja kompornya meleduk. Berbagi rasa tatkala di kampung ada tetangga berduka cita. Dan sebagainya.

Sebab itu, tak lelah-lelahnya saya menyarankan istri agar menyudahi rasa kesalnya pada tetangga depan rumah. Amarah, dendam, dan sakit hati tak membuat kita sehat, jiwa maupun raga.

"Hidup cuma sekali, mengapa mesti dengki kepada sesama?" Itu pesan mendiang Ibu, bertahun-tahun lalu.

Saya, dengan segenap kekurangan, sedang belajar menuruti nasehat Ibu.



9 Feb 2009

SAHABAT SAMPAI AKHIR HAYAT


HATI Wita perih menyimak wajah murung Zen yang cekung. Uban berkerumun di beberapa sudut kepala.

Kamar sempit-pengap ini diliputi sarang laba-laba. Jantungnya mendadak serak demi dilihatnya
botol air di meja yang dijilati kecoa ...

"Udah sarapan?" Tanya Wita lirih. Menyesal tadi tak memesan penyet tempe kesukaan Zen. Namun ia ragu, apakah Zen mau memakannya. Pria ini susah menerima pemberian atas dasar kasihan, bahkan bila itu sekadar kacang rebus sekalipun.

"Belum, sih. Gampang nanti," ujar Zen acuh.

Sikap cuek yang dulu amat dikagumi Wita saat sekampus di fakultas sastra. Saking penasaran, Wita melabrak Zen di ujung toilet. Ia menghardik Zen agar tak melulu membuat puisi untuk Salwa, kembang kampus.

"Satu puisi buat saya tak membuatmu mati mendadak, Zen! Tahu tidak, saya mengagumimu sejak lama!" Ujar Wita sembari melotot, membuat rokok Zen melompat dari bibir.

***

ZEN memandang Wita dengan lorong mata yang pipih. "Jauh-jauh mencariku ke sini ada apa?"

"Aku diangkat menjadi GM ... "

"Oya? Wah, selamat. Masih di hotel yang sama?" Wita mengangguk.

"Selamat" yang terlontar tanpa emosi. Wita menginginkan lebih. Tapi apa daya. Zen bukan jenis pria yang silau sesuatu. Ia mengapung di belantara kesenimanan yang aneh, hidup di antara menulis novel dan puisi, atau mati bunuh diri ...

"Anak-anak sehat, kan?"

Wita mengerjapkan mata tak menduga ditanya. "Yuka ranking 2. Huma udah pengin sekolah, tapi umurnya belum genap 6. Nggak ada SD yang mau menerima. Mereka rindu kamu ..."

***

SEPATU Wita menjejak undakan terakhir di jalan menurun yang sempit menuju jalan raya. Segera ia mencium punggung tangan Zen dan melambai. Di tikungan, Wita memencet remote control. Menyalak. Pintu BMW merah itu pun terkuak.

Di jalan raya yang padat, ia ingat betul ucapan Zen di teras pengadilan agama, sesaat setelah mereka bercerai tiga tahun silam. "Jaga baik-baik Yuka dan Huma, ya. Mereka tak perlu diberi badai yang membuat mereka tak kuat."

Wita menyeka airmata ...


***
(Cerpen "Sahabat Sampai Akhir Hayat" oleh Arief Firhanusa pernah dimuat Majalah Kartini, edisi minggu IV Agustus 2006. Cerita mini di atas adalah nukilannya)


6 Feb 2009

BERCINTA DENGAN SERIGALA


SISIL melirik ruang Pak Rudi dari celah gordin. Hatinya gerah. Tamu dari Jogja itu tak pulang-pulang juga. "Perutku udah jojing nih! Kelewatan!" Rutuknya.

Lalu, ketika pintu ruang bosnya terkuak dan dua pria perlente dari Jogja itu berlalu, tinggalah kini Sisil menunggu isyarat tertentu melalui aiphone di mejanya. Isyarat yang mengabarkan bahwa mereka siap berkelana ...

Makan siang. Bercengkerama dan saling mencengkeram. Pak Rudi tahu betul letak kelebihannya guna menyulam kelemahan Sisil. Kelemahan yang mengubur kesadaran gadis ini akan satu kenyataan bahwa Pak Rudi punya sulung perempuan yang kini semester 4 di kampus tersohor Semarang, anak laki-laki kelas 2 SMP, dan bungsu perempuan kelas 5 SD ... serta istri yang cantik.

"Kemana kita?" Tanya Pak Rudi seraya menaikkan volume Immortality Celine Dion. Sisil sangat suka lagu ini. Sesekali, ketika speaker mobil mengayunkan jantungnya melalui lagu-lagu tertentu, ia membuat gerakan liar serigala, persis di bawah setir Pak Rudi.

"Ke Citybank Pa, bayar tagihan. Udah jatuh tempo, loh," kerling Sisil. Kerling yang pernah meluluhlantakkan pertahanan Pak Rudi tatkala Sisil masuk kerja pada hari pertama.

Ia memakai rok hitam di atas lutut. Terang saja menggoyang kelelakian lantaran tubuhnya yang semampai itu dibungkus kulit putih susu. Tak lama, Pak Rudi memintanya jadi sekretaris. Tentu bukan sekretaris di atas kertas belaka, sebab berulang Sisil dimintanya mengikuti Pak Rudi ke luar kota, dan di sana ia leluasa memanggil bosnya dengan "pa".

Di depan mesin debet Citybank, Sisil menggesek kulit lengan Pak Rudi disertai ucapan-ucapan mengundang. Itu cara mujarab menyentak tangan Pak Rudi agar bergegas merogoh dompet. Sesungguhnyalah tanpa dirayu pun Pak Rudi tahu. Ia memang 'berkewajiban' membayar semua kebutuhan Sisil atas jerih payah membuat hati Pak Rudi bungah.

***

ITU berjalan dua tahun. Sisil menuai rumah mewah di kawasan elite kota atas Semarang, 1 unit Honda Jazz, dan tabungan yang membengkak.

Tapi, pagi ini, tatkala sidang korupsi Pak Rudi dimuat di halaman pertama koran-koran, Sisil meringkuk ketakutan di sudut kamar sebuah hotel. Mukanya pucat seperti mayat ...


5 Feb 2009

MEMBUNUH AYAH


AKU akan membunuh Ayah!”

Jangan, nak!”

Mengapa kau melarang?

Kau darah daging Sukarti yang lemah lembut, bukan angkara murka titisan Sumantri.”

Persetan!”

Bulu kudukku meremang. Ngeri dan waspada. Tidak untuk mendorongnya melakukan pembunuhan mengapa aku datang. Terlebih terhadap ayah atau ibunya. Tetapi semata karena aku merasa perlu mengabarkan sesuatu.

Sejauh ini kau bilang ia sangat jahat, tapi mengapa kau merintangiku?”

Kau hanya menuruti keinginan.”

Apa yang lebih baik ketimbang membuatnya mati?”

Tapi bukan oleh tanganmu. Dan aku harus memberitahumu, jika kelak ia mati pun bukan karena pembunuhan.”

Untuk perbuatan nista yang dilakukannya pada Ibu, ia harus mati mengenaskan! Aku aku membunuhnya!”

Jangan, nak, urungkan niatmu itu!”

Ia mendengus kasar dan liar. Tubuhnya bergerak gelisah. Jari-jari mungilnya mencengkeram. Geram dan amuk berkecamuk. Tangan itu tidak mustahil kelak gemetar menarik geretan. Mendorong api di tungku geretannya menuju obor berlumur minyak, menciptakan lidah api yang sangat merah dan menari-nari.

Obor terayun. Menumbuk tubuh yang sebelumnya juga telah diguyuri minyak. Seseorang meraung kesakitan dengan bara menjilat-jilat tubuhnya, berlarian sepanjang hutan dengan perih tak terkira. Lalu ambruk berdebum. Berkelejotan seperti belut di pemanggangan. Dagingnya mendidih. Bau sangit bergulung di udara. Perlahan-lahan lapuk dan mengkerut, menyisakan belulang kehitaman. Bukan pembunuhan biasa. Seorang laki-laki perkasa meregang nyawa oleh api yang disulut anaknya sendiri.

Anak ini menunggu bertahun-tahun sampai merasa cukup kuat berkelahi. Pada saat sama ayahnya sudah renta dan tak bertenaga. Laki-laki tua yang mulai rabun itu mengira malaikat pencabut nyawa telah tiba. Mungkin ia dijalari ketakutan untuk pertama sepanjang hidupnya.

Bisa saja justru sebaliknya. Anak ini masih sangat muda saat memburu ayahnya. Sementara sang ayah masih bugar hingga sulit ditaklukkan. Sang anak menjadi bulan-bulanan. Diseret dan dicincang tanpa belas kasihan. Dikubur entah dimana. Bahkan mungkin jasadnya diceburkan ke laut.

Aku tak ingin itu terjadi. Kupelajari bolamatanya. Mencari celah meredakan amarah. Rekah murka yang meletup dari seseorang ketika merasa perlu menjaga martabat ibunya. Aku menyesal karena telah menceritakan bagaimana Sukarti hampir tak memiliki lagi harga diri karena Sumantri merenggut semua, sebelum benar-benar yakin anak ini siap memahami.

Kau masih punya kesempatan untuk menemuinya. Berembug adalah jalan terbaik. Pembunuhan bukan jalan keluar. Kau bakal memahami saranku ini setelah kau dapati matahari dan rembulan yang berkilau menyenangkan di luar sana.”

Jangan mencoba memengaruhi!”

Aku telah kenyang pengalaman.”

Tidak membutuhkan satu pun pengalaman bagi seseorang untuk membela ibunya.”

Luar biasa. Anak ini tumbuh seperti beton. Laki-laki yang mewarisi sorot mata tajam Sumantri dan kelembutan pori-pori Sukarti. Kelak ia menjadi pria gagah dengan wanita-wanita yang berebutan. Aku turut bangga, sekaligus cemas.

Sumantri tak ubahnya percik neraka. Ia pria gagah yang bersekutu setan. Sebuah kekeliruan Sukarti bersedia dinikahi, karena begitu turun dari pelaminan, serta merta Sumantri menjadi binatang. Bukan pria lembut seperti yang diangankannya.

Dalam desau angin kemarau, saat bulan sabit mengintip, lamat-lamat kudengar derit ranjang yang berisik dan penuh rintih. Sukarti kesakitan dan meratap. Gigil deritanya begitu menyayat. Menyeret kakiku mengendap-endap di pekarangan dengan jantung yang ribut.

Dari celah dinding papan kutemukan pemandangan biadab di keremangan kamar. Tangan Sukarti diikat seperti sapi, terentang ke kiri dan kanan seolah akan disalib. Sprei tercampak di lantai. Pembaringan menjelma menjadi altar pengorbanan. Sumantri merangkak dengan seringai serigala di atas tubuh telanjang Sukarti.

Darahku bergejolak. Jala menggelosor lepas dari genggaman. Kamar pengantin itu merenggutku dalam gelembung murka yang sulit ditahan dan dipadamkan. Melintas keinginan mendobrak papan, menghambur ke dalam lalu menghajar Sumantri.

Tetapi keinginan itu kutahan. Membengkak dalam gegas lari kesetanan menuju sungai, terbang mencebur, menyeberangi arus deras. Berteriak sekuat tenaga di seberang sana saat tubuh basahku telentang lemas ....


***
[Merupakan prolog novel saya Membunuh Ayah, dikutip dari cerpen berjudul sama yang dimuat Media Indonesia, Agustus 2005]

1 Feb 2009

LA ISLA BONITA



Kau datang tiba-tiba, menderu seperti peluru ...


***

SEMANGKUK sup belum tuntas memasuki lambung ketika tubuhmu muncul di televisi. Aku terkesiap. Benarkah itu kau? Benarkah telah benar-benar kau tinggalkan belit belia dan kemudian tampil elegan dengan menjadi wartawati televisi?

Kau mencengkeram mikrofon berlogo Televisi ***** -- melebihi bayangan tentang La Isla Bonita yang pernah sekian tahun kau peram di kepalaku -- saat kau mereportase sebuah bencana. Menyiarkan berita dengan ngungun dan pilu, jauh dari sifatmu yang ceria.

Keceriaan yang masih melintas-lintas di kepala, menikung dengan lembut di lajur memori terjauh.

Lelah menikam seluruh tubuh usai kita meliput sudut demi sudut venue PON 2000 Surabaya. Dari jarak dua meter, kau memandangku dengan tangkup mata yang sulit kucerna. Lobi Hotel Santika seperti kelambu yang mengerumuni kita berdua. Ya, cuma kita berdua!

Entah mengapa aku harus mengirimimu senyum setelah kau memulainya sedetik sebelumnya. Hatiku terayun seperti menaiki jetcoaster. Terlempar ke udara, lalu mendapatimu bermuram durja di sudut sofa.

"Tak kau lihatkah aku lelah?" Ucapmu ketika aku melontarkan pertanyaan, mengapa kantung matamu hitam.

"Aku juga penat, tapi tak sampai sesembab kau."

Kau sejurus menatapku, lalu bergumam ini: (Gumam yang terus menyiksaku ketika lima hari kemudian kita dipisahkan rel kereta, aku turun di Semarang, kau melanjutkan perjalanan ke Jakarta) "Aku dianiaya oleh cinta, dibenamkan dengan keji ke tungku yang di bawahnya ada api membara. Sebenarnyalah aku telah mati sejak bertahun silam, persis ketika 'ia' membawa lari cinta yang kami pelihara ke pangkuan seorang perempuan lain di kota seberang ... "

Aku berniat memprotes. Cinta? Sebegitu bengiskah cinta sehingga seseorang patut menyesali hidup? Apakah cinta bakal terus menjadi alasan saling hunus pedang? Tapi tak segera protes menuang. Aku meneliti wajahmu, menemukan retakan-retakan kaca.

Lalu, pada malam yang dikerlipi bintang, sehari sebelum PON Surabaya ditutup Gubernur Imam Oetomo, tanganmu berada di pucuk jariku. Menjentiknya perlahan seraya mengabarkan bahwa kau ingin menabur kuncup, mendesis dan berkecipak bersama ...

Tetapi aku harus melakukan 'sebuah kesalahan' yang menurutku benar, ketika kukatakan bahwa kita tak boleh 'melakukannya' karena: "Aku telah beristri, Rose, tak boleh kita berlompatan seperti menjangan ..."

Kau mengayun-ayunkan kepala dengan nelangsa dan putus asa. Ingin kuhalau isak sengalmu, tapi tanganku tak mampu. Maaf, Rose, maafkan aku ...


*) Nama disamarkan
*) La Isla Bonita adalah salah satu lagu hits Madonna