Search

16 Apr 2009

BOSAN JADI WARTAWAN


IMAN memakai baju terakhir kali ketemu saya, dua tahun silam: lengan panjang digulung sesiku, motifnya kotak-kotak kecil, warna cokelat. Ia tersenyum culun saat melihat saya dari kejauhan.

"Apa kabar, Bang?" Tanyanya lantang. Beberapa pengunjung toko elektronik itu melongok.

"Baik-baik aja, Man. Kau dimana sekarang?"

"Ngamen, Bang, jadi sales AC dan kulkas," cengirnya. Saya nyaris terbahak, tapi tertahan di tenggorokan.

Benarkah? "Bukankah kau terakhir bekerja di harian "anu"?"

"Sudah setahun saya stop dari pekerjaan itu. Bosan jadi wartawan!"

Ups! Bosan? Bukankah baru tiga tahunan ia jadi jurnalis? Tiga tahun itu terpotong masa percobaan selama enam bulan kala ia masuk Grup Jawa Pos. Total, andai dikalkulasikan, efektif ia baru 2 tahunan bekerja di koran. Seumur jagung. Lalu mengapa?

"Saya diminta lari ke sana kemari. Meliput dangdut sampai pelacur. Pulangnya malam-malam. Ibu jelas marah dibuatnya. Udah gitu bayarannya dikit, bensin pun enggak diganti. Pokoknya amit-amit deh jadi wartawan!"

Saya amat-amati wajah pria beranjak dewasa ini. Usianya kisaran 25. Tampangnya takzim, bahkan cenderung introvert. Pernah dulu ia saya minta meliput voli pantai. Belum tuntas meliput, ia pulang, tidur siang. Malamnya ia saya tanya, mana hasil liputannya. Ia enteng menjawab: "Maaf, Bang, saya tak boleh melihat perempuan hanya memakai bikini. Haram." Saya gonduk bukan kepalang.

Akhirnya Iman kena penalti: Tak lolos jadi wartawan Jawa Pos. Lalu ia diterima di harian "anu". Lebih parah, dia duduk di desk sosial. Artinya, ia harus meliput kompleks pelacuran, waria, dan esek-esek malam.

Herannya, ia bilang sempat betah. "Saya jadi tahu dugem itu kayak apa. Saya juga jadi ngerti narkoba itu melibatkan anak-anak pejabat. Saya sempat merasa hebat, tapi hati kecil saya memberontak," kilahnya, masih di teras toko elektronik.

Terbersit dari caranya mengungkap, kebanggaannya menjadi wartawan karena para tetangga memujinya. Di kampungnya, di belahan timur Semarang, profesi jurnalis tergolong di atas rata-rata. Saban rapat RT, ia disinggung-singgung dan disanjung.

Iman menunggang Zupiter dengan gagah kala keluar rumah. Tetapi saat ia harus wawancara dan menggali informasi, lapangan terasa neraka. Ada dua belah kutub yang berseberangan, mengenai keyakinan, perihal hati kecil dan nurani. Lebih-lebih ketika godaan uang pelicin (atau dalam kazanah kewartawanan disebut "amplop" atau "86, baca: lapan enam") datang.

Kembali saya amat-amati parasnya. Ya, ia memang lebih tepat menjadi sales ketimbang wartawan! Tujuh belas tahun lalu, ketika saya pertama bekerja di bidang ini, saya pernah dihempas prahara hati, antara terus atau berhenti. Tetapi, saya bertahan sampai sekarang. Saya menyukai pekerjaan ini, meski siapapun setuju, wartawan tak bisa kaya!

14 komentar:

goenoeng mengatakan...

wartawan nggak bisa kaya !
hhh... lha mas Arief beranggapan seperti itu, sedangkan sampeyan ki wartawan.
lhah... lha terus aku ki disebut apa ya ? *garuk2 kepala*

Anonim mengatakan...

wartawan kayanya kalo udah dapet pesangon. baru bisa beli mobil. hihi.

lintang mengatakan...

memang mas jadi wartawan harus tahan banting ,dulu keponakan juga jadi wartawan dia bagian hukum dan kriminal hati nuraninya memberontak dan keluar dr pekerjaannya sekarang malah berternak kambing.

imelda mengatakan...

wartawan ngga bisa kaya
guru juga ngga bisa kaya
apalagi blogger

EM

genthokelir mengatakan...

hehehe lelaki mudA 25 thn itu akhirmya jadi wartawan apa enggak hahaha
trus sampean mau infestasi kambing enggak biar jadi wartawan terkaya hahahahaaaa

Embun Pagi mengatakan...

"Wartawan gak bisa kaya" beda tipis ya ama "Hartawan" hehe.. gak nyambung ya.

Yang penting kaya hati tho..

Sekar Lawu mengatakan...

sabar Mas, akan tiba saatnya....

Arief Firhanusa mengatakan...

Yang perlu disambangi:
@MAS GOEN
Kaya itu relatif yo Mas, Sampean putih saya item. Artinya, Sampean kaya putih, hahaha ..

@ANONIM
Pssttt ...

@MBAK LINTANG
Iya Mbak, serasa ada kambing guling terhidang, sementara kita sedang berpuasa.

@MBAK IMELDA
Blogger kaya loh Mbak, kaya caci dan maki maksudnya, wahahahaha ..

@MAS TOK
Weleh, dia tetep jadi sales, Mas. Etawa di Semarang bisa tumbuh subur nggak ya?

@IYAS
Iya, yang penting kaya hati.

@MBAK AYIK
"Akan tiba saatnya" itu maksudnya dipanggil Yang Kuasa tho Mbak? Hihihihi ...

goenoeng mengatakan...

@Anonim
hahaha...kalo itu, saya tau ceritanya mbak (pasti mbak ini :D )

@Emiko @ @ Genthokelir
kalo blogger yang juragan etawa ? kaya ndak ? :P

@Tuwanrumah
wong etawa kok tumbuh subur...
jadi etawa guling2 aku...

goresan pena mengatakan...

nah, itulah mas..
ukuran atau standart menjadi kaya itu memang berbeda antara satu dan lain.
trus, kata mas arief: kaya itu relatif!
aha...sepakat mas, kaya emang relatif, beda dengan miskin.
kalau kaya itu relatif, maka miskin itu mutlak!
:p

Arief Firhanusa mengatakan...

@MAS GOEN
Wahahahaha, ada-ada aja jawabannya

@HESRA
Jadi inget IMUT=Item Mutlak! Hakakakak

ernut mengatakan...

tanya dong, kaluk wartawan motret spt gambar psoting ini, kira-kira meliput apanya mas?

blue mengatakan...

Dulu, Iya. Dulu. Saya sering diminta mangkal di lokalisasi SK. Sungguh, saya jadi apal peta gang lokalisasi itu. saya harus ngubek2 cari mbak-mbak mulai dari yang hamil tua (tapi katanya pas hamil malah laris) ampe yang malam menemani laki-laki tapi subuh2 ngaji.

Siang hari, harus membaui darah preman, malamnya dugeman, karena siang liputan kriminal, malam lifestyle.

Tapi saya menyukainya. Jujur, saya memang tidak setia dengan perusahaan saya, tapi saya berusaha setia dengan profesi saya.

rizky mengatakan...

hohoh,, itulah bekerja,, namanya juga kerjan kadang senang kadng susah :( di bikin enjoy ajah :D