Search

9 Feb 2009

SAHABAT SAMPAI AKHIR HAYAT


HATI Wita perih menyimak wajah murung Zen yang cekung. Uban berkerumun di beberapa sudut kepala.

Kamar sempit-pengap ini diliputi sarang laba-laba. Jantungnya mendadak serak demi dilihatnya
botol air di meja yang dijilati kecoa ...

"Udah sarapan?" Tanya Wita lirih. Menyesal tadi tak memesan penyet tempe kesukaan Zen. Namun ia ragu, apakah Zen mau memakannya. Pria ini susah menerima pemberian atas dasar kasihan, bahkan bila itu sekadar kacang rebus sekalipun.

"Belum, sih. Gampang nanti," ujar Zen acuh.

Sikap cuek yang dulu amat dikagumi Wita saat sekampus di fakultas sastra. Saking penasaran, Wita melabrak Zen di ujung toilet. Ia menghardik Zen agar tak melulu membuat puisi untuk Salwa, kembang kampus.

"Satu puisi buat saya tak membuatmu mati mendadak, Zen! Tahu tidak, saya mengagumimu sejak lama!" Ujar Wita sembari melotot, membuat rokok Zen melompat dari bibir.

***

ZEN memandang Wita dengan lorong mata yang pipih. "Jauh-jauh mencariku ke sini ada apa?"

"Aku diangkat menjadi GM ... "

"Oya? Wah, selamat. Masih di hotel yang sama?" Wita mengangguk.

"Selamat" yang terlontar tanpa emosi. Wita menginginkan lebih. Tapi apa daya. Zen bukan jenis pria yang silau sesuatu. Ia mengapung di belantara kesenimanan yang aneh, hidup di antara menulis novel dan puisi, atau mati bunuh diri ...

"Anak-anak sehat, kan?"

Wita mengerjapkan mata tak menduga ditanya. "Yuka ranking 2. Huma udah pengin sekolah, tapi umurnya belum genap 6. Nggak ada SD yang mau menerima. Mereka rindu kamu ..."

***

SEPATU Wita menjejak undakan terakhir di jalan menurun yang sempit menuju jalan raya. Segera ia mencium punggung tangan Zen dan melambai. Di tikungan, Wita memencet remote control. Menyalak. Pintu BMW merah itu pun terkuak.

Di jalan raya yang padat, ia ingat betul ucapan Zen di teras pengadilan agama, sesaat setelah mereka bercerai tiga tahun silam. "Jaga baik-baik Yuka dan Huma, ya. Mereka tak perlu diberi badai yang membuat mereka tak kuat."

Wita menyeka airmata ...


***
(Cerpen "Sahabat Sampai Akhir Hayat" oleh Arief Firhanusa pernah dimuat Majalah Kartini, edisi minggu IV Agustus 2006. Cerita mini di atas adalah nukilannya)


13 komentar:

Miss G mengatakan...

Salah pilih suami kayaknya Wita ini.. Kasihan..

Sekar Lawu mengatakan...

ada salam dari Zen...

Anonim mengatakan...

kok yang ini saya belum mbaca ya..
manteb euy!!

Anonim mengatakan...

adduh iki crito opo maneh? mas arief, request crita yg hepi en dong? sesuk dadi ya!

Anonim mengatakan...

Risiko punya suami seniman. Tapi apa mesti cerai ya? Aku yakin ada hal-hal tertentu penyebabnya, bkn krn si Zen itu seniman. Mas mbokya aku dikirimi cerpen aslinya. kopiannya msh tho?

Anonim mengatakan...

seseniman senimannya pst punya hati lah. mosok ngebiarin dua anaknya jauh dari dirinya? tapi entah kadang mereka emang unik. si wita dlm crita itu kyknya jg ikutan unik. kl ga unik mana mau datang ke kamarnya si zen yg kumuh itu cuma utk ngasih tau bhw dirinya diangkat jd GM hotel?

Anonim mengatakan...

Pernikahan karena kekaguman, lalu mencobanya hidup bersama dengan dua anak sebagai hasil pernikahan ini, dan kemudian bercerai atas dasar tak ada kecocokan pola dan gaya hidup.

Lalu mengapa menikah? Uh!

Anonim mengatakan...

Daku pengin menimang Yuka dan Huma ...

Anonim mengatakan...

"lalu mengapa menikah?"

karena, kalo kata mas Arif, menikah itu ibarat judi.

*kabur*

Miss G mengatakan...

Setuju sama mbak Ernut, mas... minta cerita yg hepi ending dunk.. huhu.. supaya ada warna-warni pelanginya gitu loh..

Anonim mengatakan...

wah cerpenmu dimana2 ya, rief. di tabloid nova juga kan?

zen itu dingin (sepertinya juga egois). wita berhak mendapat lelaki yg lebih baik:P

Arief Firhanusa mengatakan...

Yang harus dijawab:

@blue: Kalau rajin membaca Kartini atau Femina tentu nggak melewatkan cerpen-cerpen abangmu yang hina dina ini, blue :p

@Mbak Ernut: Iya Mbak, selalu sedih dan pilu ya? Iya deh, tar request-nya coba kita turuti, halah.

@Mira: ada Mir, udah aku kirim ke imelmu.

@Nita: Di NOVA ada, Nit, meski nggak banyak.

goresan pena mengatakan...

indah..

kalau saya tak salah...dalam dunia patriarkis, lelaki memang ditekan untuk tidak berada dibawah derajat perempuan secara materi...
strata...

entahlah, mas...

yang jelas...saya suka perenungan di akhir nukilan ini...