
SAYA di lantai lima Hotel Regent (nomor kamarnya lupa). Bang Apul di lantai 6. Pria kocak seumuran Bapak ini membuat saya nyaman. Ia fasih Bahasa Inggris. Pernah saya dilihati paspornya. Bujubuneng, lebih 20 negara telah ia injak!
Malam itu, usai mengirim berita dan foto ke Jakarta, kami plesir. "Bawa paspor, Rief, jangan lupa!" Ujar Bang Apul via intercom. Buat apa paspor? Bukankah dokumen ini cuma diperlukan di imigrasi? Ah, daripada dianggap banyak cingcong, saya turuti. Kadang-kadang saya seperti menyimak paras Bapak saat menatap Bang Apul, hehehe ...
Benar saja. Paspor memang wajib di kantong tatkala saya menemui kejadian seperti ini.
Baru lima langkah dari pintu utama Regent, kami dihampiri pria separuh baya. Ia tersenyum sok intim, lalu merangkul saya. "Encik butuh perempuan? Saya bisa menyediakan wanita Asia hingga Rusia. Harganya murah. Ayo ikut saya kalau berminat," ujarnya, beraroma calo.
Saya bengong sesaat. Memandang sebentar ke Bang Apul. Ia mengerdipkan mata, memberi isyarat agar saya menampik. Syukurlah benteng saya kuat. Saya tolak tawaran pria ini dengan halus, dan ngeloyor pergi meninggalkan mucikari tadi.
"Kalau mendapat tawaran seperti tadi, jangan senang dulu. Itu bisa saja perangkap, sebab nanti kamu disergap polisi karena ada narkoba di saku celanamu yang diselipkan oleh seseorang. Paspor di sakumu itu memang membantu, tapi sebatas polisi tahu bahwa kamu bukan TKI gelap," wejang Bang Apul. Saya manggut-manggut mengerti.
Di trotoar, di sela lalu lintas padat, saya memperoleh pengalaman baru. Saat mendekati kios rokok, saya melihat sigaret merek Indonesia banyak dijual di sana. Hanya, bungkus dan rasanya tak segurih aslinya.
"Cekap niku mawon, Mas? Mboten mundut sanesipun? (cukup itu saja, Mas? Tak membeli yang lain?)," kata penjual rokok. Saya simak wajahnya. Ia tersenyum lebar. "Jangan kaget, Mas, saya asli Madiun," imbuhnya seraya nyengir. Lebih lebar. Sompret! Kami ngakak.
/Foto dengan Legenda
HARI terakhir Seminar "The Future of Soccer" yang dilibati insan sepakbola dari seluruh penjuru dunia itu tiba. Ada sesi foto-foto. Nah, inilah yang saya tunggu-tunggu! Kamera membidik sini-sana. Foto bersama Pele adalah level tertinggi seminar selama seminggu itu. Maka, inilah giliran saya!
Saya jabat tangan pria keling ini. Ia menggenggam erat-erat. Beberapa detik waktu yang disediakan tak saya sia-siakan. Saya bilang dari Indonesia. Ia membelalakkan mata. "O, saya pernah ke Indonesia tahun 1976. Stadion (Utama) Senayan membuat saya terkesan!" Ujar pria Brasil itu dengan Inggris patah-patah. Dan, cepret! Cepret! Fotografer Jepang yang bergantian dengan saya berfoto bersama Pele itu melakukan tugasnya.
Ada wawancara eksklusif yang disediakan Pele, khusus untuk kami, saya dan Bang Apul. Itu oleh-oleh terbesar kami selama di Kuala Lumpur.
/Pacaran Ala TKI
BARANG telah saya packing. Menunggu penerbangan jam 6 sore saya manfaatkan untuk membaca koran lokal. Saat itulah pintu diketuk. Ruangan mau dibersihkan. Saya mempersilakan masuk dua petugas.
Di sudut kamar, dekat jendela, saya menyelonjorkan kaki seraya membaca. Tak saya hiraukan para room girl menarik sprei dan membilas kamar mandi.
Sepuluh menit kemudian, mendadak satu di antara dua perempuan itu berkata, "Mas dari Indonesia, ya?"
Saya menurunkan koran. Saya lihat sumber suara. Wanita muda dengan logat Jawa Timur yang kental. Ia tersenyum, seakan mengatakan, dugaan Anda benar, saya memang dari Jawa.
"Mbak dari mana?" Tanya saya penasaran.
"Mojokerto, Mas. Saya Suyati, dan ini Misnah, asal Kendal, Jateng," katanya sembari menunjuk teman kerjanya.
Lalu kami 'reuni'. Keduanya berkisah banyak perihal TKW, nasib, serta tradisi sehari-hari di negeri orang. "Berapa gaji kalian di sini?" Tanya saya.
"(Ia menyebut sekian ringgit). Kalau dirupiahkan kira-kira 3 juta rupiah, Mas," ungkapnya. Wah, lumayan juga (untuk standar rupiah sebelum krisis moneter 1998).
Dasar jurnalis, saya terpikat untuk melontarkan pertanyaan nakal. "Kalian sudah bersuami?"
"Saya belum, Mbak Yati sudah," kata Misnah cepat.
Saya lebih tergoda bertanya lebih spesifik. "Oke, Mbak Yati sudah bersuami. Apakah tidak takut suami sampean selingkuh karena bertahun-tahun sampean tinggal ke sini? Lalu sampean sendiri apa kuat sekian lama tak tidur dengan suami?"
Mbak Yati tersenyum dikulum. Lalu, dengan malu-malu membuat pengakuan yang bikin saya terperanjat. "Saya punya pacar, Mas. Dia TKI juga, tapi di Serawak. Seminggu sekali kami ketemu di taman kota ... "
"Ngapain saja saat ketemuan itu?" Potong saya.
"Sebagaimana layaknya pacaran lah, Mas, kami (SENSOR) di hotel dekat sana ... " katanya, tanpa sungkan.
Saya makin melongo.
***
Dedikasi untuk Bang Apul Maharaja. Dimana Abang kini berada? Saya rindu.