KALAU Anda penikmat film Hollywood, telitilah adegan menelepon saat detektif memburu penjahat. Amat jarang kita saksikan mereka menarik Blackberry atau Nokia mutakhir dari saku baju. Kecuali James Bond yang biasanya diboncengi iklan Nokia.
HP mereka tergolong jadul untuk ukuran kita, atau mungil seperti zaman Samsung SGH S-500 atau paling banter D900. Bahkan tak jarang muncul pula Nokia 1011 yang di sini terbit pada 1992, atau 8110 keluaran 1996.
Gaya hidup Amrik tampaknya berseberangan dengan lifestyle orang-orang kita soal ponsel. Tadi pagi, saat saya lewati sebuah ruko dengan sejumlah karyawati yang kongkow menunggu pintu besi dibuka, inilah adegannya: seluruh cewek di emper toko itu sibuk memencet tombol-tombol keyboard. SMS atau sekadar membaca-baca pesan.
Apa coba HP mereka? Sekejap saya lirik harganya kisaran Rp 1 juta (indikasinya bermerk, tidak jadul, berkamera, dan menyerupai Blackberry tapi bukan bikinan Cina, Tangerang, atau Singapura).
Saya terkesiap lantaran terpikir untuk membeli ponsel seperti itu sudah barang tentu mereka giat menabung, mengerem keinginan membeli baju baru, membatasi makan cukup nasi bungkus saja (di Semarang dikenal dengan "nasi kucing"), atau bergantung pada pacarnya untuk pengeluaran-pengeluaran kecil macam nonton, beli pulsa, dan sebagainya.
Gaya hidup telah menciduk akal sehat, sehingga penampilan adalah nomor utama. Tak peduli cuma untuk SMS saja mereka membeli telepon genggam, yang penting enak dipandang dan bergengsi.
Ponsel tampaknya adalah penjajah baru di negeri ini. Dari PRT, pelacur, tukang sampah, abang becak, sampai wakil rakyat kecanduan telepon genggam. Pada saat sidang, anggota dewan lebih senang SMS-an ketimbang menyusun kebijakan. Pembantu rumah tangga ber-SMS-ria dan tak jarang cuek telah memasak menu siang dengan beres atau belum.
Anak-anak SD dan SMP masa kini telah dibekali ponsel (kelas menengah hingga mewah) dengan handsfree menancap kupingnya, yang keperluannya untuk apa belum bisa dijelaskan.
Dunia komunikasi di negeri ini sudah meninggalkan hakekat penyampaian pesan karena orang lebih suka mendadani pencitraan. Tanpa HP, maka ia dianggap jadul (untuk ini saya salut dengan bos Jawa Pos Dahlan Iskan yang beberapa waktu lalu masih menggunakan HP Siemens amat kuno, diikat dengan karet pula karena tutup baterenya suka copot). Dunia komunikasi yang petentang-petenteng bawa Blackberry, padahal niatnya cuma ingin SMS sebab di kartunya hanya ada pulsa tak lebih 20 ribu.
Tahun 2002 saya ke Korea Selatan. Telepon umum di pinggir jalan begitu diandalkan, sampai-sampai buku telepon tertata rapi di meja (kalau di sini mungkin cepat-cepat diembat orang untuk bungkus kacang). Di Malaysia, tahun 1996 dan 2001, saya berbicara dengan sanak keluarga cukup dari trotoar, dengan telepon umum yang dirawat dengan benar, tanpa perlu sok hebat dengan mengacung-acungkan HP berkelas.
Kita, yang katanya dibekap problem ekonomi gawat, semestinya malu.
Apa coba HP mereka? Sekejap saya lirik harganya kisaran Rp 1 juta (indikasinya bermerk, tidak jadul, berkamera, dan menyerupai Blackberry tapi bukan bikinan Cina, Tangerang, atau Singapura).
Saya terkesiap lantaran terpikir untuk membeli ponsel seperti itu sudah barang tentu mereka giat menabung, mengerem keinginan membeli baju baru, membatasi makan cukup nasi bungkus saja (di Semarang dikenal dengan "nasi kucing"), atau bergantung pada pacarnya untuk pengeluaran-pengeluaran kecil macam nonton, beli pulsa, dan sebagainya.
Gaya hidup telah menciduk akal sehat, sehingga penampilan adalah nomor utama. Tak peduli cuma untuk SMS saja mereka membeli telepon genggam, yang penting enak dipandang dan bergengsi.
Ponsel tampaknya adalah penjajah baru di negeri ini. Dari PRT, pelacur, tukang sampah, abang becak, sampai wakil rakyat kecanduan telepon genggam. Pada saat sidang, anggota dewan lebih senang SMS-an ketimbang menyusun kebijakan. Pembantu rumah tangga ber-SMS-ria dan tak jarang cuek telah memasak menu siang dengan beres atau belum.
Anak-anak SD dan SMP masa kini telah dibekali ponsel (kelas menengah hingga mewah) dengan handsfree menancap kupingnya, yang keperluannya untuk apa belum bisa dijelaskan.
Dunia komunikasi di negeri ini sudah meninggalkan hakekat penyampaian pesan karena orang lebih suka mendadani pencitraan. Tanpa HP, maka ia dianggap jadul (untuk ini saya salut dengan bos Jawa Pos Dahlan Iskan yang beberapa waktu lalu masih menggunakan HP Siemens amat kuno, diikat dengan karet pula karena tutup baterenya suka copot). Dunia komunikasi yang petentang-petenteng bawa Blackberry, padahal niatnya cuma ingin SMS sebab di kartunya hanya ada pulsa tak lebih 20 ribu.
Tahun 2002 saya ke Korea Selatan. Telepon umum di pinggir jalan begitu diandalkan, sampai-sampai buku telepon tertata rapi di meja (kalau di sini mungkin cepat-cepat diembat orang untuk bungkus kacang). Di Malaysia, tahun 1996 dan 2001, saya berbicara dengan sanak keluarga cukup dari trotoar, dengan telepon umum yang dirawat dengan benar, tanpa perlu sok hebat dengan mengacung-acungkan HP berkelas.
Kita, yang katanya dibekap problem ekonomi gawat, semestinya malu.