Pernahkah kau merasakan datangnya gerimis yang menitik bertubi-tubi ke hati? Pernahkah kau diremas rindu yang bertalu-talu mengetuk kalbu? Seperti air terjun, Ayu, rasa itu ngilu seperti tergores sembilu.
Mimi melipat surat. Memasukkannya di loket kantor pos. Dan kemudian menyuruk langkah menembus gerimis, mengejar waktu tersisa sebab sepuluh menit lagi ia harus bekerja, kalau tak ingin Aris memelototkan mata karena jam makan siangnya terampas oleh keterlambatan Mimi.
Mimi melipat surat. Memasukkannya di loket kantor pos. Dan kemudian menyuruk langkah menembus gerimis, mengejar waktu tersisa sebab sepuluh menit lagi ia harus bekerja, kalau tak ingin Aris memelototkan mata karena jam makan siangnya terampas oleh keterlambatan Mimi.
Bisa saja ia mengirim e-mail, atau cukup SMS. Tapi Mimi ingin meluapkan denting hatinya melalui goresan tinta. Ia ingin mengabarkan pada Ayu yang kini mukim di sudut Kota Kendal sana tentang airmata. Dan ada pula bangga yang menyelip di hatinya tatkala dulu Ayu pernah memuji tulisan Mimi yang rapi.
Di balik kaca showroom-nya, Mimi termangu. Begitu banyak orang berseliweran, begitu riuh tempatnya bekerja, tetapi hatinya sunyi. Berkelebat bayangan pria dengan tawa kecilnya yang mengganggu malam-malamnya. Ia datang tanpa diduga dalam mimpi-mimpi kecil Mimi, menyenandungkan lagu syahdu, berteriak kecil manakala datang cubitan lembut di perutnya. Mimi tersenyum bila mengingat betapa pria itu gampang geli, bahkan ketika Mimi cuma menyentuh tengkuknya.
Pria itu bukan siapa-siapa tadinya. Ia berdiri di ujung jembatan tatkala gerimis membuat licin jembatan bambu yang menghubungkan kampungnya dengan kampung sebelah. Sudah senja pula. Langit seperti cungkup bengis yang meremangkan bumi melalui mendung tebal.
Mimi terpeleset. Tubuhnya limbung. Sedetik lagi tubuhnya akan melayang, dan mencebur ke sungai berarus deras di bawah sana, kalau saja tangan kekar itu tak datang secara tiba-tiba dan menangkap lengannya.
"Tak apa-apa. Kamu sudah aman sekarang," ujar pemilik tangan itu, dengan nada yang amat menenteramkan.
Masih dengan napas memburu, Mimi mengamati pria itu. Bukankah ia tadi masih berdiri di ujung sana untuk mengantre jembatan saat aku menyeberang? Manusia atau bukan? Mimi bertanya-tanya. Tapi itu tak penting. Yang penting kini ia selamat.
Lalu, dengan sabar pria itu menuntun Mimi hingga ujung jembatan. Gerimis reda. Pria itu membantu menangkupkan payung, dan kemudian berlalu. Diam-diam Mimi menyesal karena tak sempat mengucapkan terima kasih.
Tetapi dunia tak selebar yang disangka-sangka. Seminggu kemudian Mimi menjumpai pria itu lagi di sebuah pesta pernikahan seorang kawan. Memakai baju putih dengan celana casual berbahan jins, Mimi sempat tak mengenalinya. Saat berpapasan di perjamuan makan, pria itu memberinya senyum. Itu senyum terindah yang pernah Mimi lihat. Ditelitinya, apakah si pria bersama seseorang di resepsi ini. Setelah dirasanya aman lantaran tak bersama siapa-siapa si pria, Mimi mendekati. Ah, untuk sekadar berterima kasih, boleh dong menyambangi seorang pria, batin Mimi.
"Terima kasih, ya, kemarin aku ditolong sama kamu," ucap Mimi seraya mengulurkan tangan. "Aku Mimi. Kamu siapa namanya?"
Pria itu meraih tangan Mimi setelah mengusap-usap telapaknya yang sedikit kotor oleh sambal dengan tergesa ke celana. "Oh, iya. Iya sama-sama. Aku Pipi. Loh, kok namanya bisa Mimi-Pipi ... " Ucapnya tergelak. Mimi pun tak bisa menahan tawa ...
Di balik kaca showroom-nya, Mimi termangu. Begitu banyak orang berseliweran, begitu riuh tempatnya bekerja, tetapi hatinya sunyi. Berkelebat bayangan pria dengan tawa kecilnya yang mengganggu malam-malamnya. Ia datang tanpa diduga dalam mimpi-mimpi kecil Mimi, menyenandungkan lagu syahdu, berteriak kecil manakala datang cubitan lembut di perutnya. Mimi tersenyum bila mengingat betapa pria itu gampang geli, bahkan ketika Mimi cuma menyentuh tengkuknya.
Pria itu bukan siapa-siapa tadinya. Ia berdiri di ujung jembatan tatkala gerimis membuat licin jembatan bambu yang menghubungkan kampungnya dengan kampung sebelah. Sudah senja pula. Langit seperti cungkup bengis yang meremangkan bumi melalui mendung tebal.
Mimi terpeleset. Tubuhnya limbung. Sedetik lagi tubuhnya akan melayang, dan mencebur ke sungai berarus deras di bawah sana, kalau saja tangan kekar itu tak datang secara tiba-tiba dan menangkap lengannya.
"Tak apa-apa. Kamu sudah aman sekarang," ujar pemilik tangan itu, dengan nada yang amat menenteramkan.
Masih dengan napas memburu, Mimi mengamati pria itu. Bukankah ia tadi masih berdiri di ujung sana untuk mengantre jembatan saat aku menyeberang? Manusia atau bukan? Mimi bertanya-tanya. Tapi itu tak penting. Yang penting kini ia selamat.
Lalu, dengan sabar pria itu menuntun Mimi hingga ujung jembatan. Gerimis reda. Pria itu membantu menangkupkan payung, dan kemudian berlalu. Diam-diam Mimi menyesal karena tak sempat mengucapkan terima kasih.
Tetapi dunia tak selebar yang disangka-sangka. Seminggu kemudian Mimi menjumpai pria itu lagi di sebuah pesta pernikahan seorang kawan. Memakai baju putih dengan celana casual berbahan jins, Mimi sempat tak mengenalinya. Saat berpapasan di perjamuan makan, pria itu memberinya senyum. Itu senyum terindah yang pernah Mimi lihat. Ditelitinya, apakah si pria bersama seseorang di resepsi ini. Setelah dirasanya aman lantaran tak bersama siapa-siapa si pria, Mimi mendekati. Ah, untuk sekadar berterima kasih, boleh dong menyambangi seorang pria, batin Mimi.
"Terima kasih, ya, kemarin aku ditolong sama kamu," ucap Mimi seraya mengulurkan tangan. "Aku Mimi. Kamu siapa namanya?"
Pria itu meraih tangan Mimi setelah mengusap-usap telapaknya yang sedikit kotor oleh sambal dengan tergesa ke celana. "Oh, iya. Iya sama-sama. Aku Pipi. Loh, kok namanya bisa Mimi-Pipi ... " Ucapnya tergelak. Mimi pun tak bisa menahan tawa ...
***
Pria dengan tawanya yang khas, dengan alis tebal, rambut yang lucu. Mimi pernah bermimpi bersuamikan pria tinggi yang cerdas. Dan Tuhan memang tak pernah tidur.
Ia menerima lamaran Pipi suatu hari, tiga bulan silam. Rembulan begitu rendah malam itu. Angin bergerak perlahan, menciptakan aroma kembang di ruang tamu tatkala keluarga Pipi datang berombongan. Hingga dinihari Mimi diliputi senyum yang terus mengembang.
"Tiga ya," rajuk Pipi.
"Dua saja ah. Memang enggak capek apa melahirkan? Kamu sih enak, cuma bikin tapi nggak ikutan ngeden," cemberut Mimi.
"Iya, deh."
"Awas kalau udah dua minta nambah lagi!" Mimi mencubiti pinggul Pipi, membuat Pipi blingsatan kegelian.
Tanggal 20 Februari. Itulah pelaminan yang direncanakan. Tiap pagi, saat matanya membuka, Mimi menghitung hari. Rasanya waktu bergerak lamban. Rasanya jarum jam sengaja menggodanya dengan perlahan-lahan jalan.
Tinggal satu setengah bulan lagi saat-saat membahagiakan itu tiba, ketika suatu sore ponselnya bergetar. Mimi menyambar handphone, mengamati nomor. Tak tercatat dalam memorinya, tapi tetap ia angkat.
"Mbak Mimi ya?" Ujar suara di seberang. Seorang pria.
"Iya benar. Dengan siapa saya bicara?"
"Ini Han, teman kantor Pipi. Saya mau mengabari bahwa Pipi sekarang di rumah sakit. Mbak segera ke sana. Pipi pingsan tadi ... "
Wajah cokelat itu kini pucat. Mimi berdiri di seberang pembaringan, menatap pipi Pipi, menyentuh rambut yang tinggal satu senti. Pipi harus dikemoterapi, dipangkas rambutnya hingga pelontos untuk mempermudah dokter melakukan operasi. Kanker otak. Sebuah vonis yang meluruhkan segenap saraf Mimi hingga ia lemas tanpa bisa berkata-kata.
Hampir sebulan Pipi dirawat. Ia telah melewati masa kritis paskaoperasi. Tiap pagi, saat Mimi membawakan bubur ayam, Pipi memberi senyum lewat kerdipan mata, seolah-olah ia ingin mengabarkan bahwa ia baik-baik saja. Mimi tak mampu menahan haru. Diusapnya tangan kekasihnya. Memberi aliran hangat. Membisikkan kata-kata indah. Mengelap keringat di leher, dan kadang ia sampai tertidur di bibir ranjang dengan kepala tergeletak setelah lelah melafalkan doa-doa.
"Kamu nggak boleh meninggalkan aku. Nggak boleh! Kamu jangan pergi! Kamu jahat!" Lalu seseorang menepuk-nepuk pundaknya hingga mata Mimi nyalang. Ia mengusap-usap mata. Mengingat kembali kepingan-kepingan mimpi barusan tadi. Ia mimpi Pipi tengah meregang nyawa di ruang ICCU rumah sakit. Airmata Mimi meleleh, dan kemudian tersedu sedan ...
*** Ia menerima lamaran Pipi suatu hari, tiga bulan silam. Rembulan begitu rendah malam itu. Angin bergerak perlahan, menciptakan aroma kembang di ruang tamu tatkala keluarga Pipi datang berombongan. Hingga dinihari Mimi diliputi senyum yang terus mengembang.
"Tiga ya," rajuk Pipi.
"Dua saja ah. Memang enggak capek apa melahirkan? Kamu sih enak, cuma bikin tapi nggak ikutan ngeden," cemberut Mimi.
"Iya, deh."
"Awas kalau udah dua minta nambah lagi!" Mimi mencubiti pinggul Pipi, membuat Pipi blingsatan kegelian.
Tanggal 20 Februari. Itulah pelaminan yang direncanakan. Tiap pagi, saat matanya membuka, Mimi menghitung hari. Rasanya waktu bergerak lamban. Rasanya jarum jam sengaja menggodanya dengan perlahan-lahan jalan.
Tinggal satu setengah bulan lagi saat-saat membahagiakan itu tiba, ketika suatu sore ponselnya bergetar. Mimi menyambar handphone, mengamati nomor. Tak tercatat dalam memorinya, tapi tetap ia angkat.
"Mbak Mimi ya?" Ujar suara di seberang. Seorang pria.
"Iya benar. Dengan siapa saya bicara?"
"Ini Han, teman kantor Pipi. Saya mau mengabari bahwa Pipi sekarang di rumah sakit. Mbak segera ke sana. Pipi pingsan tadi ... "
Wajah cokelat itu kini pucat. Mimi berdiri di seberang pembaringan, menatap pipi Pipi, menyentuh rambut yang tinggal satu senti. Pipi harus dikemoterapi, dipangkas rambutnya hingga pelontos untuk mempermudah dokter melakukan operasi. Kanker otak. Sebuah vonis yang meluruhkan segenap saraf Mimi hingga ia lemas tanpa bisa berkata-kata.
Hampir sebulan Pipi dirawat. Ia telah melewati masa kritis paskaoperasi. Tiap pagi, saat Mimi membawakan bubur ayam, Pipi memberi senyum lewat kerdipan mata, seolah-olah ia ingin mengabarkan bahwa ia baik-baik saja. Mimi tak mampu menahan haru. Diusapnya tangan kekasihnya. Memberi aliran hangat. Membisikkan kata-kata indah. Mengelap keringat di leher, dan kadang ia sampai tertidur di bibir ranjang dengan kepala tergeletak setelah lelah melafalkan doa-doa.
"Kamu nggak boleh meninggalkan aku. Nggak boleh! Kamu jangan pergi! Kamu jahat!" Lalu seseorang menepuk-nepuk pundaknya hingga mata Mimi nyalang. Ia mengusap-usap mata. Mengingat kembali kepingan-kepingan mimpi barusan tadi. Ia mimpi Pipi tengah meregang nyawa di ruang ICCU rumah sakit. Airmata Mimi meleleh, dan kemudian tersedu sedan ...
Sore setelah tadi mengirim surat ke Ayu, Mimi tetap termangu-mangu. Ia melayani costumer tanpa gairah. Nasi bungkus yang dibelikan Kinan pun belum disentuhnya. Untunglah teman-temannya memberi perhatian lebih. Mereka tak lelah menghiburnya.
Mimi melirik arloji. Jam empat. Sudah waktunya salat. Ia beranjak meninggalkan meja, mengambil mukena dari ruang dalam. Lalu sebelum ia meminta ijin Kinan untuk salat, matanya bersitatap dengan seseorang yang berdiri di ambang pintu showroom.
Mimi mengerjap-ngerjapkan mata. Mengawasi dengan seksama siapa yang berdiri di sana. Seulas senyum mengembang di bibir pria yang kurus, berambut tipis, tapi tetap gagah itu. Mimi tak asing dengan senyum itu. Ia berlari tergopoh menuju pintu ...