Search

26 Nov 2009

KAU TELAH MELAKUKANNYA


KAU telah melakukannya dengan sempurna, meski ada keresahan dalam hatiku, benarkah ini bukan mimpi?

Sejak pertama menatap matamu aku telah menemukan desir ombak. Ada kerlip cinta yang menyala-nyala. Mengubah diriku menjadi kanak-kanak. Membawa diriku pada kenangan masa remaja.

Di sebuah malam pernah kau bertanya, "Bagaimana kalau kita pergi saja, mengikuti angin dan padang belantara, memisahkan diri dari keruwetan pikir, membangun istana di gua atau di pucuk cemara nun jauh di sana?"

Aku kelu dan tak mampu menjawabmu sebab setiap kita bertemu bukan bahasa lisan yang keluar, melainkan bahasa tubuh yang tak lelah memacu keringat. Kita meniti malam-malam dengan bunga sedap malam. Kita lalui bulan demi bulan dengan terang bulan.

Benar-benarkah kau mencintaiku? Benar-benarkah kau mampu menerima keterbatas-keterbatasan? Barangkali pertanyaan itu terus menerus mengganggu hatimu, mengganggu juga hatiku. Pertanyaan yang justru menyuburkan cinta karena sebenarnya kita tak memerlukan jawaban sebab pada setiap kita berjumpa, selalu ada cinta di tatap mata kita yang bersentuhan.

Ah, andai saja kita bersanding tatkala rintik gerimis mengguyur tanah dan aspal seperti saat ini. Sedang apa kau di sana, cinta?

3 Nov 2009

ELANG DARI GOENOENG


SIANG meretas naik ketika elang itu menukik. Wahai angin, mengapa kabarmu mendadak begitu rupa?

Rindu pada angin, rindu pada gelegak samudera. Rindu ini memecahbelah kepala, menautkannya pada sebuah perahu yang terseret ombak dan onak.

Kami bercengkerama. "Jangan di beranda!" Ujar saya seraya membimbingnya ke ruang tamu, mengenalkannya pada hembus angin keluarga saya.

Lalu bernyanyilah sonata. saya menatap elang di matanya, di bawah gerai rambut yang selalu begitu dari waktu ke waktu. "Saya perlu puisi, saya butuh sandaran hati," ucapnya lirih, menyenandungkan kenangan kafe dan sesendok gula.

Puisinya mengajak saya berkelana, dari Yunani hingga Rusia, dari Jogja hingga Blora, dari Pati tempat kelahirannya, hingga Banyumanik tempat ia menetas dan menyemburat.

Puisi pula yang menyambit aorta darah saya, mengalirkan benih-benih bugenvil, menyiraminya hingga waktu tak terbatas. Saya tersentak karena tiba-tiba saya dibangunkannya persis ketika jendela itu terbuka dimana saya segera bisa menatap padang Savana melalui rongga udara.

Tak genap setengah jam kemudian elang itu terbang, kembali ke ujung Goenoeng ...


*Rindu bertalu buat Mas Goenoeng