
MENEMBUS gerimis pekat dengan kecepatan 60 km/jam seolah meniti buih. Solo baru saja habis, dan Kartasura menghisap dengan merkuri-merkuri yang lelah. "Semarang 82 Km", begitu papan menjulang di sudut Kartasura menjelaskan jarak yang mesti saya tempuh tiga jam ke depan.
Saat itulah saya melihatnya.
Ia melambaikan tangan. Sekejap saya pikir ia menyetop bus. Atau mobil lain. Tapi pada saat sama tak ada mobil yang melintas di tiga kaca spion saya. Tidak pula sepeda motor. Sepi menyayat. Artinya, ia melambai pada saya.
Refleks saya menginjak rem. Cericit ban berdenyar sebentar. Perlahan saya mundur, lalu mengambil jarak dua depa di depannya. Dari sorot lampu tampaklah perempuan muda -- kisaran 22 usianya -- berkaus putih, jins biru, dan syal melilit lehernya. Ia mematung dengan ransel menggantung, disangga kaki-kaki basah oleh tempias.
Tak ada sesiapa di sana. Benak saya terganggu oleh beragam kejutan yang berdenyut. Siapa tahu ia hantu. Atau sundel bolong kesepian lantaran tak ada manusia yang digoda. Atau ... Hei, ia melangkah menuju saya!
"Malam, Mas, boleh saya menumpang?" Ucapnya penuh harap. Saya menjatuhkan kaca lebih ke dalam. Mengawasi parasnya yang pias. Rambutnya masai tercabik gerimis. Ia menggigil kedinginan.
"Saya ke Semarang. Kalau Anda ke Jogja, berarti kita tak searah," kata saya seraya menunjuk pertigaan di depan. Ke kiri menuju Yogya, kanan ke arah Semarang.
"Saya mau ke Ungaran. Kalau keberatan, saya akan membayar ongkos tumpangan." Kali ini ia tampak ingin menegaskan bahwa ia sedang bergegas dan tak memerlukan banyak alasan saya untuk menolaknya. Saya melirik rintik. Kian menderas. Saya tak tega membiarkannya kuyub, dan saya akan dikejar-kejar rasa berdosa bila esok ia ditemukan tewas di trotoar lantaran kedinginan atau ditebas parang.
Saya mempersilakannya. Ungaran adalah pintu selatan Semarang. Apa salahnya ada teman mengobrol seperjalanan? CD-CD cengeng di lambung dashboard tentu telah lelah lantaran terlalu sering keluar masuk selop player.
Ia menghambur. Meletakkan pantatnya dengan lembut. Lalu mengantup pintu dengan terukur. Sekejap aroma Guess Pink menguar. Saya hapal baunya karena istri saya memakainya juga.
"Dari mana tadi? Kok berdiri di tempat sepi tengah malam begini? Sedikit bergeser ke pasar kan terang." Saya meliriknya. Roda telah mendorong kami. Gerimis makin tebal.
"Saya diturunkan paksa oleh pacar saya. Tepatnya mantan," ujarnya lirih tetapi penuh geram.
Saya terkesima. Tenggelam sebentar dalam percik pertengkaran yang pasti hebat. Lumayan untuk diceritakan kawan, atau istri, esok hari. Rasa penasaran dan sedikit naluri wartawan memaksa saya untuk bertanya.
"Bagaimana itu bisa terjadi?"
"Ia memaksa saya untuk melayani napsunya. Seminggu ini itu terus yang ia minta, dengan janji akan segera menikahi. Saya bukan cewek dungu. Bukan perempuan gombal yang bersedia diajak ke kamar hotel lalu membuka baju untuknya. Jujur saya menyayanginya, tetapi tidak untuk seks pra-nikah cinta saya untuknya ... "
"Berapa lama kalian berpacaran?"
"Sejak SMA."
Cepat-cepat saya menghitung. "Wah, lebih lima tahun, dong."
"Enam tahun lima bulan pertanggal ini."
"Dan selama itu kalian sudah sejauh mana?"
"Ciuman. Itupun pipi. Ia pernah meminta bibir, dan saya memberinya. Tapi jangan membayangkan saya membiarkannya berlama-lama menciumi bibir saya. Ia penuh napsu, tapi saya mengatupkan bibir rapat-rapat sambil berdoa agar Tuhan mengampuni saya."
Saya menghela napas. Hm, enam tahun menjalin cinta tanpa persentuhan titik paling sensitif adalah hal langka di jaman sekarang! Saya takjub sekaligus salut.
Jessica -- hingga hampir Boyolali ia baru mengenalkan namanya -- kuliah di kampus sohor di Surakarta, jurusan komunikasi. Kalau tak salah terka, ia pastilah kembang kampus. Hidungnya bangir. Kulitnya -- saya pergoki kala tadi tersiram lampu mobil -- sehalus sutera. Saat mendekati jendela, syalnya sedikit membuka, menyiratkan leher seputih kapas tanpa ruas. Sayang ia pelit senyum lantaran mungkin tengah bersedih. Jika nanti ia tersenyum, saya akan segera bisa menilainya apakah ia lebih cantik dari Dian Sastro ataukah sebaliknya.
Tampaknya ia membiarkan saya defensif sebab sejak tadi tak pernah ia bertanya. Jessica mengaku tak peduli saya bajingan atau setan. Ia menyetop saya untuk satu tujuan yang tak bisa ditunda-tunda: mengadu kepada ibunya, mengguguk di bantal, lalu tidur. Esoknya, ia akan menemukan fajar baru.
"Saya tak menyesal putus darinya. Ia boleh anak pejabat penting, tapi saya lebih terhormat. Orangtua kami mendidik anak-anaknya menjunjung tinggi martabat."
Saya mengangguk-angguk tak putus-putus. Jessica mungkin sekelumit anak negeri ini yang pantas mendapat cum laude untuk hati bening. Ia bibit unggul yang secara fisik merangsang kelelakian tapi sepanjang hidupnya ia duduk di singgasana ratu dengan tatap mata was-was dan waspada.
Jessica membangun benteng kukuh. Membiarkan mata menelanjanginya, namun ia kirim pesan kepada setiap orang bahwa harga diri tak ubahnya berlian di kotak pandora. Tak boleh siapapun menyentuhnya, kecuali jika ia telah menikah nanti.
Saya menyentuh pundaknya untuk membangunkannya dari kantuk pulas. Menanyakan apa tadi sudah makan. Seratus meter di depan ada restoran 24 jam. Saya akan membelok jika ia menyetujui kami berhenti. Tapi ia menggeleng seraya mengucap terima kasih.
Sesampai di Ungaran, ia terjaga. Mengucak mata dengan gerakan ringan, lalu menunjuk belokan ke kiri. Jalan menurun tajam. Kemudian berkelok-kelok naik, lantas berhenti di luar pagar tinggi sebuah rumah sangat megah.
"Saya turun di sini, Mas, terima kasih atas tumpangannya. Kalau ada waktu mampir, ya. " Kali ini ia tersenyum. Semanis es krim. Saya kubur bayangan tentang Dian Sastrowardoyo sebab Jessica lebih cantik! Lalu ia membuka pintu, mengayun langkah menuju pos sekuriti di ujung pagar. Seorang satpam membukakan pintu. Ia melambai, masih dengan senyum tadi, kemudian melenggang ke dalam.
Belakangan saya memperoleh kabar dari kawan, rumah tempat Jessica berhenti adalah milik saudagar kaya pemilik saham terbesar satu televisi swasta hebat di negeri ini. Dan Jessica adalah anak keduanya ...
**