Search

1 Jul 2008

Seni yang Saya Khianati


Syahir menelepon dari Jakarta, tadi malam. “Mas, ada cerpen islami nggak di harddisk Sampean? Kalau ada nanti kita muat di Khalifah edisi depan. Jangan sampai lewat tanggal 15 (Juni), ya.”


Ada burung walet yang tiba-tiba melintas, membawa serbuk-serbuk kapuk yang berhamburan di angkasa, mirip salju yang turun perlahan dengan syahdu menuruti gravitasi bumi. Saya tergeragap dari tidur. Tidur yang panjang setelah suara seperti Syahir ini mengalun dari Stefanie (Redaktur Fiksi Majalah Aneka Yess) atau Sukrisna (Redaktur Pelaksana Tabloid NOVA).


Saya tengah mengarungi ilalang panjang sejak bekerja di lingkungan Grup Indomedia, mulai November 2006. Ilalang yang tak berujung meski saya naiki kuda troya. Hari-hari silap dan silau oleh dua layar komputer dan laptop, mengalir dalam kesenjangan panjang guna mengabdi kepada sesuatu hal yang, jujur saja, bukan dunia saya.


Beberapa hari lalu saya bertemu Mas Handry TM bersama Mbak Ninik, istrinya, di warnet Citra Media – atau khalayak maya Semarang menyebutnya Cimed – di kawasan riuh Citraland, Semarang. Saya tersudut tatkala ia mengisahkan proses kreatifnya sebelum memenangi lomba penulisan skenario yang digelar Departemen Pariwisata. Saya merasa dicibir dengan sangat nyinyir.


Pembicaraan yang mengalir serampangan lantaran saya gagap mengikuti topik seni. Kesenian yang saya khianati karena saya menembus awang-awang dengan meninggalkan banyak hal. Bekerja dengan gurat-gurat angka, meneliti petak-petak excel, menghitung rugi untung, adalah ‘onani’ yang sia-sia karena tak kunjung memuncratkan 'sperma'.


Satu setengah tahun lalu saya masih mendatangi pameran foto Ganug Nugroho Adi (semasa ia belum bekerja di Indosiar karena masih memakai baju Suara Merdeka) di auditorium IKIP PGRI. Kami membicarakan novel dan cerpen, karena wartawan satu ini juga cerpenis.


Dua tahun lalu saya kerap melakukan pertemuan dengan Bu Rini, guru bahasa sebuah SMP di Semarang Timur, dan menggagas penerbitan novel dan kumpulan cerpen.


Tiga tahun lalu saya masih bermain-main dengan kata dan rajin menulis apa saja di Yogya, kemudian rutin mengirim cerpen ke media mana saja.


Kini, saya adalah baju lusuh yang tergantung di kapstok. Menulis hanya di blog, dan mungkin berangsur goblok.


Suara Syahir yang merdu, tadi malam, mengingatkan saya, membangunkan saya. Menyandarkan sebuah tonggak persis di punggung saya akan makna kehilangan. Saya segera ingat tentang sayembara menulis cerpen dan cerbung oleh sebuah majalah yang ingin saya ikuti saat ini. Saya akan membayar utang-utang sebelumnya, termasuk gagal mengikuti lomba cerpen Tabloid Nyata hanya gara-gara sibuk menjadi pemimpin redaksi sebuah tabloid olahraga ...


(saya akan mengetuk pintumu, sayangku. Biarkan saya berkelana di sekujur tubuhmu)

7 komentar:

Anonim mengatakan...

ayo mas, bangun.
aku kangen cerpenmu...

kalo nggak mau, ya ajari aku aja. aku butuh ilmu kamu..

Arief Firhanusa mengatakan...

thanks, Blue, spiritmu adalah titah

Anonim mengatakan...

ayo mas nulis lagi .. ayooo!!! dunia sepi tanpa kata-kata indah

Anonim mengatakan...

HUTANMU BUKAN BELANTARA UANG ...
BELANTARAMU BUKAN HUTAN UTANG ...
SEMAK BELUKARMU ADALAH
MENIMBUN KATA-KATA INDAH!

Enno mengatakan...

cepetan ya selesaikan cerpennya dan segera kirim ke panitia! Atau aku terpaksa harus mengirim punyaku nih! udah dibela2in ngalah juga hehehe :D

Arief Firhanusa mengatakan...

@enno
banyak gangguan dari kepentingan kapitalisme, nno, jd rada tersendat neh.

Mengalah? Bhuwhahakakak ...

Meita Win mengatakan...

uhuhu..terimakasih atas infonya, sudah ta' beli majalahnya...:)