Search

13 Sep 2010

Iklan Sejati, Simpel, Macho, dan Pintar


IKLAN Rokok Sejati mengingatkan saya pada kedigdayaan Rokok Bentoel merenggut Piala Citra Adhi Pariwara 1993. Bentoel, dengan suguhan iklan berupa gambar megah-detail dengan sentuhan jingle "I Love Blue Indonesia", tanpa banyak mengumbar kalimat-kalimat "jual obat", begitu asyik dan menorehkan romantisme.

Citra Adhi Pariwara ialah sebuah sayembara yang digelar RCTI dan SCTV (semasa mereka masih satu grup), yang berbiaya penyelenggaraan cukup besar dengan menyediakan hadiah total Rp 60 juta untuk memancing minat pemirsa.

Sampai hari terakhir sayembara (saat itu), 1.928.034 lembar kartu pos masuk, bahkan dikirimkan pula dari wilayah yang tak bisa menangkap secara langsung siaran RCTI/SCTV dan harus menggunakan antena parabola seperti Makassar, Klaten, Semarang, dan Purwakarta.

Bentoel International unggul karena dipilih 138.727 pemirsa. Iklan odol Close Up masuk peringkat kedua, dipilih 100.715 pemirsa. Urutan selanjutnya: iklan obat batuk Komix (83.641 pemirsa), iklan obat Promag (81.712), iklan sampo Dimension (70.323), iklan korporasi Marlboro (38.110), iklan obat nyamuk Baygon (33.901), iklan mi Indomie (32.311), iklan sirup Nutrisia (30.421), dan iklan pesawat televisi Digitec (28.510).

Sayembara iklan dengan publisitas luas itu bukan sekadar mengukur kebagusan iklan televisi, melainkan juga menegaskan tampilnya kecenderungan baru dalam strategi periklanan di Indonesia: menguji pesona iklan di kalangan masyarakat (konsumen).

Belasan tahun kemudian, pada era terkini ketika Sayembara Citra Adhi Pariwara sudah tak lagi ada, iklan di televisi begitu kusam dan menjemukan. Para pengiklan tak ubahnya penjual obat di trotoar, dengan jargon-jargon: "Pakailah shampo ini karena akan membuat rambut Anda indah", atau "Mengapa pakai pembalut yang lain ketika pembalut kami membuat Anda lebih nyaman bergaul?"

Pemirsa televisi dipaksa untuk bodoh dengan propaganda iklan (baik yang menjerumuskan, maupun produk tertentu memang benar-benar berkhasiat dahsyat), sehingga konsumen dipaksa terpojokkan harus memilih sabun anu, atau obat maag itu, tanpa kesan mendalam, tanpa masyarakat diberi ruang untuk berapresiasi (karena sesungguhnya iklan televisi juga media seni dan sarana memintarkan pemirsa).

Iklan tivi di Indonesia rata-rata memang cerewet. Tak peduli calon konsumen bakal paham atau tidak, mereka dipaksa menelan istilah-istilah biologi, kimia, ilimiah (macam cocoba di iklan shampo); dan bahkan tak jarang iklan memaksakan seorang bintang menjadi tokoh utama dengan pencantuman namanya di iklan bersangkutan plus tandatangannya. Seolah-olah produsen begitu tak percaya diri pada produksinya sehingga perlu 'onani' agar orang mau berbelanja.

Sejati Iklan, Iklan Sejati

Kembali ke Rokok Sejati. Apa kira-kira yang menawan hati Anda tatkala menyimak iklan rokok ini? Tentu pemilihan tema, sudut pengambilan gambar, kualitas pencahayaan, pemilihan pemain, dan tahu benar bagaimana menyampaikan pesan.

Tema-tema iklan rokok ini, mulai versi "Dangdut di Atas Truk", "Pasar Malam", "Cikulon", hingga edisi "Mudik", seluruhnya bertutur tentang "solusi sederhana bagaimana menaklukkan problem berat".

Pemilihan lokasi syuting pun menerjemahkan bagaimana sesungguhnya rokok ini membidik segmen, yakni daerah pinggiran. Daerah yang tak perlu megah-mewah karena sebenarnya konsumen rokok bukan hanya penghuni apartemen atau juragan dealer mobil.

Versi "Dangdut di Atas Truk" menyuguhkan kreativitas yang dibutuhkan guna meramaikan kembali warung yang sepi dengan teknik simpel tapi memikat masyarakat. Edisi "Pasar Malam" dikisahkan bagaimana menghidupkan kembali generator yang rusak hanya dengan mekanisme sepeda motor.

Jilid "Cikulon" pun begitu. Wilayah yang gersang dan sepi sebuah dusun mendadak ramai dikunjungi wisatawan mancanegara dengan cara propaganda yang sederhana. Lalu, di edisi terbaru bahkan lebih 'manusiawi' dengan menyajikan seorang pemuda yang merelakan diri menjadi pahlawan bagi kawan-kawannya yang karena sesuatu hal tak bisa mudik Lebaran.

Kemudian, di akhir iklan, slogan "Sejati emang bikin bangga" pun didengungkan. Ya, hanya kalimat itulah yang menegaskan bahwa ini iklan rokok. Bukan dengan pesan "belilah rokok kami, karena kami lebih enak!"

Karena merek rokok adalah Sejati, maka tak pelak dipilihlah bintang iklan yang mewakili pria macho, pintar, gagah, dan ganteng. Tiap menggelar audisi (terakhir bulan Maret lalu, seperti yang saya baca di sebuah situs), syarat-syarat bagi pelamar ialah usia 25-30 tahun yang ganteng, macho, dan diwajibkan memakai kemeja plus celana jins. Itu untuk pelaku utama. Untuk pemeran pendukung cukup berwajah lucu dan bahkan boleh berbadan pendek.

Di tengah ketatnya persaingan industri rokok, Bentoel Group (produsen Rokok Sejati) berhasil membukukan pendapatan Rp 2,8 triliun pada semester pertama 2008 (tahun pertama Sejati diproduksi). Itu berarti terjadi peningkatan 37 persen dibandingkan semester pertama tahun sebelumnya. Ingin tahu omzet sebesar itu didongkrak dari merek yang mana? Bisa ditebak: Sejati!

Masyarakat sudah bisa memilah mana iklan buruk, menggurui, dan brengsek, dengan mana iklan pintar dan tak ceroboh. Itu sebabnya Rokok Sejati kini menjadi rokok alternatif di sebelah Dji Sam Soe, Sukun, atau Sampoerna Hijau, lantaran iklannya memikat. Padahal Sejati tergolong pendatang baru. (*)

(Tulisan ini disusun berdasarkan apresiasi pribadi belaka, plus sedikit pertimbangan teknis periklanan. Tak ada pesan sponsor atau keberpihakan untuk kepentingan tertentu selain upaya memintarkan masyarakat)



8 Sep 2010

SAYA PULANG, BU


Lebaran tahun ini adalah Lebaran yang kesekian rumah hanya terisi Bapak, Ibu (Endang), dan beberapa topeles makanan dan bergelas-gelas teh. Di atas tikar, di ruang depan, Bapak bersila dengan sarung yang tak lagi baru (entah mengapa sarung yang ia pakai bukan sarung yang saya belikan, tapi memilih sarung yang dibelikan Ibu). Sementara Ibu (Endang) sesekali menerima tamu.

Mengapa saya menulis Ibu dengan Endang dalam tanda kurung? Sebab Bu Endang adalah wanita pengganti Ibu. Ibu meninggal tahun 1993, meninggalkan kami dengan bertangkup-tangkup kenangan yang selalu membuat saya menangis tiap Lebaran tiba.

Saya biasanya pulang saat Lebaran pertama. Memasuki halaman rumah, dada saya sudah mulai sesak. Dulu, Ibu menyambut kami, anak-anaknya, dengan wajah riang di depan pintu. Lalu kami dirangkul satu persatu. Eni, si bungsu, paling lama dikecup rambutnya. Bungsu yang bandel, bungsu yang cerewet, tapi Ibu amat menyayanginya.

Kini, tak ada lagi senyum itu. Tak ada yang memasakkan ayam dari peternakan sendiri. Tak ada yang bersuara lembut ketika menyodori kami kue-kue bikinannya. "Coba cicipi ini. Ayo coba, dong. Ibu susah payah membikinnya," ucapnya dengan kebanggaan yang tersirat. Kami pun lahap mengunyah, dan terkadang saya bohong karena kue itu sebenarnya biasa-biasa saja rasanya tapi saya mengatakan enak sekali agar Ibu senang.

Di rumah, saat takbir sayup-sayup terdengar, saya menatap foto Ibu di tembok ruang dalam. Tak ada orang yang mengawasi saya, tapi Tuhan menyaksikan saya menangis, bahkan sesenggukan. Ia kini hanya bisa saya tatap lewat foto dengan senyum lembutnya yang tak pernah luntur.

Sering tanpa sepengetahuan siapapun ia menyelipkan 100 ribu ke kantong saya saat adik-adik asyik mengobrol sendiri. "Buat nanti minum di jalan. Tak perlu kamu bicarakan soal uang itu ke adik-adikmu, biar mereka tidak iri. Panen tak seberapa banyak tahun ini, jadi Ibu harus mengirit," katanya, dengan elusan di rambut saya yang menciptakan kerinduan yang mendalam ketika ia kini sudah tak ada.

Saya masih menatap foto Ibu saat membayangkan selang-selang infus itu menancap lengannya, dengan oksigen yang senantiasa menangkup sebagian wajahnya. Ruang ICCU RS Telogorejo sepi sunyi tengah malam itu tatkala seorang suster memegang pundak saya. Dengan sangat berhati-hati, ia mengabarkan bahwa Ibu telah tiada ...

Ibu, Lebaran ini saya pulang. Tidurlah dengan tenang.