Search

26 Jul 2009

NOORDIN M TOP DAN CALEG

SAYA iri pada Noordin M Top. Fotonya ditempel dimana-mana. Di halte, terminal, bandara, sampai tembok hotel mesum. Saya pernah sangat ingin gambar muka saya dipasang di gardu listrik atau dipaku di pepohonan. Biarlah di sana tertera pula tulisan "WANTED" berukuran besar, lalu di bawah foto ditulisi jumlah uang bagi siapapun yang mampu menciduk saya, seperti di film koboi.

Saya juga pernah iri pada caleg yang memasang foto di spanduk, umbul-umbul, bahkan brosur. Betapa asyiknya memamerkan deret gigi dan bibir yang terkembang. Seolah menyapa siapa saja, seakan jalanan adalah miliknya.

Pernah saya guyon dengan Mas Goenoeng Mulyo. Dalam canda sempat kami mau memesan spanduk dengan sablonan foto-foto kami, kemudian dipasang melintang di atas jalan. Tentu tak ada logo partai maupun jargon pemilu di situ, melainkan deret tulisan enteng saja: "Saya bukan caleg, cuman pengin nampang saja!"

Namun kemudian baru-baru ini saya menyadari bahwa tampang dipublikasikan belum tentu positif muaranya. Bayangkan, pagi tadi muncul foto seseorang di halaman dalam sebuah koran, dengan kalimat yang sungguh tak enak: "Panggilan, nama W*s**, alamat Jalan S******** Raya nomor sekian Tangerang, untuk mempertanggungjawabkan penggunaan uang sebesar Rp 27 juta". Olala!

Noordin mungkin tidak nyaman fotonya di-"wanted"-kan. Bayangkan, predikat "buronan nomor wahid negeri ini" kemana-mana disandangnya. Jika suatu ketika ia dibekuk, pasal untuk menjeratnya sangat berlapis-lapis. Itu belum cercaan yang menimpuknya dari segenap penjuru jagat raya.

Tapi, siapa tahu ia kini ia tengah menyedu kopi di depan televisi, seraya tersenyum congkak di sela emping melinjo yang sedang dikunyahnya. Noordin tak takut sama sekali lantaran wajahnya tak dikenali lagi usai ia melakukan face off. Itu mengapa siapa menyangka kita saban hari mengobrol dengannya di pasar, terminal, atau di sudut pasar tradisonal.

Sedikit lebih baik adalah nasib mereka yang mengadu untung di pemilu legislatif. Setelah tak dicontreng orang, mereka tak menyisakan masalah apa-apa, kecuali barangkali membayar utang untuk keperluan pileg. Pertanggungjawabannya tak sehebat Noordin, karena cuma berperkara dengan bank, atau pihak lain yang diutangi.

Bagi yang terpilih, segera saja ia merealisasikan janji-janjinya untuk membela rakyat, kecuali bagi mereka yang setelah terpilih lantas bersiap tidur di sidang-sidang, sebab masyarakat boleh jadi telah melupakannya karena jalan telah dipavingisasi pada masa kampanye, atau rakyat telanjur senang karena telah memperoleh kaus dan uang.

Memasang foto di jalanan? Nggak deh!



21 Jul 2009

BLOG ADALAH PAWON SESUNGGUHNYA


SAYA penyendiri. Masuk kamar saat matahari pulang, kemudian bersemayam di kursi putar yang menghadap meja. Lama. Bisa semalaman tak keluar.

Hening begitu sibuk menimang tubuh dan jiwa. Sepi adalah sigaret yang mengentutkan asap-asap bergulung, menyorongkan album-album kehidupan beribu lembar banyaknya. Dan saya hanya ditemani televisi yang menyala sesekali, buku, dan alat tulis elektronika yang dilumasi speedy. Tak ada sesiapa, bahkan anak maupun istri saya.

Itu mengapa kegemuruhan facebook (atau publik menyingkatnya dengan FB) cuma saya hampiri sesekali. Keramaian yang tak terlalu menyeret saya untuk berlama-lama membaca sambil tertawa-tawa, sebagaimana saya hanya seminggu sekali menyeruak keramaian pasar Johar, pasar tradisional terbesar di Semarang, atau Mal Ciputra dan Matahari.

Saya lebih tenteram membaca-baca blog kawan, atau sesekali menulis di blog sendiri, ketimbang berkomentar, membaca komentar, atau mengomentari komentar orang di FB. Blog serasa sudut pawon*) dimana kita meracik sup atau sambal goreng. Mengalun kesunyian yang indah berada di pojok dapur seraya membaui terasi, kepul asap penggorenggan, atau sisa makanan kemarin.

Blog lebih tepat untuk media perenungan, pergunjingan hati, serta menekuri kaya atau kemelaratan. Blog adalah kuali yang melahirkan fiksi bersama realita dalam adonan sedap menurut selera masing-masing penulisnya.

Saya sulit diseret ke satu irama hilir mudik yang menyesakkan mata, meski FB efektif menjalin kekerabatan dan atau memburu kawan-kawan lama. Tapi sangat suntuk menurut saya. Kita dijerat dan sulit keluar dari keinginan menulis ratap hati dan mengomentari. Kita seperti menyelinap dalam ketat pasar malam dimana pantat dan kepala saling beradu dan bersebadan.

Tetaplah blog masih nomor satu di hati saya, kendatipun lama-lama di ranah ini sepi ditinggalkan penghuni ...



*) Pawon: dapur

11 Jul 2009

HOLE IN ONE DARI ISTRI


ISTRI saya marah membaca postingan ini. Bisa dimaklumi. Ia membaca sebuah pesan singkat kiriman 'seseorang' yang sangat ia benci, persis di hari ulangtahun saya, 23 Juni lalu. Padahal itu imajinasi belaka.

Imajinasi atau nyata, ia tak mau mengerti. Maklum, dengan hanya menyinggung tentang 'dia', ia berpikiran bahwa saya rindu pada 'orang itu'. Padahal, sejatinya saya tak pernah lagi mengangankan sesuatu yang dulu terjadi terseret ke masa kini, lebih-lebih menginginkan pertemuan.

Istri saya asyik sekaligus unik. Di satu sisi ia tipikal buldozer yang senantiasa menggilas hari ini dan hari depan untuk tujuan-tujuan. Tapi, sesekali ia juga menengok ke belakang dan berusaha memperbaiki hal-hal buruk masa lalu, termasuk hubungan saya dengan 'dia'.

Saya berterima kasih padanya meski seharian ia mengomel, melebihi omelan saya sesaat setelah saya memergokinya mengirim SMS ke mantan pacarnya. Istri adalah pagar. Istri adalah masinis kereta. Istri juga stik golf untuk menuntun bola memasuki hole in one kehidupan. Sebab itu, setelah meminta maaf padanya, saya mulai menata kembali manajemen perasaan antarkami.

9 Jul 2009

MULUT YANG TAK SETIA


Berbeda Pito yang konsisten nyedot LA menthol, saya cenderung 'asbak'. Bagaimana tidak. Setelah asyik masyuk dengan Sampoerna merah (dah jauh-jauh tahun sebelumnya pernah menyenggamai Filtra, Gudang Garam, Djarum, Dji Sam Soe, bahkan Djarum kretek), saya memadu cinta dengan Class Mild.

Bersama Class Mild saya merenda hari-hari suka dan merana, sedih-gembira, untung dan buntung. Tapi itu cuma setahun, 2008-2009. Beberapa bulan lalu saya jatuh cinta pada Star Mild, baik biru maupun menthol, gara-gara ditusuk batuk. Batuk yang tak kunjung sembuh dan berlendir. Di tengah batuk, saya nebeng Star Mild teman. Eh, sembuh!

Mungkin saya punya bakat tak setia. Buktinya, belum sebulan kesana kemari mengantongi Star Mild, mendadak saya sangat ingin mencicipi LA merah seorang kawan perempuan yang bertemu di sebuah acara ultah. Nah, saya keterusan LA hingga kini.

Rokok, setidaknya menurut saya, tak menyimpan tabiat makanan. Makanan bisa dengan lekas mengubah arah lidah, pagi bayam, siang opor, sore siomay. Perokok tak bisa mengubah selera sigaret dalam waktu singkat. Umumnya mereka bertahan lama dengan satu merek, termasuk para perokok ketengan yang membeli di kakilima Rp 500-an sebatang.

Karena jam terbang saya tinggi dalam urusan sedot tembakau, mulut saya mati rasa akibatnya. Kini saya tak canggung menghisap rokok apapun, bahkan jika disuguhi cerutu kuba sekalipun. Saya paham benar karakter rokok di depan saya, dan berisiko apa (tersedak, terbatuk, dsb) jika saya menghisapnya.

Rokok juga membuat saya mati gaya. Otak saya bisa sekarat gara-gara rokok tak tersedia ketika hasrat menulis menggedor-gedor dada ...

7 Jul 2009

ASAL TETAP TERATUR MAKAN!

SAYA salut pada Adi. Tetangga sebelah kiri rumah ini begitu bersemangat membagi undangan nyontreng ke segenap tetangga. Padahal, jika dihitung capek dan tanggungjawabnya, honor Ketua KPPS tidak nendang. Apa lacur, mari Adi kita nobatkan sebagai salah satu pahlawan tanpa tanda jasa.

Pilpres menyulut orang menjadi sibuk. Bukan oleh kampanye semata, melainkan juga penat menyimak debat, kenyang pemberitaan (sampai mau muntah membacanya), dan sibuk memutuskan mau memilih siapa.

Ada yang bilang ini pesta demokrasi. Tapi galibnya pesta, pemilu justru menguarkan bau sinisme. Ada ketawa membuncah, tapi muncul lantaran seorang capres/cawapres mengejek kandidat lain. Tepuk tangan pun seolah tepuk nyamuk: mencoba membunuh pihak lain lewat teror mental.

Pemilihan presiden di negeri ini masih serupa pemilihan ketua OSIS di SMA, semrawut dan gontok-gontokan. Demokratisasi cuma ada di seminar-seminar dan skripsi anak-anak kuliah. Napsu menginjak lebih tegas ketimbang berlapang dada.

Saya jarang mendengar seorang kandidat presiden berkata begini dalam debat di televisi: "Saya tak peduli kalah atau menang. Yang penting negara ini aman, makmur dan sejahtera.", kecuali dalam debat terakhir di Balai Sarbini tatkala moderator memungkasi acara dengan satu pertanyaan: "Andai Anda tidak jadi presiden, apa yang akan Anda lakukan?"

Seorang kawan mengatakan, pilpres akan berbuntut panjang. Siapapun yang menang akan menghadapi oposisi yang keras dan 'siluman' bergentayangan. Nah, kapan bisa tidur nyenyak bila nanti begini situasinya?

Karena pening menerka 'api' apa yang menjilat-jilat usai pilpres nanti, semalam saya putuskan: saya tak peduli siapapun menjadi presiden 2009-2014, asal kami bisa makan dengan teratur setiap hari dan menyekolahkan anak-anak. Itu saja!

3 Jul 2009

RASA RASA


SEPERTI ranum danau bening, dengan pucuk-pucuk bambu yang mengayun kala matahari bosan menari. Seperti menatap pelangi dan memotretnya dari punggung bukit. Itulah rasa yang kau berikan, sayang.


Kau bidadari dari lekuk langit ketujuh. Melayang ke bumi dengan pijar dan getar tatkala aku tak lagi berada dalam ruang yang nyaman untuk menghirup udara.


Tahukah bahwa kau oksigen bagiku? Di saat hati sunyi, kau datang dengan selendang sutera. Aku gusar sebab sukar mengatakan apa-apa saat kita berpapasan di tangga. Tahukah kau bahwa aku jatuh cinta? Tahukah kau, di tangga itu aku kuyub oleh asmara?


Dan kita bercakap-cakap setelah pertemuan di tangga. Malam-malam ribut oleh pesan-pesan ponsel kita. Aku dipompa oleh spiritmu, sampai akhirnya aku sadar aku bukanlah siapa-siapa. Ya, menyadari “bukan siapa-siapa” inilah mengapa aku sedih. Kau tak bisa kumiliki dan memilikiku.


Itu kenapa sering aku bersikap aneh, sering berubah-ubah sikap, mirip SMA yang sedang jatuh cinta. Aku kerap ingin berada di sisimu untuk mengadu ketika resah dan tak tahu harus berbuat apa. Kau bisa membuatku kembali tersenyum padahal semenit sebelumnya marah-marah, karena mencintaimu adalah hal terindah.


Kau terlalu baik untuk diusik, terlalu indah untuk diganggu, kendati setan pernah mampir dan menyuruh-nyuruhku untuk melakukan sesuatu. Sejumlah teman pernah marah melihatku murung dan tak doyan makan usai memergokimu dalam gandengan seseorang di depan gereja. Tapi, sejauh ini mereka mau memahami penjelasanku bahwa akulah yang bersalah karena aku memang tak berhak apapun atas dirimu.


Aku hanya perlu merajutmu dalam kesendirian dan mengajakmu ke tempat-tempat indah. Di sana aku leluasa memandangmu hingga bola mata perih. Menatapmu dengan sorot mata cinta yang besarnya melebihi samudera.

Ingin kubangun perahu untuk menyeberangi lautan, memeluk punggungmu ketika kau sedang di depan cermin membedaki paras. Aku ingin menciumi rambutmu, membawamu ke ambang jendela dan kita memandang bunga dari sana.


Aku sangat ingin berdua saja memandangi bintang-bintang, meraup kepalamu ke pundakku, dan kita menangis bersama.

(Jantungku berdenyut ketika menulis ini. Serasa di depanku ada kau dengan senyum yang menggoda, dengan tahi lalat yang menari di bawah matamu itu, dengan tangan yang lembut mengaduk gula dalam secangkir teh.


Maukah kau menunggu jiwaku ketika malam-malam ingin singgah? Aku akan mengetuk jendela kamarmu dan memberi setangkai bunga. Menjulurkan tangan dan membelai rambutmu yang lebat itu, lalu mengawasimu ketika kau pulas).