Search

19 Jun 2009

SEMARANG 82 KILOMETER



MENEMBUS
gerimis pekat dengan kecepatan 60 km/jam seolah meniti buih. Solo baru saja habis, dan Kartasura menghisap dengan merkuri-merkuri yang lelah. "Semarang 82 Km", begitu papan menjulang di sudut Kartasura menjelaskan jarak yang mesti saya tempuh tiga jam ke depan.

Saat itulah saya melihatnya.

Ia melambaikan tangan. Sekejap saya pikir ia menyetop bus. Atau mobil lain. Tapi pada saat sama tak ada mobil yang melintas di tiga kaca spion saya. Tidak pula sepeda motor. Sepi menyayat. Artinya, ia melambai pada saya.

Refleks saya menginjak rem. Cericit ban berdenyar sebentar. Perlahan saya mundur, lalu mengambil jarak dua depa di depannya. Dari sorot lampu tampaklah perempuan muda -- kisaran 22 usianya -- berkaus putih, jins biru, dan syal melilit lehernya. Ia mematung dengan ransel menggantung, disangga kaki-kaki basah oleh tempias.

Tak ada sesiapa di sana. Benak saya terganggu oleh beragam kejutan yang berdenyut. Siapa tahu ia hantu. Atau sundel bolong kesepian lantaran tak ada manusia yang digoda. Atau ... Hei, ia melangkah menuju saya!

"Malam, Mas, boleh saya menumpang?" Ucapnya penuh harap. Saya menjatuhkan kaca lebih ke dalam. Mengawasi parasnya yang pias. Rambutnya masai tercabik gerimis. Ia menggigil kedinginan.

"Saya ke Semarang. Kalau Anda ke Jogja, berarti kita tak searah," kata saya seraya menunjuk pertigaan di depan. Ke kiri menuju Yogya, kanan ke arah Semarang.

"Saya mau ke Ungaran. Kalau keberatan, saya akan membayar ongkos tumpangan." Kali ini ia tampak ingin menegaskan bahwa ia sedang bergegas dan tak memerlukan banyak alasan saya untuk menolaknya. Saya melirik rintik. Kian menderas. Saya tak tega membiarkannya kuyub, dan saya akan dikejar-kejar rasa berdosa bila esok ia ditemukan tewas di trotoar lantaran kedinginan atau ditebas parang.

Saya mempersilakannya. Ungaran adalah pintu selatan Semarang. Apa salahnya ada teman mengobrol seperjalanan? CD-CD cengeng di lambung dashboard tentu telah lelah lantaran terlalu sering keluar masuk selop player.

Ia menghambur. Meletakkan pantatnya dengan lembut. Lalu mengantup pintu dengan terukur. Sekejap aroma Guess Pink menguar. Saya hapal baunya karena istri saya memakainya juga.

"Dari mana tadi? Kok berdiri di tempat sepi tengah malam begini? Sedikit bergeser ke pasar kan terang." Saya meliriknya. Roda telah mendorong kami. Gerimis makin tebal.

"Saya diturunkan paksa oleh pacar saya. Tepatnya mantan," ujarnya lirih tetapi penuh geram.

Saya terkesima. Tenggelam sebentar dalam percik pertengkaran yang pasti hebat. Lumayan untuk diceritakan kawan, atau istri, esok hari. Rasa penasaran dan sedikit naluri wartawan memaksa saya untuk bertanya.

"Bagaimana itu bisa terjadi?"

"Ia memaksa saya untuk melayani napsunya. Seminggu ini itu terus yang ia minta, dengan janji akan segera menikahi. Saya bukan cewek dungu. Bukan perempuan gombal yang bersedia diajak ke kamar hotel lalu membuka baju untuknya. Jujur saya menyayanginya, tetapi tidak untuk seks pra-nikah cinta saya untuknya ... "

"Berapa lama kalian berpacaran?"

"Sejak SMA."

Cepat-cepat saya menghitung. "Wah, lebih lima tahun, dong."

"Enam tahun lima bulan pertanggal ini."

"Dan selama itu kalian sudah sejauh mana?"

"Ciuman. Itupun pipi. Ia pernah meminta bibir, dan saya memberinya. Tapi jangan membayangkan saya membiarkannya berlama-lama menciumi bibir saya. Ia penuh napsu, tapi saya mengatupkan bibir rapat-rapat sambil berdoa agar Tuhan mengampuni saya."

Saya menghela napas. Hm, enam tahun menjalin cinta tanpa persentuhan titik paling sensitif adalah hal langka di jaman sekarang! Saya takjub sekaligus salut.

Jessica -- hingga hampir Boyolali ia baru mengenalkan namanya -- kuliah di kampus sohor di Surakarta, jurusan komunikasi. Kalau tak salah terka, ia pastilah kembang kampus. Hidungnya bangir. Kulitnya -- saya pergoki kala tadi tersiram lampu mobil -- sehalus sutera. Saat mendekati jendela, syalnya sedikit membuka, menyiratkan leher seputih kapas tanpa ruas. Sayang ia pelit senyum lantaran mungkin tengah bersedih. Jika nanti ia tersenyum, saya akan segera bisa menilainya apakah ia lebih cantik dari Dian Sastro ataukah sebaliknya.

Tampaknya ia membiarkan saya defensif sebab sejak tadi tak pernah ia bertanya. Jessica mengaku tak peduli saya bajingan atau setan. Ia menyetop saya untuk satu tujuan yang tak bisa ditunda-tunda: mengadu kepada ibunya, mengguguk di bantal, lalu tidur. Esoknya, ia akan menemukan fajar baru.

"Saya tak menyesal putus darinya. Ia boleh anak pejabat penting, tapi saya lebih terhormat. Orangtua kami mendidik anak-anaknya menjunjung tinggi martabat."

Saya mengangguk-angguk tak putus-putus. Jessica mungkin sekelumit anak negeri ini yang pantas mendapat cum laude untuk hati bening. Ia bibit unggul yang secara fisik merangsang kelelakian tapi sepanjang hidupnya ia duduk di singgasana ratu dengan tatap mata was-was dan waspada.

Jessica membangun benteng kukuh. Membiarkan mata menelanjanginya, namun ia kirim pesan kepada setiap orang bahwa harga diri tak ubahnya berlian di kotak pandora. Tak boleh siapapun menyentuhnya, kecuali jika ia telah menikah nanti.

Saya menyentuh pundaknya untuk membangunkannya dari kantuk pulas. Menanyakan apa tadi sudah makan. Seratus meter di depan ada restoran 24 jam. Saya akan membelok jika ia menyetujui kami berhenti. Tapi ia menggeleng seraya mengucap terima kasih.

Sesampai di Ungaran, ia terjaga. Mengucak mata dengan gerakan ringan, lalu menunjuk belokan ke kiri. Jalan menurun tajam. Kemudian berkelok-kelok naik, lantas berhenti di luar pagar tinggi sebuah rumah sangat megah.

"Saya turun di sini, Mas, terima kasih atas tumpangannya. Kalau ada waktu mampir, ya. " Kali ini ia tersenyum. Semanis es krim. Saya kubur bayangan tentang Dian Sastrowardoyo sebab Jessica lebih cantik! Lalu ia membuka pintu, mengayun langkah menuju pos sekuriti di ujung pagar. Seorang satpam membukakan pintu. Ia melambai, masih dengan senyum tadi, kemudian melenggang ke dalam.

Belakangan saya memperoleh kabar dari kawan, rumah tempat Jessica berhenti adalah milik saudagar kaya pemilik saham terbesar satu televisi swasta hebat di negeri ini. Dan Jessica adalah anak keduanya ...



**
Atas ijinnya, saya diperbolehkan menulis fragmen kecil Kartasura-Ungaran ini, dengan catatan namanya disamarkan.

10 Jun 2009

WARTAWAN YANG TERLUPAKAN


SIAP-SIAPLAH tidak terkenal jika Anda menjadi wartawan. Jurnalis tetap duduk di akar rumput tatkala orang-orang yang pernah diprofil melambung di langit ketujuh!

Pada suatu kesempatan, tahun 2004, di Semarang, saya bertemu Peggy Melati Sukma. Bukan masalah gampang ketemu empat mata dengannya karena ia kini dibentengi panitia acara, event organizer yang mengundangnya, atau orang-orang sok penting lain. Tapi berkat seorang kawan pemilik EO, saya bisa berhadap-hadapan dengan Peggy di lobi sebuah hotel bintang 4.

"Masih ingat saya, Peggy?" Tanya saya, sok akrab, di luar konteks wawancara.

Peggy meneliti wajah saya beberapa kejap. Lalu ia menggelengkan kepala.

"Tahun 1993 saya mewawanacari Anda, memotret beberapa frame, lalu foto Anda muncul di halaman pertama koran saya. Itu terjadi di sebuah kafe. Anda belum setenar sekarang, dan saat itu Anda didaulat menyanyi dalam rangka ultah media kami. Masih ingat?" Saya mencoba menguak memorinya. Ia tersenyum. Saya membayangkan ia berteriak girang lantaran segera ingat momen itu. Tapi nihil. Ia tetap menggelengkan kepala.

Saya tidak kecewa saat turun menuju parkir mobil, meski 'misi' saya membuka ingatannya tak membuahkan hasil. Itu memang sungguh sangat lama. Peggy diundang untuk meramaikan kompetisi "Gadis Sampul" HUT Mingguan Bahari, koran pertama saya. Lagipula, sudah tentu ratusan wartawan pernah menginterviewnya hingga detik ini, sehingga apalah arti saya.

Saya tidak sedih dilupakan Peggy Melati Sukma karena ada momen lain sebagai pelipur lara. Suatu siang, pertengahan 2005, saya harus berurusan dengan sebuah hotel sohor di Jogja untuk urusan sponsor.

Di lobi, saya termangu menunggu public relations hotel bersangkutan menemui saya. Sampai akhirnya perempuan itu tampak melangkah ke arah saya dengan penuh percaya diri. Perempuan yang cantik dan fashionable. Ia menyalami saya dengan darah hangat dan bersahabat, seolah kami telah belasan tahun saling mengenal.

"Apa kabar, Mas Arief?"

Saya terkejut. Rasanya saya tak pernah mengenalkan diri sebelumnya, tapi ia tahu nama saya. "Dari mana Anda tahu nama saya?" Tanya saya, jujur.

"Kita pernah di camp yang sama, Mas, ketika kami menjalani pelatnas taekwondo di Kaliurang. Mas Arief satu-satunya wartawan yang menunggui kami berlatih selama seminggu. Ingat?"

Saya terkesiap. Saya ingat itu! Lalu mencoba menerka-nerka namanya. "Kamu Evina Bazir yang dulu tomboi itu? Yang saya foto di tepian kolam renang dengan mimik muka sulit diatur?" Ujar saya berapi-api, melupakan sebutan "anda" padanya.

Ia pun terkekeh-kekeh. Tawa yang tak berubah seperti tahun 1998 saat setengah hari ia mengejek kumis saya, dan ejekan tentang kumis itu saya sertakan dalam profil dia di Tabloid BOLA, koran saya waktu itu.

Alamak, ia menjelma menjadi perempuan yang super feminin meski tetap dinamis. Ia kini jauh lebih ayu daripada dulu. Namun bukan itu yang membesarkan hati saya, melainkan karena ia tak lupa pada saya meski kini telah menjadi salah satu perempuan berpengaruh di bisnis perhotelan Yogyakarta!

Ada kisah lain mengenai "penemuan orang-orang lama yang kini menjadi 'orang'". Medio 2007 saya disenggol seorang pramugari. Saya kaget lantaran sedang berdoa agar pesawat tidak terjerembab ke sawah atau menubruk rumah, doa yang selalu saya panjatkan tiap pesawat yang saya tumpangi sebentar lagi tinggal landas.

Saya mendongak. Ia tersenyum manis. Saya kerjapkan mata, jangan-jangan ia bidadari yang hendak memeluk saya ketika ternyata saya telah mati karena pesawat yang saya naiki kecelakaan. Ternyata bukan!

"Halo, Mas Arief. Apa kabar?" Ia mengangsurkan tangan.

Sambil meraup telapaknya, saya bertanya-tanya. Tapi kepala saya tak lagi 'core 2 duo' dengan memori 2 giga. Saya lupa siapa dia!

"Saya Ayu, Mas, gadis Weleri (Kendal) yang Jenengan (Anda) wawancarai di sekolah pramugari ... "

Olala! Ayu? "Wah, kok jadi begini besar kamu Yu?" Selonong saya tanpa peduli mata-mata iri penumpang lain.

"Hahahaha ... Mas Arief bisa saja. Sudah setahun saya di maskapai ini, Mas. Hayo, pasti jarang naik pesawat kita, ya? Oke, enjoy ya Mas, saya nerusin kerjaan," ucapnya. Ia pun melenggang. Dan saya hanya mengangguk-angguk saja.

Ya, ya. Ayu adalah salah satu narasumber saya tatkala saya membuat profil sekolah pramugari di Jalan Pekunden, belakang Hotel Graha Santika Semarang, saat saya bekerja di Harian Jawa Pos Radar Semarang, awal 2003. Saya heran ia masih ingat saya.

Lebih mengherankan, saya menjadi tidak kesepian lagi gara-gara bekerja di media massa, sebab seterpuruk-puruknya profesi ini di blantika ketenaran, masih banyak yang mengingat 'jasa-jasa' kami membesarkan mereka. Saya tersenyum, dan merasa tenteram.




***
Terima kasih untuk orang-orang yang tak pernah melupakan saya:
1. Jean Retno Ariyani (penyanyi)
2. Kurniawan Dwi Julianto (pesepakbola)
3. Ahmad Dhani (penyanyi, pencipta lagu)
4. Sukawi Sutarip (Wali Kota Semarang)
5. Soraya Haque (bintang iklan, pemakalah di seminar-seminar kepribadian)
6. Alvin Lie (politikus)
7. Joko Suprianto (mantan pebulutangkis dunia)
8. Pongky Jikustik (penyanyi, pencipta lagu)
9. Duta Sheila O7 (penyanyi)
10. Jaduk Ferianto (budayawan)
11. Kholil Danoe Atmodjo (pemain sepakbola nasional 50-an asal Semarang yang pernah membawa harum persepakbolaan nasional sehingga disegani di kancah dunia)
12. Chrisjon (petinju, juara dunia kelas bulu versi WBA)
13. Tukul Arwana (komedian)

Serta masih banyak lagi yang tak bisa disebutkan satu persatu.

4 Jun 2009

FACEBOOK ITU ...


"Oom Arief punya fesbuk ga?"

SMS itu sangat mengganggu benak saya, kemarin petang. Datangnya dari Opie, keponakan di Bandung yang baru saja mendaftar pendidikan broadcast. Mengapa terganggu? Inilah rinciannya.

Facebook, atau kini digampangkan menjadi "fesbuk" atau "FB", pernah dikampanyekan secara gencar oleh Gati Siahaya, berbulan lewat. Saya menolak lantaran parno oleh wahana serupa yang lebih tua, yang instruksinya memusingkan dan lelet di-download.

Tapi, diam-diam (sambil celingak-celinguk, takut dipergoki orang karena latah) saya mengisi formulir. Form yang simpel dan gampang diakses, sehingga resmilah saya punya fesbuk. Lantas waktu bergulir. Lalu suatu saat saya (iseng pula) mau membuka fesbuk tadi untuk melayani puluhan kawan (dan calon teman karena kenal mereka pun tidak) yang meminta alamat fesbuknya di-add, melalui e-mail saya.

Apa lacur, saya lupa password-nya! Tanggal lahir saya ketik. Nihil. Nomor PIN kartu ATM saya terakan. Ditolak juga. Nama Bapak-Ibu saya tulis ... Eeee dicuekin juga. Wah, apa ya? Langsung saya tutup lagi dan kembali menggumuli blog. Padahal, kalau mau teliti dan telaten, sebenarnya ada instruksi yang sanggup menolong membuka akses jika saya mau. Tapi sudah telanjur kesal.

Sampai kemudian kemarin petang. Opie yang berangan-angan menjadi presenter "Jejak Petualang" Trans7 seperti Riyanni Djangkaru itu membuka pikiran saya. Lalu, pagi-pagi saya membuka situs sosialitas facebook, dan dengan semangat 45 me-reset password.

Olala, saya terkesima dibuatnya. Facebook yang kesohor itu -- sampai-sampai sebuah pondok pesantren mengharamkan santrinya mengakses -- ternyata dunia baru yang melebihi keindahan akuarium koi dan arwana! Menyalip kilau etalase butik berlian!

Saya terkekeh-kekeh. Saya asyik masyuk. Mengomentari dan menyimak komentar orang adalah menyusup ke sebuah relung penuh artefak. Memburu kawan-kawan lama bisa jadi melebihi petualangan Brendan Fraser cs di film Journey to The Center of The Earth.

Saya takut ketagihan dan lupa mencari nafkah ...

3 Jun 2009

APRILIA, APRILIA ...


MALAM ini saya ingin menyeka peluh di lehernya. Aprilia tak tumbuh di taman rumah, tetapi mekar mewangi di lubuk hati, dari hari ke hari.


Ia membuat saya sulit memejamkan mata. Ia mengapung dan memasung. Ia berjingkat seperti penari. Tungkainya yang putih menyangga tubuh ayu itu, seperti belalang di punggung daun.


Saya terlempar ke kursi depan sebuah pentas balet, memandang tak berkejap tatkala ia meliuk dan meloncat seperti Ana Pavlova. Dada saya bergemuruh dipenuhi kerinduan yang menyala-nyala untuk sekadar, misalnya, menjentik hidungnya. Atau menggamitnya menyusuri salju.


Terakhir saya menjumpainya di sebuah vila, dalam gerimis dan kabut jingga. Ia menyanyi dengan geletar suara Trifina Samderubun, melahirkan gelembung-gelembung rahasia antara dia dan saya.


Waktu bergerak melompati kali, menjaga agar kaki tak terjerembab dalam jeram. Tetapi hati terhisap labirin, malaikat mengerumuni saya dalam ketidakmampuan menerjemahkan apa makna wangi bunga aprilia.


Saya pernah mengatakan ini kepadanya, terus terang dan transparan. Saya katakan bahwa saya tak mampu melupakannya walau sedetik saja. Lalu apa yang ia katakan? "Mengapa saya? Saya tak semenarik yang kau kira."


Saya bisu dan tuli karenanya sebab rahasia adalah misteri paling agung, terutama bila melibatkan cinta. Cinta tanpa syarat, biarpun tak mudah terbangun karena terbagi. Ia tahu mustahil bagi saya turun dari khayangan dan meninggalkan bidadari saya di sana. Ia tak mungkin pula meninggalkan pangerannya di singgasana ...


***



**Ana Pavlova: pebalet legendaris Rusia. Namanya dilabelkan oleh Australia dan Selandia Baru untuk sejenis dessert.

**Trifina Samderubun: penyanyi seriosa Jawa Timur yang sohor pada era 80-an.

**Diposting ulang atas permintaan Pitoresmi, setelah naskah ini sempat terapung-apung lama di google.

2 Jun 2009

POLISI, DUKUN, DUIT


SEMUA orang ingin menjadi polisi. Itulah kalimat yang berkelana dalam hati saya tatkala seharian kemarin berpanas-panas di kompleks Akademi Kepolisian (Akpol), Semarang.

Tujuh ribu lebih lulusan SMA/SMK -- baik tamatan setahun silam, atau masih berdebar menunggu kelulusan tahun ini -- tumpah ruah, menyemut, dan jantungnya berdenyut di lapangan bagian dalam Akpol. Mereka yang berdatangan dari segenap penjuru Jawa Tengah ini tengah harap-harap cemas menanti nomor pendaftarannya dipanggil melewati speaker. Jika nomornya disapa, berarti ia lulus tahap pertama: ujian kesehatan.

Maka, ketika hanya dua ribuan orang yang disebutkan, yang lain pulang dengan mata lusuh, wajah lebam, berjalan keluar kompleks dengan lunglai dikuntit para orangtuanya yang juga murung, setelah sejam lebih mereka disengat gencar matahari.

Saya berada di antara ribuan orang ini, mengawasi Citra, anak pertama Indah, adik kandung saya. Menjaga parasnya dengan ketat. Siapa tahu nomornya tak disebut, alias harus pulang lebih awal. Kalau gagal, bisa saja ia pingsan, atau meronta merutuki nasib. Beragam kemungkinan bisa terjadi, meski potongan badan dan wajah Citra sesungguhnyalah sudah sangat polwan: tinggi 167, atletis, cantik, dan cerdas, ditambah ia pernah pula mewakili kabupatennya menjadi Paskibra di Semarang.

Modal tubuh bagus bukan jaminan. Sebagaimana rekrutmen apapun di negeri ini, uang adalah berhala. Beberapa pekan mengawal Citra, kasak-kusuk membuncah. Pernah saat tes kesehatan di RS Bhayangkara untuk menguji kebugaran (dan keperawanan bagi calon polwan), seorang bapak asal Jepara mengungkap bahwa pihaknya telah menyiapkan 100 juta rupiah demi baju polisi.

Pada saat lain, di hari itu juga, seorang bapak membawa dukun. Benar, dukun! Pria renta itu berusia kira-kira 70 tahun. Ia merapal sesuatu di sudut masjid kompleks RS Bhayangkara, membaca doa-doa supaya si anak melenggang ke babak berikutnya, yakni tes psikotes yang digelar hari ini, di Aula Undip Tembalang.

Tak tahu saya, apakah bapak yang mengaku siap menyogok 100 juta dan dukun tadi sukses menghela anak-anaknya menuju tahap berikut. Yang pasti, saya ngeri. Bayangkan, 'lawan-lawan' saya adalah duit berlimpah dan dukun! Tapi, alhamdulillah, 'dukun' Citra cukup manjur. Ia hanya selalu meminta dukungan Tuhan, dan lolos tes kesehatan!

***

MENJADI polisi? Ini cita-cita sebagian besar anak-anak TK, disamping dokter, pilot, presiden, dan sebagainya. Polisi masih pekerjaan impian, terutama bila lulusan SMA tak punya peluang kuliah lantaran tak punya uang.

Polisi dihujat, tetapi masih digemari. Lebih-lebih, konon, tahun ini gaji brigadir (lulusan sekolah calon bintara) bergaji berlipat-lipat dibanding sebelumnya (ada yang bilang 3 jutaan untuk 0 tahun, bahkan sebagian meyakini gaji polisi pada tahun pertama Rp 7 juta).

Polisi menjadi pilihan dan masih tampak sebagai pekerjaan penuh wibawa, di sela-sela menjadi anggota legislatif yang juga ladang untuk memperkaya diri. Nyaris tak ada polisi di negeri -- dengan pangkat perwira menengah hingga atas -- hidup di atap kemiskinan. Mereka kaya, dan entah duitnya dari mana.

Saat menggandeng keponakan yang wajahnya menyala karena menyelinap dalam daftar 200-an calon polwan yang lolos tahap pertama dari jumlah 600-an pendaftar Jawa Tengah, tak banyak yang saya pikirkan, kecuali mewejanginya agar jika menjadi polisi nanti jangan korup dan memelintir rakyat jelata.

Sungguh, saya tak memikirkan banyak hal kecuali itu ...