Search

28 Mei 2009

IBU


TIAP Kamis, selalu paras Ibu melayang-layang di depan mata. Ada rindu untuk mendekap dan menghirup keringatnya.

Tradisi keluarga kami berziarah di makam leluhur tak pernah luntur. Sudah lebih lima kali saya melewatkannya: tak melafalkan doa-doa di atas makam Bunda pada Kamis petang. Dan saya menuai akibat buruk: ia menyusup ke alam mimpi saya, menggapai-nggapaikan tangan pertanda ingin disambangi.

Bapak tak memiliki hati singa seperti Ibu. Itu sebabnya saya mencintai Bapak tapi seraya bertanya-tanya, mengapa belasan tahun menikahi Ibu tetapi ia tak sekokoh istrinya, melainkan malah rapuh dan melepuh.

Saya tak memperoleh surga tatkala Bapak menikahi Emi, perempuan Ambarawa, Jawa Tengah, setelah Ibu meninggal. Bukan lantaran Emi nyinyir, tetapi karena Bapak tergesa menceraikannya sebelum sempat ia menabur kasih sayang kepada kami, saya dan tiga adik saya.

Lalu juga tak mendapat apa-apa ketika Bapak meminang Endang, janda tanpa anak asal Demak (juga Jawa Tengah). Endang berkompromi dengan adagium "ibu tiri tak semenarik ibu kandung". Ia bawel dan setengah hati. Mungkin ia menyayangi Bapak, tapi tidak untuk anak-anak (tiri)-nya.

Sebab itu Ibu tetap nomor satu di mata saya (dan tentu adik-adik saya), kendatipun secara fisik saya (berusaha) menghormati Bu Endang. Indah dan Eni, dua adik perempuan saya, memperlihatkan rasa tidak suka saban bertemu Bu Endang, tapi saya tidak.

Saya sangat menyayangi Ibu, walau dulu tanpa iba memangkas paksa rambut saya yang gondrong sebahu. Saya mencintainya meski mestinya saya marah karena pernah diminta memutuskan Retno, pacar saya semasa kuliah, gara-gara Retno kurang sopan saat makan.

Saya amat mencintainya, dan ingin mewarisi kekuatan macan itu. "Macan" yang dikuntit ratusan orang dengan genang airmata, ketika ambulan yang mengangkut jasadnya dari Rumah Sakit Telogorejo, Semarang, memasuki kampung, tahun 1992 ...

26 Mei 2009

MANIK MATA PERMATA


KAFE Mantra suatu petang. Ia duduk bertopang dagu. Seorang perempuan. Benar-benar perempuan dengan rambut hitam tebal legam, hak tinggi, dan mata dimaskara.

Aku sangat ingin mendekatinya. Dua menit melihatnya dan aku langsung jatuh cinta. Tetapi harus kumulai dengan apa? Hai, saya Bandung. Kamu siapa? Ah, klise dan kampungan. Atau, saya kebetulan tengah menunggu seseorang. Boleh duduk di kursi kamu? Huh, formil dan terlalu "om-om"!

Kubiarkan dada diliputi gemuruh air bah seraya berdoa agar Mas Handry terlambat datang, entah macet atau mengantar Ezza berlatih drum, agar bisa berlama-lama meyimaknya.

Tubuhnya semampai. Tadi kentara sekali kesemampaian itu tatkala ia meminta tisu. Kakinya seruncing Nurul Arifin. Cara berjalannya mapan, mengingatkanku pada Ayu Utami ketika ia mendaki mimbar pada bedah bukunya di Gramedia.

Sebentar-sebentar ia melirik gerimis. Seperti menghitung rintik. Atau menggambar kenangan di punggung daun. Di balik parasnya yang ayu, ia sedang dihela resah. Risau nan tipis lantaran ia punya kerjap mata bintang. Apa yang sedang ia pikirkan?

Aku menerka-nerka. Mungkin barusan ia putus pacaran. Atau gelisah oleh kedua orangtuanya yang cekcok. Atau barangkali ada kerumitan di kantornya sehingga butuh waktu untuk menenteramkan hati.

Ya, ia pekerja kantoran! Blazer merah itu penandanya. Kalau tak salah merah marun adalah seragam Bank Gumilang. Costumer service? Bisa jadi. Setidaknya teller. Ah, apapun, bidang apa ia geluti, aku tak peduli. Yang menyita perhatian sekarang ini ialah ia mulai menitikkan airmata!

Sudut pandang yang tepat untuk melihat guliran bening dari manik matanya sebab mejaku memiliki garis lurus ke meja nomor 9 tempat ia terpatri. Aih, mengapa tiba-tiba ia terisak? Mengapa pijar mata bintang itu sirna?

Bergegas ia menyambar tisu, mengelap lembut, mengerjap-ngerjapkan mata supaya rintik airmata tak terlihat oleh siapa. Namun terlambat. Gundah itu terpergok olehku, dan celakanya ia juga memergokiku tengah mengamatinya. Tak ada waktu membanting tatapan ke sudut lain. Aku diam dan menunggu, dengan gemuruh dada sesanter genset.

Ia bangkit. Perlahan mendekati mejaku, dan tahu-tahu telah berdiri di seberang. Aku sulit berkata-kata, sekadar misalnya mempersilakan duduk. Bagaimana aku mempersilakannya duduk jika ternyata ia berdiri di sana untuk keperluan lain, umpama memanggil waiters? Tetapi bukan, ia memang berdiri untuk menghampiriku, dan sepertinya sedang menungguku untuk mempersilakannya duduk.

Ia duduk tanpa kuminta. Semerbak white musk menguar. Aku tak sempat menghirup lama-lama karena wajah itu lebih dulu terhampar. Lebih cantik dari yang kusangka. Ada tahi lalat di bawah masing-masing mata.

"Namaku bukan Permata, tapi Nindya. Kau tengah membayangkan Permata ketika tadi mengamatiku lama-lama karena napas dan mataku mirip dengannya. Terimalah kenyataan bahwa Permata telah jauh meninggalkanmu, dan hadapi semua dengan lapang dada meski rindu membelenggu. Camkan, aku bukan Permata, tapi Nindya ... "

Aku terkesiap. Di mejaku tak ada siapa-siapa. Di luar, gerimis makin menyilapkan mata ...

25 Mei 2009

"TOPENG MONYET" KUBURAN


KUBURAN akhirnya cuma parodi biasa. Padahal begitu mendengar, saya membayangkan grup Bandung ini seperti Marlyn Manson atau Cradle of The Filth yang mencoreng muka seperti mayat, atau semisterius Gorillaz.

Enam pria itu melenggang cengengesan menuju kursi setelah disebut Tukul dalam "Bukan Empat Mata", beberapa malam silam. Keenamnya bertingkah konyol dengan paras jenazah. Esoknya, masih di keluarga Trans, mereka tampil di "Ceriwis Yo Wis", masih dengan polah kanak-kanak!

Selang beberapa hari, band bikinan 2001 ini nongol siang bolong di panggung terbuka SCTV, dengan lirik-lirik: Lupa, lupa lupa lupa, lupa lagi syairnya. Lupa, lupa lupa lupa, lupa lagi syairnya. Ingat, ingat ingat ingat, cuma ingat kuncinya. Ingat, aku ingat ingat, cuma ingat kuncinya dari lagu andalan Lupa-lupa Ingat.

Kuburan sebenarnya memiliki celah sangat mewah. Di sela band-band mehek dengan rambut seragam: "menutupi sebelah mata" yang lahir normal maupun prematur, ia menghapus dahaga, dan hanya bersaing dengan keunikan Changcuters yang lebih dulu merampas perhatian.

Grup ini berpotensi menawarkan sesuatu yang unik, memancing penasaran, dan wibawa, jika menyuguhkan lagu-lagu kental plus lirik kelam tanpa melupakan aroma syahdu dan easy listening (mengingat kuping penikmat musik negeri ini rata-rata mencandui sonata indah dan gampang diingat). Mereka mesti jaim dengan menyeleksi undangan-undangan talkshow dan pentas siang hari, mengingat "kuburan" identik lolong serigala, jangkrik tercekik, dan desis malam yang menyeramkan.

Celakanya, Kuburan gagal mengelola aset kemisteriusan yang bisa dijual tanpa obral lantaran malah muncul dengan performa 'topeng monyet'. Susah payah mereka mengecat wajah sepucat mentega, memblok mata sehitam arang, memakai sepatu boot tinggi plus stocking hitamnya, dan berbusana ala victorian kalau hanya untuk membanyol, mengekor P-Project, sesama Bandung yang sudah sukses.

Dandanan gothic anak-anak muda itu tak menghasilkan efek memerindingkan bulu kuduk, tetapi hanya seperti badut biasa yang biasa disewa di acara ulangtahun. Sayang seribu sayang!

Pertanyaannya, seberapa lama mereka bakal bertahan?

19 Mei 2009

RIKU, MORAL, DISIPLIN, CERMIN


SAYA 'sangat marah' pada Mbak Imelda Courtier. Bagaimana tidak, pagi-pagi ia menggugah airmata saya untuk meleleh liar ke bawah.

Ia bertegur sapa biasa dengan saya awalnya. Lalu, jemari saya tergoda untuk membuka website ini. Kata demi kata saya lumat, saya kunyah, dan ... saya sesenggukan.

Adalah Riku. Ia anak pertama Mbak Imelda hasil pernikahannya dengan pria Jepang bernama Gen, berusia 6 tahun. Sepulang dari bermain di rumah teman, Riku membawa selembar kertas laporan penemuan uang, dari polisi. Berapa uang temuan Riku sehingga ia perlu melaporkannya ke polisi? Sepuluh yen, alias 1000 rupiah!

Dua hal membuat saya takjub (dan ujungnya saya tak sanggup membendung airmata itu), pertama kejujuran Riku. Ia tak bergegas mengantongi 10 yen ini atas nama 'kebanggaan' lantaran menemukan duit tercecer, lalu membeli permen; melainkan segera ke kantor polisi untuk mengadu.

Kedua, polisi Jepang tak menganggap Riku main-main, tetapi segera mencatatnya dalam berkas penemuan, dengan kertas formal, teliti, dan resmi! Bahkan malamnya kantor polisi bela-belain menelepon ke rumah Mbak Imelda untuk konfirmasi. Olala! Di kantor polisi negeri ini, para aparat sudah pasti bakal berkata: "Sudahlah, nak, kantongi saja uang itu untuk jajan di sekolah."

Riku boleh jadi adalah 'lem' perekat cermin retak negara Indonesia di sektor moral. Polisi Jepang adalah cermin bening kinerja aparat negara-negara dimanapun di dunia yang masih slebor dan korup. Mereka profesional karena budaya disiplin yang sudah mengerak.

Dari beberapa dialog dengan Mbak Imelda saya memetik sejumlah pelajaran tentang bagaimana mengajari anak berperilaku, bagaimana mendidik anak menjadi berkarakter. "Apa yang dilakukan oleh orangtua adalah apa yang akan ditiru oleh anak-anaknya. Tugas orangtua adalah memberitahu, menerangkan, dan mengatakan apa yang baik dan apa yang buruk, dengan sikap dan ucapan yang bisa diteladani," ucapnya.

Dalam konteks di atas, "orangtua" bisa disematkan di pundak para pemimpin negeri ini. Tauladan adalah kaca: jika para penyelenggara negara mencuri, maka bawahannya hingga akar juga mencoleng. Polisi Indonesia tak malu mencari-cari kesalahan pengendara di jalan raya karena pimpinannya juga menerima amplop. Pelayan masyarakat mau disuap karena atasannya juga maling.

Begitu seterusnya, hingga sampai nenek moyang kita suatu saat nanti mendadak hidup lagi, luka busuk ini tak bisa diobati!

Menggiring anak-anak biar berakhlak mulia juga tak mudah. Seperti kata Mbak Imelda, sekali kita salah mengucap, maka anak-anak juga meniti jalan yang salah, meski bila orangtua mau telaten untuk memperbaiki maka bukan tak mungkin kesalahan jalan anaknya bisa diperbaiki.

Padahal, porsi orangtua menjaga anaknya cuma sekian persen. Sekian persennya lagi -- dan celakanya porsinya lebih besar -- anak terbentuk dari pergaulan. Dari pengalaman saya, orangtua dan sekolah saling lempar tanggungjawab bila satu kejadian buruk menimpa anak!

Jujur saja, saya belum menjadi ayah yang baik bagi anak. Tentu saya perlu banyak belajar dan membaca agar menjadi idola bagi mereka.

16 Mei 2009

ISTANA SERIBU JENDELA


CINTA adalah istana dengan seribu jendela. Ia berjalan perlahan-lahan seperti rusa di padang Savana. Lalu menukik lembut ke pucuk pinus dan mengepak sayap di sana.

Shugy meniti pelaminan seperti pangeran. Matahari gencar memancar, memercikkan sebutir peluh kecil di dahi. Tetapi ia takzim dengan senyum yang tak pernah tanggal, menggamit hati Ethika Kumalaayu Arumsariningtyas yang duduk di sisinya dengan pendar mata syair pujangga.

Pelaminan penuh pijar dan bunga di Jalan Kenangasari 15, Ungaran, Kabupaten Semarang, Sabtu 9 Mei lalu itu menghipnotis. Aura dan peri berkejaran, membentuk lingkaran-lingkaran Saturnus.

Di kursi tamu saya dikurung sunyi. Memandang pengantin adalah sendirian meniti debur. Tiga hari sebelumnya saya masih bersilangcanda dengan Shugy. Ia karib. Beberapa kali kami terlibat dalam penyelesaian beragam masalah kecil. Tahu-tahu, ia berbusana maharaja di depan saya, dalam acara penting dan sakral.

Pernikahan bukan akhir, tetapi permulaan. Ada banyak 'polisi tidur', banyak masalah pelik dan peka dalam perjalanan. Tetapi Shugy menatap tantangan ini dengan garang, dengan nyali seorang Musketeers. Maklum, ia masih kuliah, meski juga telah bekerja.

Namun bukan itu masalahnya. Ia dan Ethika Kumalaayu dihadapkan pada perbedaan keyakinan. Indonesia masih memandang sisi ini sebagai musabab lahirnya percik dalam pernikahan.

Tetapi Shugy saya yakini punya pisau tajam untuk membelah sekat. Ia dan istrinya bakal terus lekat bergandengan tangan, hingga ajal tiba. Dan, jujur saja, saya mengagumi kebulatan hati keduanya membangun rumah cinta "dalam perbedaan".

Selamat menyibak samudera baru, kawan!

10 Mei 2009

FRAGMEN TENTANG STRAWBERRY


Bukankah kau Diana Ross tatkala menyanyikan When You Tell Me That You Love Me? Bukankah kau peri berhati strawberry?

***

AKAN
kukisahkan kepadamu tentang seorang perempuan muda dengan pijar mata kerlip bintang. Ia hanyalah pekerja biasa, mengais rejeki dari sebuah kantor kecil, dan lugu.

Tangannya mengibas hujan yang melolong sepanjang hari. Di sudut gang itu ia melemparkan senyum. Senyum yang ranum. Mengingatkanku pada Winona Ryder dalam Autumn in New York.

"Kemana kita?" Tanyanya.

"Ke sebuah tempat yang pasti kamu suka."

"Jangan ke sebuah kolam yang melulu berisi ikan koi, ya, aku bosan warna merah belang-belang," kerlingnya.

Tak seberapa lama, kami telah duduk di sebuah kafe. Mata kami bersirobok. Mata-mata yang saling berbicara. Tahukah kau, dua tahi lalat di bawah kedua matanya seperti api unggun di depan tenda tatkala kita sedang meniti malam bersama dua cangkir kopi untuk menepis gigil. Aku terkesiap menyadari keindahan tak cuma hadir dari pementasan balet Rusia, atau dari mawar jingga di bawah jendela.

Kami tak banyak membicarakan berbagai hal, karena jemari kami telah menciptakan riuh. Ia menyeruput lemon hangat lewat tangan yang mengayun ringan seperti penari bali. Bibir gelas menyelinap ke bibirnya dengan takzim, lalu percik air mengalir lembut melewati tenggorokannya dengan khidmat, menciptakan ruas-ruas menawan di lehernya yang putih. Tanganku bergetar ...

"Warna apa yang kau suka?" Tanyaku.

"Ungu."

"Mengapa ungu?"

"Karena ada sifat tegas di balik sebuah kelembutan. Kau sendiri?"

"Biru."

"Mengapa biru?"

"Karena laut dan langit saling bersitatap dengan rona yang sama, seolah saudara kembar saling menjaga satu sama lain."

Ia tersenyum, senyum yang kesekian belas, mengayunkan jantungku seperti ketika kita meluncur dalam jetcoaster. Ah, mengapa hatiku menjadi pipih begini?

"Kau bisa menyanyi?" Tanyanya tiba-tiba.

"Tak banyak yang aku bisa."

"Ayolah, menyanyi apa saja. Pasti aku suka mendengarnya."

Aku tak bisa mengelak. Membiarkannya kecewa berarti mengijinkanku melepas sesuatu yang berharga. Lalu aku menggumamkan Immortality, lagunya Celine Dion. Ia bertopang dagu dalam senyum menggelembung. Mripatnya berkejap-kejap. Pipinya berbinar-binar.

Immortality
There is a vision and a fire in me

I keep the memory of you and me, inside
And we don't say goodbye

We don't say goodbye

With all my love for you

And what else we may do

We don't say, goodbye ...


Lalu sesuatu yang tak kuduga terjadi. Airmatanya meleleh. Sontak aku berhenti menyanyi. Kuteliti wajahnya. "Mengapa menangis?"

Ia menghela napas, menyeka bulir airmata, dan mengucapkan sesuatu yang tak kusangka-sangka.

"Aku sedang menunggu Raka, pacarku. Sore ini ia berjanji datang ke sini, ke kafe ini. Immortality suka kami nyanyikan di teras rumah. Ia yang memetik gitar ... "

6 Mei 2009

DALAM KABUT BOGOR


MALAM ini tiba-tiba saya ingin menulis puisi. Udara Bogor yang nglangut dengan embun yang meleleh dan kabut yang menggantung, menguarkan rintih perih nan lirih.

Tetapi jari-jari seperti lori yang direm secara tiba-tiba. Menguarkan cericit, udara menjerit. Saya terlempar dalam fatamorgana, dalam kepingan masa silam, tenggelam.

Di Bogor, pada gerimis yang sejak maghrib menukik di genting dan segala atap rumah, saya ingat Mas Goenoeng, ingat Mbak Rini, ingat tumpukan kertas print out dan dua keping CD yang teronggok. Kertas-kertas berisi puisi. Kertas-kertas dalam bingkai masa depan yang bakal kami retas.

Bumi adalah lingkaran benang yang menjulur kemana-mana. Minggu malam saya masih di Semarang. Senin roda-roda menyentak saya menembus pantura, melumat Tol Cikampek petang harinya, dan menjelang tengah malam tiba-tiba saya sudah rebah di kasur busa sebuah rumah di Bojong, Jawa Barat.

Betapa muskilnya. Betapa terkadang saya rapuh untuk sekadar menjawab pertanyaan-pertanyaan. Hidup penuh misteri. Hidup tungganglanggang oleh pelik dan hati yang merana.

Sungguh, saya rindu puisi dan segenap keindahan yang terajut. Rindu berkubang dalam musik senyap. Rindu membaca mantera-mantera kehidupan yang beberapa hari ini saya tinggalkan demi misi tertentu yang harus saya jalani di Jakarta, Bogor, dan sekitarnya.

Prosa, mari bersenggama!

2 Mei 2009

SERIBU NGILU LAYANG-LAYANG


From:
To: sesilia_sesilia@yahoo.com

Melindap, terhuyung, tertatih-tatih. Aku sudah tak mampu lagi mengeja hatimu, kasihku. Datanglah, temui aku di perempatan, dan bawalah bunga kamboja.

Dengan cinta: Ilalang


SAYA memicingkan mata, menahan haru yang menikam hati. Perempuan itu setengah menangis, membiarkan layar laptopnya menganga dengan e-mail dari Hergiawan yang belum padam. Saya tak mampu mematikannya, meski ingin.

Bunga melati masih menguarkan dupa. Pelaminan belum padam. Sesilia mengayuh sepi di percik bahagia kerabatnya. Pesta yang berkecubung, tapi ia tak mengerti perihal satu hal mengapa ia menyerah ketika Mama-Papa merajuknya agar ia mau diperistri Mahardika.

"Dika anak orang kaya, Sesi. Ia bisa membelikan kapal kalau kau menghendaki," bisik Mama di tiris gerimis, suatu petang.

Sesilia bungkam. Segera ia digamit paras Hergi yang tiba-tiba menukik ke beranda. Pria dengan kumis tipis. Sesilia begitu damai dalam rengkuhannya. Begitu temaram saat mata mereka bersitatap.

"Aku tak ingin kau menyelinap keluar dari peraduan yang kubangun bertahun-tahun di lubuk hati. Kau batu mulia dari khayangan yang bergegas hinggap saat asmara memuncak di mata." Hergi membawa Sesilia ke pelukannya.

"Kau tak hanya rupawan, sayang, tetapi memberi gempita hati," bisik Sesilia, tepat di daun telinga lelakinya.

Dua tahun kuncup mereka sirami. Mendadak Minggu pagi datang beberapa orang. Dari jauh, lamat-lamat, Sesilia mendengar mereka adalah utusan Sastropawiro, miliarder ujung kota yang memiliki belasan SPBU, sejumlah mal dan banyak toko berlian.

Kunjungan para setan! Sesilia merutuk, meninju angin, dan lara. Siapa tak mengenal Mahardika? Ia pria tengik yang pongah. Sepagian ia hilir mudik dengan Mercedez ayahnya, sore keluar masuk kafe, dan malamnya menyabu. Di kampus -- dulu tatkala Sesilia sekelas dengannya -- Mahardika pernah menghardiknya dengan kalimat keji. Sakit rasanya hati Sesilia.

Lalu segalanya mengalir deras. Tahu-tahu hadirlah hari itu. Ia merasa dibekuk baju pengantin Anne Avantie yang sesungguhnya indah. Batinnya remuk, senyumnya semu. Sesilia sesenggukan ketika sebentar lagi malam pertama menjelang.

Dua bulan berselang. Sesilia menyebut nama Hergi berkali-kali, dua hari sebelum malaikat menyambangi pria itu dengan kereta kencana menuju surga, lima menit sesudah ia menulis e-mail terakhir untuk Sesilia ...


**
Menerjemahkan retak hati ADP, kawan lama, yang secara kebetulan bertemu saya di bengkel service Toyota, Selasa, 28 April 2009.

1 Mei 2009

CERPEN DAN PUISI DALAM SATU HUMA


KAMI duduk bertiga di dua meja yang diseret menjadi satu. Maghrib bertalu. Azan berkumandang dari masjid di bawah sana. Kafe di ketinggian yang senyap, Rabu 29 April lalu, karena kami tamu pertama, disusul sepasang pria-wanita yang sempat saya pikir mereka bukan suami istri.

Mbak Rini Ganefa tampak anggun, tanpa gurat lelah, meski beberapa jam sebelumnya guru Bahasa dan Sastra Indonesia ini mengajar sekian puluh anak SMP 20. Mas Goenoeng juga bugar. Tak melintas penat kendatipun sejam sebelumnya ia masih berkutat dengan sistem komputer di kantor perbankan tempat ia bekerja.

Ada semangat yang meletup. Diawali canda ringan, kami segera larut dalam perbincangan sersan. Mbak Rini tampak meledak-ledak, Mas Goenoeng super fokus, dan saya mengimbanginya. Saking semangat, Mbak Rini lupa mengeluhkan gulungan asap yang mengepul dari rokok saya dan Mas Goenoeng, seperti pertemuan sebelumnya.

Sedang membicarakan rencana unjuk rasa pemilukah kami? Hoho, tentu bukan! Ini dia: kami bakal membuat buku.

'Membuat buku' mungkin tampak ringan. Semua bisa membuat, dalam bentuk seremeh apapun, umpama brosur agak tebal. Tetapi buku yang kami rembug (dan nanti berupa kompilasi) adalah buku yang serius, yang diterbitkan oleh penerbit beneran, dan dijual. Tak peduli dijual di toko atau kakilima.

Kompilasi? Benar. Saya menyumbang beberapa cerita pendek, sementara Mas Goenoeng dan Mbak Rini menyodorkan puluhan puisinya. Itu sebabnya kelak ada label "Tiga Warna" di buku ini, entah di sampul depan, atau di belakang.

Kami juga membidani sebuah kelompok, namanya Komunitas Huma. Nama yang meluncur begitu saja dari mulut saya tatkala menggumamkan lagu Huma di Atas Bukit milik God Bless, dan langsung disepakati menjadi nama komunitas.

Huma, menurut Mas Goenoeng, adalah sebuah gubuk mungil. Tak ada kemewahan, tak ada prosedur, tak memiliki batasan siapa yang boleh keluar dan masuk. Itu sebabnya, kelak, Komunitas Huma boleh dimasuki siapapun yang respek pada kesenian (penulis, pelukis, pemahat, pemain teater, bahkan pemain wayang orang), tetapi tentu ada sedikit norma-norma yang mesti dipahami, misalnya haram hukumnya mendaftar hanya untuk gagah-gagahan.

Namun, Mbak Rini memberi sentuhan perempuan yang seketika kami mengerti, bahwa Komunitas Huma hanya akan menampung mereka, atau kita, yang benar-benar belum beredar secara luas sebagai sastrawan besar, atau penulis keren yang telah menerbitkan banyak buku, kecuali nama-nama beken yang kelak kami undang untuk menjadi pembicara saat kami nanti menggelar workshop dan sejenisnya.

Rencananya Komunitas Huma bakal menjadi salah satu sayap DKJT, alias Dewan Kesenian Jawa Tengah.

Kembali ke soal kompilasi tadi. Buku itu dibelah menjadi tiga bab, dua bab menampung puisi (Mas Goenoeng dan Mbak Rini), dan bab lain berisi cerpen. Perihal bagaimana formatnya (cerpen-puisi-puisi, atau puisi-serpen-puisi), kami pasrahkan ke penerbit.

Ketiga bab tak ada kaitan, warnanya berbeda. Puisi Mas Goeneong dan puisi Mbak Rini torehannya berlainan, goresan dan gayanya tak sama. Tema juga sama sekali tak ada benang merahnya. Kami bertiga bebas menentukan tema, sehingga saya dan mereka tak terbelenggu pada topik seragam yang dipaksakan.

Pendek kata, pembeli buku ini bisa mengunyah tiga sajian dari tiga penulis di satu buku!

Beberapa orang beken -- dari kalangan selebriti, sastrawan, budayawan, penulis top, kalangan akademis -- bakal memberikan komentar-komentarnya di halaman belakang. Tentu bukan melulu komentar gurih, melainkan juga ada kritik dan saran, pedas atau setengah pedas.

Nah, setelah kelak terbit, menurut rencana kami menggelar launching di Toko Buku Gramedia Semarang. Bedah buku yang diplot asyik sebab bakal disuguhi tontonan musik dari band lokal (lagu wajibnya Huma di Atas Bukit), teaterikal puisi, serta kuis-kuis berhadiah.

Spirit yang tak kunjung padam. Spiritlah yang mengalirkan darah ke aorta kami untuk tapak kaki menggapai matahari.