Search

29 Apr 2009

KUPU-KUPU, GERIMIS, DAN MALAM JAHANAM


PIA menatap cemara lewat kaca. Kupu-kupu mengepak perlahan, hinggap beberapa depa dari kusen jendela. Saat itulah gerimis menitik.

Hatinya sedang meradang. Tadi pagi ia memergoki Papa memasuki toko berlian di Citraland Semarang, bersama perempuan. Perempuan sebaya Tante Windra, menggelayut dekat dan lekat.

Ia ingin mengadu pada Mama. Tapi lidahnya kelu. Nanti akan terjadi cekcok lagi seperti dulu ketika ada nama Martina, perempuan yang membuat Papa tergila-gila dan mendorong Mama ingin bunuh diri. Pia memilih diam saja seraya menahan ngilu di dada.

***

DIOLESKANNYA lipgloss. Lamat-lamat. Kemudian mematut, menyisir, mengepaskan dress court ke lempengan tubuhnya. Sejam ia di depan kaca. Tetapi sembilu menguntit kemanapun napasnya terhembus. Rasa percaya diri itu musnah sudah.

Ia pencet keypad Bluberry tatkala klakson menyalak di depan pagar. Daniel!

Di kabin BMW seri M Class, Pia murung. Daniel menjumput sulur rambut kekasihnya, melempar pertanyaan "kenapa". Pia hanya menggelengkan kepala. Isak itu tak terbendung akhirnya.

Pia mengurung diri di sudut taman, meninggalkan dentum house music pesta ultah Rosemary, karibnya, di ruang sebelah. Daniel sibuk membujuk. Melingkarkan lengan di leher Pia, mengajak sang pacar memandang rembulan, menelisik angin, dan mengapung di awan.

Malam begitu jahanam. Pia roboh dalam aroma pesta gila, berenang dalam kelam cairan yang ia tenggak secara bertubi-tubi serta sejumlah suntikan di lengan. Ia lupa segalanya, mengapung dalam sentakan-sentakan purba, menggelepar dalam raung serigala yang menguarkan jerit perempuan dalam pelukan papa. Ia tertawa. Makin membahana tatkala air api menggelar permadani.

Daniel merangkul. Memapahnya menuju surga dengan api yang menjilat-jilat. Mengajaknya sekarat ...

27 Apr 2009

NYALA LILIN UNTUK TEGAR

IA mengetuk kaca. Tiga mobil tak menggubrisnya. Lalu tibalah ia di mobil saya. Tangannya terayun dengan lunglai, mencerminkan betapa frustrasinya ia. Saya membuka jendela sebelum jemarinya menyentuh kaca.

"Mau kemana, dik?" Tanya saya beradu cepat dengan lampu yang beringsut menuju hijau.

"Bangkong, Pak. Saya boleh menumpang?" Ujarnya nelangsa, bersiap menepi jika saya menggelengkan kepala atau menyuruhnya minggir karena nyala merah trafficlight berangsur hilang.

Saya mengangguk, dan menyuruhnya bergegas. Ada pijar mata yang melintas kala ia melempar tubuhnya ke jok. Bocah ini seperti memenangi lotere setelah -- mungkin -- sekian orang di lampu merah Kaliwiru menganggapnya udik dan tak perlu ditolong.

Saat kami telah melesat, saya melirik celana panjang warna biru yang ia kenakan. Lusuh dan bopeng. Begitu pula baju putihnya yang berbaur dengan debu dan lumpur. Pucat, sepasi wajahnya.

"Dari mana tadi?" Tanya saya setelah ia menyebut namanya, Tegar Wicaksono.

"Dari rumah Eyang."

"Untuk apa?"

"Minta uang. Saya disuruh pak guru meminta uang pada Eyang karena Bapak tak sanggup membayar tunggakan SPP selama tiga bulan. Tapi tadi tak bertemu Eyang," ujarnya dengan Bahasa Indonesia bercampur Jawa, dalam kelu yang tak lagi tersembunyi.

Ayahnya, begitu Tegar bercerita, adalah kernet angkot. "Namanya Joko Anjaryani," ujarnya. Karena penghasilan Pak Joko dari gelantungan di omprengan tak menentu, jadilah iuran sekolah Tegar tak terurus. Lebih-lebih Pak Joko memiliki empat anak lain, seorang kakak perempuan yang kelas 3 SMP, dan tiga adik-adik Tegar yang masih balita.

SPP perbulan di SMP 9 Semarang, tempat Tegar bersekolah, Rp 25 ribu. Jika tiga bulan menunggak, total Rp 75 ribu. Itu masih ditambah angsuran BP3 sebanyak Rp 40 ribu yang juga belum terpenuhi. Seluruh tanggungan Tegar yang menggantung menjadi Rp 115 ribu.

Menunggak Rp 115 ribu mengakibatkan Tegar tak diperbolehkan mengikuti pelajaran, termasuk ulangan. Bayangkan jika seminggu ia tak diperkenankan menginjak lantai kelas, berapa jauh ketertinggalannya.

"Saya malu sama teman-teman. Saya takut nggak naik kelas. Besok saya akan menemui Eyang lagi, minta sedikit uang agar saya bisa masuk sekolah karena tadi pak guru sudah memberi keringanan," katanya. "Eyang" yang ia maksud ialah neneknya. Sang nenek berjualan nasi bungkus di pompa bensin Pudakpayung, Ungaran.

"Kalau besok tak bertemu Eyang, gimana dong?" Saya bertanya. Pertanyaan yang teramat bodoh karena begitu Tegar tak bertemu neneknya, praktis ia belum boleh mengikuti pelajaran. Ia hanya menggelengkan kepala, pertanda tak sanggup harus menjawab bagaimana. Hati saya teriris. Saya menatap kosong jejalanan. Tak mampu berkata apa-apa, karena ucapan saya, semanis apapun, hanya akan menoreh kesedihan Tegar makin dalam.

Tegar saya turunkan di lampu merah Bangkong, seraya saya sodori 10 ribu rupiah untuk naik angkot, agar ia tak berjalan sepanjang 1 kilometer menuju rumah gurunya untuk melaporkan bahwa hari itu ia tak berhasil menemui neneknya, dan sekian kilometer lagi berjalan menuju rumahnya di belakang Swalayan ADA Jalan Fatmawati.

Berulang-ulang ia mengucapkan terima kasih, tanpa ia sadari bahwa saya berjanji dalam hati besok akan datang ke rumahnya, memberinya sekadar uluran tangan supaya ia bisa kembali diterima sekolahnya.

Di perjalanan menuju Demak -- ke rumah Indah, adik kandung saya, untuk suatu keperluan -- diam-diam saya sibuk menyeka airmata ...

23 Apr 2009

TENTANG MIMPI


SAYA merandek di kusen pintu. Mundur selangkah untuk mengeja kembali tulisan yang tertera di atas pintu ruang tengah kantor sahabat saya di Yogya: "Jangan berhenti bermimpi".

Saya pernah bercita-cita jadi Spider-Man. Dalam benak saya, asyik juga bergelantungan di gedung tinggi dan menara, membidik bandit dan mengurung mereka dalam sawang.

Saya pernah pula bermimpi menjadi vokalis grup Guns N Roses. Atau striker Manchester United. Hm, betapa syahdunya tatkala perempuan-perempuan mengerubuti saya meminta tandatangan dan menyorongkan bunga.

Dulu saya juga ingin menjadi Arswendo Atmowiloto. Menulis di dua layar komputer untuk merampungkan Senopati Pamungkas dan Keluarga Cemara. Saya dielu-elukan ketika launching novel tertentu yang membuat gaduh toko buku, dan bicara lucu-lucu di talkshow televisi.

Pernah pula saya terobsesi menjadi detektif atau mata-mata. Dalam sebuah keramaian konser saya mencabut pistol, bicara bla-bla-bla dengan sesama mata-mata seraya mengoyak kerumunan orang, lalu bergegas menodongkan moncong senjata ke pelipis teroris, dan kemudian menyeret buronan ke tahanan.

Dulu saya juga pernah ingin menjadi sopir bus malam. Menyetir kendaraan besar membelah kabut dan hujan, mengangkut berpuluh orang menuju kota nun jauh. Di jalan saya bebas membunyikan klakson, mengebut dan menyalip, dan menuai puas ketika pemberhentian terakhir tiba.

Saya lupa mimpi-mimpi saya yang lain. Tapi satu hal saya ingat, saya tak pernah berangan-angan menjadi kepala rumah tangga yang menderita ...

22 Apr 2009

PEMBODOHAN ALA SINETRON


PEKAN lalu saya ngobrol dengan Adjie Pangestu di Semarang. Pria penghobi Mercy ini menuturkan bahwa sinetron telah benar-benar parah karena para pelakonnya tak mendalami materi.

"Mereka (para pemain) datang ke lokasi syuting, lalu menghapal naskah, kemudian bermain. Tak ada watak, minim karakter, dan kejar tayang. Itu sebabnya akting mereka pas-pasan, tak ada penjiwaan. Sementara televisi mengejar rating belaka," terangnya, dengan mimik muka prihatin.

Sinetron striping melintasi layar kaca nyaris 24 jam setiap hari. Sejumlah stasiun bahkan mengambil slot-slot bertetangga: dari judul satu ke judul lain, dan judul berikutnya, di jam-jam berurutan!

Paparan Adjie Pangestu yang mantan suami Annisa Trihapsari tadi tampaknya kontra dengan selera masyarakat Indonesia, setidaknya sepuluh tahun terakhir, terhadap sinema elektronika, alias sinetron. Bayangkan, Cinta Fitri yang nyata-nyata tak keruan juntrungan cerita, tak mencitrakan budaya negeri sendiri, dan dibesut asal kejar tayang, memenangi Panasonic Award 2009, 27 Maret lalu.

Cinta Fitri -- kita singkat saja dengan CF -- mengingatkan kita pada sinetron Tersanjung yang amburadul, melebar dan memanjang hingga 6 season. Seperti galibnya sinetron, Tersanjung adalah film televisi yang menjual mimpi komplet dengan pemain-pemainnya yang cantik dan tampan, rumah mewah, berdasi, dan tak manusiawi.

CF -- sebagaimana sinetron sejenis -- dibesut dengan perangkat digital, meninggalkan pita seluloid yang biayanya berlipat-lipat. Namun, digital yang seharusnya bisa dipermak untuk menghasilkan gambar-gambar ciamik, alami, dan merangsang, gagal dioptimalkan oleh juru kamera maupun sutradara. Walhasil, di sepanjang episode dalam 3 season, gambar-gambar CF adalah terang benderang. Semua seragam, mulai dari dapur, bangsal rumah sakit, hingga taman bunga.

Selera properti yang rendah itu bisa saja karena daya apresiasi masyarakat kita telanjur bodoh (ataukah dibodohi?), sehingga mereka (barangkali juga saya) cukup senang disuguhi atmosfer glamour di kamar tidur hingga ruang direktur.

Coba bayangkan, mana ada orang hendak pergi tidur bibirnya berlipstik tebal, berambut mata palsu, dan rapi jali seperti mau pergi kenduri? Adegan kamar tidur terang benderang tanpa efek cahaya dan pemain-pemainnya rapi ini, misalnya, tampak pada scene suami-istri Moza-Aldo (diperankan Adly Fairuz dan Donita) di episode ke sekian CF season 3.

CF juga mewakili sinetron-sinetron kita yang miskin variasi angle. Hampir semua adegan di-close up. Barangkali ingin mematuhi patron film televisi yang 'haram' melakukan long shot bahkan medium shot, namun mereka keblinger dan sangat bersemangat mengambil gambar sebatas dada. Hasilnya memang 'hebat': akting mentah dan hapalan teks menjadi tampak kentara!

Tetapi, herannya, pemirsa televisi kita memilih CF sebagai tontonan paling oke, dengan cara mengirim SMS ke panitia Panasonic Award!

Tampaknya, kita akan tetap bodoh dan terus dibodohi!


**
Ditulis dengan seksama, dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya guna memberi saran: sebaiknya kita tak terapung-apung dalam pusaran televisi yang makin giat mengomoditikan mimpi.

16 Apr 2009

BOSAN JADI WARTAWAN


IMAN memakai baju terakhir kali ketemu saya, dua tahun silam: lengan panjang digulung sesiku, motifnya kotak-kotak kecil, warna cokelat. Ia tersenyum culun saat melihat saya dari kejauhan.

"Apa kabar, Bang?" Tanyanya lantang. Beberapa pengunjung toko elektronik itu melongok.

"Baik-baik aja, Man. Kau dimana sekarang?"

"Ngamen, Bang, jadi sales AC dan kulkas," cengirnya. Saya nyaris terbahak, tapi tertahan di tenggorokan.

Benarkah? "Bukankah kau terakhir bekerja di harian "anu"?"

"Sudah setahun saya stop dari pekerjaan itu. Bosan jadi wartawan!"

Ups! Bosan? Bukankah baru tiga tahunan ia jadi jurnalis? Tiga tahun itu terpotong masa percobaan selama enam bulan kala ia masuk Grup Jawa Pos. Total, andai dikalkulasikan, efektif ia baru 2 tahunan bekerja di koran. Seumur jagung. Lalu mengapa?

"Saya diminta lari ke sana kemari. Meliput dangdut sampai pelacur. Pulangnya malam-malam. Ibu jelas marah dibuatnya. Udah gitu bayarannya dikit, bensin pun enggak diganti. Pokoknya amit-amit deh jadi wartawan!"

Saya amat-amati wajah pria beranjak dewasa ini. Usianya kisaran 25. Tampangnya takzim, bahkan cenderung introvert. Pernah dulu ia saya minta meliput voli pantai. Belum tuntas meliput, ia pulang, tidur siang. Malamnya ia saya tanya, mana hasil liputannya. Ia enteng menjawab: "Maaf, Bang, saya tak boleh melihat perempuan hanya memakai bikini. Haram." Saya gonduk bukan kepalang.

Akhirnya Iman kena penalti: Tak lolos jadi wartawan Jawa Pos. Lalu ia diterima di harian "anu". Lebih parah, dia duduk di desk sosial. Artinya, ia harus meliput kompleks pelacuran, waria, dan esek-esek malam.

Herannya, ia bilang sempat betah. "Saya jadi tahu dugem itu kayak apa. Saya juga jadi ngerti narkoba itu melibatkan anak-anak pejabat. Saya sempat merasa hebat, tapi hati kecil saya memberontak," kilahnya, masih di teras toko elektronik.

Terbersit dari caranya mengungkap, kebanggaannya menjadi wartawan karena para tetangga memujinya. Di kampungnya, di belahan timur Semarang, profesi jurnalis tergolong di atas rata-rata. Saban rapat RT, ia disinggung-singgung dan disanjung.

Iman menunggang Zupiter dengan gagah kala keluar rumah. Tetapi saat ia harus wawancara dan menggali informasi, lapangan terasa neraka. Ada dua belah kutub yang berseberangan, mengenai keyakinan, perihal hati kecil dan nurani. Lebih-lebih ketika godaan uang pelicin (atau dalam kazanah kewartawanan disebut "amplop" atau "86, baca: lapan enam") datang.

Kembali saya amat-amati parasnya. Ya, ia memang lebih tepat menjadi sales ketimbang wartawan! Tujuh belas tahun lalu, ketika saya pertama bekerja di bidang ini, saya pernah dihempas prahara hati, antara terus atau berhenti. Tetapi, saya bertahan sampai sekarang. Saya menyukai pekerjaan ini, meski siapapun setuju, wartawan tak bisa kaya!

15 Apr 2009

PAYUDARA JULIA


JULIA PEREZ mungkin meniru Aphrodite. Aphrodite adalah Dewi Cinta yang sangat populer di kalangan para dewa. Khawatir meletus peperangan diantara para dewa karena memperebutkan Aphrodite, Zeus, sang ayah, menikahkannya dengan Hephaestus dan memiliki seorang putra, Eros (kelak di kemudian hari disebut Dewa Asmara).

Aphrodite berselingkuh dengan Ares, Dewa Perang, hingga memiliki 2 putra, yakni Deimos dan Phobos, dan seorang putri, Harmonia. Eros dan Anteros juga sering disebut-sebut sebagai putra dari Aphrodite dan Ares.

Memanggul tubuh yang lumayan bagus, ditopang bagian dada yang membuncah-melotot nyaris meledak, Julia (atau orang-orang latah kita memanggilnya Jupe) berkelana dari tivi ke tivi, dari panggung ke panggung lain, dengan kemampuan yang amat terbatas.

Suaranya cempreng seperti seng, sangat tidak layak disebut pelantun. Aktingnya parah karena ia lebih sering memamerkan deretan giginya yang besar-besar melalui senyum yang norak, ketimbang menonjolkan aksi yang membuat publik rela menyebutnya aktris. Ia gagal mengayun tubuh secara teaterikal seperti halnya Happy Salma atau Ria Irawan, walau ia laris dikontrak untuk bermain dalam film-film horor berbumbu syahwat. Itu sebabnya untuk mengatrol popularitas ia perlu berganti-ganti suami, membuat album 'keren' bertajuk Belah Duren, hingga menggoyang pantat di depan para satpam sebuah studio televisi!

Akhir-akhir ini Julia menempati ranking pertama tayangan infotainmen karena asyik masyuk dengan Gaston Castano, pemain sepakbola asal Argentina temuan PSS Sleman yang kini membela Persiba Balikpapan. Jauh-jauh dari Negeri Tango, Castano terbilang mandul sebagai striker. Itu mengapa PSIS Semarang memecatnya, sebelum ia hengkang ke Balikpapan.

Mungkin lantaran sulit mencetak gol ke gawang beneran, ini saatnya bagi Gaston membidik gol sebanyak mungkin ke 'gawang' Julia Perez.

Kedekatan yang mengundang cemburu Damian Perez, pria Prancis yang (konon) pernah menikahi Julia. Terjadilah adu mulut, lomba komentar. Televisi pun membungkusnya dalam berita sore-pagi yang melibatkan pengacara segala itu.

Julia Perez meng-Aphrodite-kan diri sedemikian rupa guna pencapaian tertentu. Di televisi, ia mengumbar celah dada. Di film, ia setengah telanjang. Di pentas, ia tak sabar melempar puting susunya. Percik setan yang menyalakan api murka para kyai, biksu, pastur, pendeta, kaum ibu, pria-pria bermoral, bahkan Menteri Peranan Wanita. Ia meminta maaf pada negara lantaran menyelipkan kondom dalam kasetnya sebagai bonus. Tetapi, paginya ia ngakak di sebuah talkshow televisi, dengan guyonan sekitar selangkangan!

Julia adalah prototipe para pelakon film 80-an dan awal 90-an. Ada nama-nama Eva Arnaz, Yurike Prastica, Ayu Azhari, Inneke Koesherawati, Kiki Fatmala, dengan judul-judul film sangar macam Bebas Bercinta, Gairah Terlarang, Gejolak Nafsu, Ranjau Nafsu, Permainan Erotik, dan lain sebagainya. Bedanya, dulu televisi baru TVRI, dan hiburan cuma ada di bioskop yang hanya boleh dipelototi manusia berumur minimal 17 tahun!

Jenis penghibur seperti ini biasanya diseleksi alam secara galak sehingga masa usia kejayaannya tak lama. Publik bakal segera melupakannya ketika lahir penghibur yang tak instan. Dari deretan pemain esek-esek masa silam, hanya Ayu Azhari yang eksis (di sinetron), atau Kiki Fatmala yang diundang ke beberapa talkshow, sedangkan yang lainnya -- macam Inneke dan Eva -- muncul dengan wajah baru: berjilbab!

Julia kini girang karena menjadi perbincangan dan menaruh kotak televisi dalam kubus pemberhalaan. Tetapi itu tak lama. Suatu saat ia tenggelam hingga dasar jurang, dan meniti hari tua dengan kerut-merut di lehernya. Orang segera melupakannya. Tapi barangkali ada yang bisa dikenang dari dia: Payudaranya ...

13 Apr 2009

FRAGMEN TENTANG PITO


GERIMIS turun berderap. Saya meneliti satu persatu orang dalam kerumunan. Ada laptop di karpet warung tenda, dikelilingi tiga perempuan dan satu lelaki. Satu perempuan di antara mereka menuntun saya menyimpulkan: dialah yang saya cari!

Bercelana pendek. Topi membungkus kepala. Kaus hitam itu telah belel, menyembunyikan tubuhnya yang tambun. Menegaskan kembali pengakuannya ke saya bahwa tubuhnya seperti "babi bengkak".

Tetapi 'babi bengkak' itu tak sepenuhnya dilebur lumpur, seperti halnya celeng murung dalam kubangan. Ia nerocos, tertawa, meledek. Energinya setara genset swalayan. Saya miris membayangkannya tiba di Semarang saat subuh belum bertalu, kemudian menonton televisi di sebuah sudut Semarang Barat bersama para tukang ojek, lantas kabur ke Yogya dengan bus pertama!

Belum tuntas peluh diseka, mengunyah pertemuan dengan beberapa kawan di sana, ia kembali lagi ke Semarang. Dini hari telah menjelang, tetapi ia masih tidak redup. Ada matahari menyala di kepalanya. Ada bergalon-galon bensin yang menyulut tungku di lidah dan tenggorokannya.

Saya menyimak manik matanya, menerka apa yang sebenarnya ia cari. Tapi kandas. Ia membungkus erat sesuatu yang merangsek adrenalin. Ia tak mudah memberi jawaban atas sejumlah pertanyaan, meski ribuan kata ia lontarkan tanpa tersedak.

Di lorong malam, ketika dua perempuan dan satu pria telah hilang dari kerumunan, ia menggelar layar. Laptop berpindah ke pangkuan saya dengan derai kata lanskap. Ia meminta saya mengunyah cerpennya. Cerpen yang menyita perhatian. Bukan hanya karena ia mendulang beberapa kosa kata ajaib, melainkan tema yang diusungnya begitu menantang dan sublim.

Pada bagian lain, ia mengungkap perih dan pedih hati. Ia berkisah perihal riwayat hidupnya lebih terbuka ketimbang awal kami bertemu, beberapa jam sebelumnya. Saya tergugu. Saya menatapnya ngilu. Mencoba mengapungkannya dari danau penuh sembilu tapi tidak mampu.

Perempuan yang mengetik dengan jari yang tidak genap ini Pitoresmi Pujiningsih namanya. Perempuan yang memiliki dunianya sendiri, merabuknya dengan seksama, dan membuat dinding sekokoh beringin. Dinding yang ia gantungi lukisan-lukisan abstrak, gambar-gambar absurd, foto-foto kelam ...

8 Apr 2009

DANIEL MAHENDRA


APALAH arti DM? Ia tak ubahnya pria dengan sorot mata niyaga, penabuh gamelan. Tetapi, dua hari ini ia datang dalam setiap kerjap mata saya.

Saya tak yakin ia membaca mantera-mantera ketika sekonyong-konyong datang dengan peluh di pelipis, memanggul ransel, dan menguarkan senyum setipis kertas. Di tengah hiruk pikuk rindu bertalu diantara mereka, saya merokok di pojok. Menggumamkan kesendirian lantaran belum mengenal mereka, kecuali Mas Goenoeng dan Hesra.

Lalu ada tatapan malu, di pendopo itu, maupun ketika kami berada di rumah Bu Dyah Suminar. Tatapan yang seragam dengan saya, bedanya ia empu, saya manusia biasa. Toh, rasanya, ada kesamaan diantara kami dalam mencecap rasa dan memandang dunia.

DM lebih banyak diam. Ia hanya menimpali kami tatkala ada hal-hal lucu saja. Di mata Mas Goen, ia amat masyhur, terutama dalam menganyam kata. Sejauh itu saya belum membuktikannya lantaran DM lebih saya nilai sebagai pria dengan naluri bapak yang kuat ketika memeluk Riku, atau saat menuang minuman.

Malam begitu sunyi di vila itu, meski beranda buncah dengan kata dan tawa. Kemudian ada kelelawar melayang, dan perlu bagi kami mengusirnya karena ia mengusik kenyamanan. Malam lantas berderap, mengayuh titik-titik embun hingga fajar tiba dengan sangat lelah.

Kantuk merajalela ketika pagi meradang. Itu mengapa ada benang menghalangi pandang, ada ranting-ranting patah di kepala. Saya mabuk. Saya mengomel untuk hal-hal absurd, dan sangat ingin memangkas rembulan. Celakanya, ada DM dalam pendakian kata-kata ketus saya.

Dua hari lalu, saya menerobos maya, mengamat-amati ada apa dengan saya, di mana saya menyimpan sampah yang mengapungkan bau tak sedap di dada. Lantas saya memasuki blog Daniel Mahendra.

Saya kesurupan. Saya menaiki kuda dalam aura kolosal, dengan tameng dan tombak di tangan. Saya berderak mengikuti roda kereta, berdiri terpatri di Majapahit dan Trowulan. Saya mengembara dalam dimensi berbeda, jauh dari apa dan siapa saya karena sesungguhnya saya adalah penyendiri dengan sejuta kata.

Ada hal lain dari Daniel Mahendra di luar sorot matanya yang niyaga serta naluri kebapakannya ...

7 Apr 2009

MENJADI SUAMI


IA menyentuh bahu saya. Saya mendongak, melihat siapa yang mengayunkan lengan tatkala mata saya tengah bersetubuh dengan layar komputer. Blue! Ya, dialah yang saya tunggu!

Sebelumnya Pito mengirim pesan pendek bahwa Sofi (Pito memanggil begitu, kependekan dari Sofian, nama asli Blue) datang ke Semarang.

Saya senang bukan kepalang. Bisa saja ia segera saya peluk, kemudian cipika-cipiki untuk melukiskan betapa bahagia rasanya. Betapa makhluk ini menyita sebagian besar rindu saya pada sosok adik. Tetapi saya mencoba menahannya. Saya akan menuang seluruh kekangenan bukan setipis pelukan tiba-tiba.

Lalu kami duduk semeja. "Sehat saja kan, Bang?" Loncatan kalimat pertama yang ia kucurkan. Dan menurut saya ini pertanyaan ajaib. Mengapa bukan: "Apa kabar, Bang?" Atau, "Wah, kok bertambah hitam sekarang?"

Pertanyaan itulah yang justru menjadi jembatan. Ia seolah cuma sekian hari tak bertemu saya, atau ia mencoba merasuk langsung ke sanubari saya guna mengabarkan bahwa ia juga sangat rindu, lewat 'pertanyaan cerdas' itu.

Ia datang ke Semarang untuk meliput kampanye Partai Hanura, dengan Wiranto yang cuap-cuap di Simpanglima. Bukan bendera Jawa Pos lagi ia pikul, melainkan Harian Seputar Indonesia, koran yang dipioniri RCTI.

Jakarta telah memermak sikapnya menjadi lebih matang. Gerak-geriknya sistematis. Tak seperti dulu yang imut dan pemalu dengan duduk di pojok secara diam-diam, seperti perawan menghadapi lamaran.

Cara berbusananya juga lebih elegan. Maklum, kini sehari-hari ia ngepos di Depdagri. Dulu, saat kami seatap di Jawa Pos, ia suka berbaju katun aspal yang murah. Kini, ia memakai celana dan jaket jins yang mencitrakan dia macho. Dua ponsel mahal mengikutinya kemana ia bergerak.

Kami memanfaatkan waktu yang pendek sebelum ia ngacir ke Simpanglima untuk merekam pernyataan politik Wiranto, dengan gurauan khas. Mengalir lancar nyaris tak terbendung. Ia masih suka nyengir lebar tatkala mendengar joke-joke saya. Saya pun ngakak tiap kali ia mengerling perempuan lewat.

Mata Blue memang nakal. Tetapi ia adalah pria 29 yang saya rasa siap untuk menjemput pelaminan. "Dalam hitungan hari, Bang. Nanti datang ya," rengeknya perihal rencananya menggelar resepsi, di Jakarta.

Saya berulang mengangguk, meyakinkannya bahwa saya ingin datang. Saya juga menyuntikkan sedikit wejangan untuk menguatkan mentalnya mengarungi samudera rumahtangga, bahwa menjadi suami bukan seperti diangkat menjadi Ketua RT, melainkan berurusan dengan hiruk pikuk keseharian lewat mata yang selalu terjaga dan hati yang terpelihara.

Menjadi suami tak boleh lagi mengerling betis perempuan, menyengsarakan anak-anak, dan memasung sanubari dengan kepala penuh bara tatkala kesulitan membelit ...


**
Proficiat, Blue, asahlah pedang untuk pertempuran sengit melawan napsu!

3 Apr 2009

RIFKY, MALAIKAT KECIL SAYA


RIFKY namanya. Usianya 3 tahun kira-kira. Pendek, hitam, dan kusut. Ia jarang memakai sandal, bahkan ketika paving blok jalanan gang sedang membara disengat terik.

Ia luar biasa nakal. Kata para tetangga, sifat Rifky menurun dari Roni, sang bapak. Waktu kecil, Roni suka melompati pagar untuk ngembat jemuran, mencuri mangga, atau mengusili gadis-gadis lewat. Usia 16, ia minggat ke Jakarta dari sebuah pondok pesantren di Pati, Jateng, menjadi tukang batu atau mengecat gedung bertingkat.

Mau tahu seperti apa nakalnya Rifky? Ini dia: mengencingi teras masjid, menggores badan mobil -- termasuk mobil saya-- dengan setang sepeda, memukuli anak-anak sebaya, melempar batu ke beranda tetangga yang menimbulkan ribut kecil. Betis saya, suatu petang, pernah dikencingi. Dan ia lari cengengesan saat saya mengacunginya sandal.

Rikfy menjadi momok di gang depan rumah. Dua-tiga menit ia masuk ke gerombolan bocah, jaminan ada yang meraung-raung. Entah karena jidat bengkak setelah digasak, atau sekadar memar dicubiti Rifky.

Itu mengapa Mbak Lastri, ibu Rifky, perlu dari pintu ke pintu meminta maaf. Setelah kaki saya dikencingi itu, ia membawakan saya lima potong pisang goreng untuk 'menyuap'. Saya bilang kepadanya, biarlah tak perlu repot-repot memberi saya gorengan, sebab betapapun Rifky adalah bocah. Ia bakal sadar akan kesalahan setelah nanti bersekolah, atau menginjak remaja.

Tapi, Rifky punya potensi susah dipermak, mengingat ia bergumul dengan pergaulan keras terminal bus. Mbak Lastri suka membawanya ke warung terminal, tempat ia mengais nafkah. Terminal di negeri ini, dimanapun tempatnya, penuh perilaku kasar, sikap maupun ucapan.

Pernah Rifky memaki (maaf) "asu!" ketika seorang anak mendorong sepedanya secara tiba-tiba.

Tapi, entah mengapa, saya pernah rindu padanya, rindu cengirannya yang tanpa dosa, ketika selama seminggu saya bertugas di luar kota. Terkadang bahkan saya mendapatkan inspirasi dari rambutnya yang gimbal, menolong saya dari pikiran mampat pada saat bersiap menulis cerpen atau sekadar catatan ringan, seperti naskah ini.

Ia malaikat kecil saya ...

1 Apr 2009

SAYA MANDUL TIBA-TIBA


MATA saya menyusuri langit-langit. Sejam lebih tak ada gambar yang melintas, selain neon Philips 18 watt yang murung dan dua ekor cecak di sudut terjauh yang sedang bersetubuh.

Kepala bergeming di atas bantal yang berangsur memanas. Televisi menyala dengan suara lamat, menjual para badut yang tertawa garing dan bacot. (Dalam situasi tertentu nanti televisi itu mungkin saya tendang hingga pecah berantakan!).

Saya stagnan. Komputer termangu. Entah mengapa. Seperti ada limbah menyumpal kepala. Seolah bubuk mesiu basah yang menghalangi daya ledak. Buntu di segenap jalan dan mentok di perempatan. Gelap, berkabut, dan labirin siaga menjemput saya dengan mulut menganga!

Ada 'marka' dalam kreativitas, dan itu saya sadari. Tetapi kehilangan mood dalam sekian hari perlu diwaspadai. Baik, kira-kira apa yang membuat saya mandul seperti ini?

Tak ada masalah dalam rumah tangga. Istri cerewet tapi masih bisa ditolerir. Anak bermain wajar dan tak membuat kesal. Para tetangga masih menyapa. Ketua RT bahkan mengajak saya diskusi untuk kemajuan kampung demi dinilainya bahwa saya punya 'wawasan kebangsaan dan kemasyarakatan' cukup luas lantaran saya wartawan.

Di jalan nyaris tanpa hambatan. Entah, pemakai jalan mendadak bersikap baik. Polisi menatap dengan ramah. Pengemis menjura hormat tatkala saya sodori kepingan 500-an.

Lalu apa? Apa saya masuk angin? Liver dan maag kambuh? Atau sekadar tensi turun-naik yang menciptakan fluktuasi bioritmik? Tidak, saya sehat-sehat saja! Aha, jangan-jangan frekuensi seks saya menyusut? Tidak juga!

Pertanyaan-pertanyaan menggantung. Teka-teki mengamuk dan menyiksa.

Sampai kemudian saya terjaga dari sebuah tidur yang amat pendek tadi pagi. Seperti ada satu bisikan, entah datang dari mana, yang menjelaskan bahwa mood itu tak bisa setiap waktu dihela untuk melahirkan karya. Mood bukan seperti lambung yang bergegas memberikan tenaga sesudah dimasuki nasi, karena ia datang tak diundang, pergi tanpa diminta ...