Search

28 Mar 2009

AKU HAMIL, IBU


Kau murkai aku sedemikian rupa, Tuhan, dosa apa yang telah kuperbuat?



MATA kucing itu meredup. Seperti nyala lilin dikebiri angin. Rika duduk dengan dada naik turun. Di depannya Cahyani dan Bahtiar, ibu dan ayahnya, menghela napas perih. Suami istri itu dilanda geram dan panik yang berbaur.

"Kapan terakhir kau melakukannya?" Hardik sang ayah.

Rika mencoba menahan sengal. Mulutnya seperti terkunci. Susah payah ia berucap. " ... Awal Januari ... "

Secepat angin Cahyani menghitung. Bila awal Januari hubungan badan dilakukan, dan itu langsung berbuah, berarti kini Rika mengandung dua bulan. Petir lebih deras menyambar-nyambar jantung dan kepala Cahyani. Oh Tuhan ...

"Mengapa, nak, mengapa ... " Cahyani tak mampu meneruskan kalimat. Ia tergugu, ngilu.

Bahtiar tak pernah sesedih ini sebelumnya. Sebagai ayah, ia telah menjaga dengan rapat putri semata wayangnya. Pagi, pukul 7.00 sebelum bertolak ke kantor berboncengan dengan istrinya, ia tak pernah lupa memesan agar Rika berhati-hati, terutama bila sejam kemudian Wayan menjemputnya berangkat kuliah.

Wayan remaja berparas kalem. Ia bersikap santun tiap mengapeli Rika pada malam Minggu. Beberapa kali ia bahkan menenteng oleh-oleh. Bukan jajan mewah, melainkan cuma pisang goreng atau martabak. Tapi itu cukup memaknai bahwa ia anak yang mulai matang.

Berdua ketika rumah sepi pada pagi hari melahirkan bibit malapetaka. Berawal dari hanya sekadar mengantar handuk ke kusen pintu kamar mandi kala Rika sedang mengguyur badan, lambat laun lahir rangsangan-rangsangan aneh di aorta darah.

Lalu terjadilah sesuatu. Bukan hanya pada pagi itu, melainkan pagi berikutnya, dan selanjutnya. Dan Rika berbadan dua ...

Bahtiar beranjak keluar. Menghirup udara malam yang justru makin membuat pengap hatinya. Ia tak tahu harus berbuat apa, bahkan hingga fajar tiba tatkala ia masih duduk mematung di pos ronda dengan dua bungkus rokok yang telah kosong ...


**
Seperti dituturkan oleh Bahtiar (bukan nama sebenarnya), sahabat dan tetangga saya di sebuah kompleks perumahan, di Semarang Timur, Kamis (26 Maret 2009). Nama-nama lain juga disamarkan.

25 Mar 2009

MENYONGSONG BATU-BATU


"Senyumlah kepada semua orang, nak, jangan sembunyikan pipi kiri setelah pipi kananmu ditampar. Ikhlaslah."



KAMBOJA terayun gontai di pelepah doa saya. Makam Bunda, Minggu (22 Maret) lalu, rebah oleh kesiur sunyi nan wingit. Saya terpekur. Takzim.

Sepi yang selalu saya pilih untuk mengunjungi Ibu dalam dialog panjang, tatkala hati saya perih. Ia duduk dengan mukena putih, menguntit mata saya dari siluet. Senyumnya menyemburat. Senyum yang senantiasa menggetarkan.

"Ada prahara apa, anakku?" Ucapnya, masih dengan bibir Ratu Balqis.

"Saya dianiaya, Bu," jawab saya, lirih.

"Perkelahian macam apa?"

"Pergulatan jiwa, Bu. Hati saya cedera."

"Oleh siapa? Masalah apa?"

"Tak banyak. Cuma perkara-perkara sepele. Tapi yang kecil itu membuatku ngilu."

Ibu meneliti wajah saya. Menerka-nerka. Membelai dengan tatapan syahdu. Lalu senyumnya mengembang.

"Ibu telah membaca apa yang membuatmu gersang, nak."

"Aku tak mampu lagi mengurai kekusutan ini, Bu. Aku lelah."

"Belajarlah pada angin. Ia berkesiur tanpa pamrih. Ia mengayunkan badan untuk menguras gerah. Ia bicara pada kita tentang keikhlasan. Ia murka tatkala mengingatkan, tapi itu tak terjadi andai kita tak melewati batas ... "

"Angin gagal memberiku suri tauladan."

"Itu karena kau tak membuat pagar yang kuat."

"Sudah, Bu ... "

"Belum, nak. Belum!"

"Jejak mana yang mendorongku ke sudut kelam, Bu?"

"Kau menjauhi Tuhan, dan Tuhan pun berangsur menjauh. Ibu tak pernah mengajarimu menampikNya kala dulu kau mengaji. Tuhan memberi sengatan lebah jika kau jumawa. Tuhan memberimu madu kalau kau bersikap manis. Pulang, dan bersihkan muka. Sujudlah padaNya!"

Maghrib menyusup di sela daun bambu. Saya melepas Ibu di pintu surga. Melambai. Bumi merekah, menghisap saya untuk tak gentar menyongsong batu-batu ...



**
Tepat 16 tahun Bunda meninggalkan kami

21 Mar 2009

HUMA DI ATAS BUKIT



Seribu rambutmu yang hitam terurai
Seribu cemara seolah mendera
Seribu duka nestapa di wajah nan ayu
Seribu luka yang nyeri di dalam dadaku

Di sana kutemukan bukit yang terbuka
Seribu cemara halus mendesah
Sebatang sungai membelah huma yang cerah
Berdua kita bersama tinggal di dalamnya

Nampaknya tiada lagi yang diresahkan
Dan juga tak digelisahkan
Kecuali dihayati
Secara syahdu bersama
Selamanya, bersama, selamanya ...


***

PERTAMA mendengar Huma di Atas Bukit milik God Bless ini saya kelas 2 SMA, tahun 1988. Lagu yang menggamit jiwa saya menuju semilir senja di sebuah bukit sunyi. Tanpa bising mesin, tak ada berisik tetangga, tanpa sesuatu pun mengotori telinga. Begitu damai, begitu tenang, begitu perawan.

Saat tuntas menyimaknya, bergegas saya membayangkan bakal berumah tangga secara sederhana dengan rumah mungil, istri manis dan anak-anak ceria.

Saya menafkahi mereka dengan honor cerpen, esei, dan novel. Istri saya menjual rambutan, mangga, pepaya, nangka, dan delima dari kebun sendiri. Anak-anak tak perlu mengenal PS, Reebok, atau sepeda gunung.

Di senggang waktu, kami memancing di kali bening. Main layang-layang di lereng bukit, sesekali. Memboncengkan mereka dengan sepeda kumbang pada sore hari.

Menjelang petang kami selonjor di bawah randu, melihat pelangi, menggoda kupu-kupu, memandang matahari jingga. Menunggu ibunya datang dengan sekeranjang pisang, anak-anak berlarian di ilalang. Lalu, ketika matahari tinggal lanskap, kami bergandengan tangan. Pulang.

Hidup ringan tanpa beban. Tak ada sesak dalam dada, tanpa amarah, tak ada murung yang memasung. Biarlah gerimis memercikkan tempias di sela-sela rumbia, tetapi kami menciptakan surga dalam angan bersahaja.

***

BERTAHUN kemudian, ketika Huma di Atas Bukit dilindas jaman, saya hampir tak ingat lagi untuk sekadar menggumamkan intronya yang menggetarkan.

Saya lupa rencana-rencana lama. Saya lupa untuk membiarkan rambut saya gondrong seperti masa kuliah, lupa makan cuma dengan tahu tempe saja, lupa kemana-mana naik bis kota, lupa merokok dengan kretek murahan, lupa mandi di kali, lupa masak bayam dari kebun sendiri, lupa janji tak memasang telepon rumah, lupa ikrar tak sudi beli televisi ...

Idealisme tak ubahnya sampah! Kapitalisme merongrong jiwa saya untuk selalu perih dan pilu, tapi celakanya saya menikmatinya!

Sampai kemudian Huma di Atas Bukit produk 1976 itu menggaung lagi menagih janji, menohok komitmen saya. Saya berurai airmata dalam perjalanan sendiri dari Solo ke Semarang, tadi pagi, ketika tanpa sengaja menyorongkan kaset God Bless ke selopnya. Entah siapa yang menaruh kaset usang itu di jok saya ...


***
Judul dan topik serupa pernah saya posting, berbulan lewat.

19 Mar 2009

RASA SESAL DI DASAR HATI ...


... rasa sesal di dasar hati diam tak mau pergi
haruskah aku lari dari kenyataan ini
pernah kumencoba tuk sembunyi
namun senyummu tetap mengikuti ...


DUA pria dekil menyambangi saya di trotoar depan Masjid Baiturrahman, Simpanglima, Semarang, Senin petang (16/3/2009). Saya taruh sendok dan garpu. Tahu gimbal sebentar saya biarkan merana.

Saya biarkan pula pengamen ini merampungkan Yang Terlupakan milik Iwan Fals itu. Beberapa kalimat saya lontarkan untuk membantunya agar tak terpeleset. Maka, jadilah saya backing vocal. Beberapa ibu dan dua remaja di sisi lain tikar tersenyum mengamati kekompakan kami. Asyiiik!

Lagu tentang lara. Lagu tentang keterpaksaan memenggal cinta meski setengah hati. Lagu tentang feel guilty, rasa bersalah! Salah satu baitnya bilang begini: .. hati kecil berbisik, untuk kembali padanya // seribu kata menggoda, seribu sesal di depan mata, seperti menjelma // waktu aku tertawa, kala memberimu dosa ...

Saban lagu ini berkumandang, selalu saya ingat Daryoto, teman sekamar waktu kos dekat kampus di Sampangan, Semarang Selatan. Pria tambun dan sehitam saya, tapi pintar main gitar. Saya sendiri tak becus. Yang Terlupakan adalah lagu wajib kala kami berdua nongkrong di bebatuan besar, di kali belakang kos kami.

Boleh dibilang ia 'pelayan' saya setiap hati saya sunyi. Yang Terlupakan itu mewakili perih hati saya karena direjam sembilu kala itu. Sepekan sebelumnya saya ditinggal Retno Wulandari, gadis mungil berkacamata silinder, yang kebetulan tetangga Daryoto di Purwodadi.

Retno kabur dari saya, dan memilih Nugroho, kakak kelas. Nugroho dari keluarga berada. Motornya baru. Dan, ini yang membuat saya pernah protes kepada Tuhan: ia lebih ganteng daripada saya!

Diputus gara-gara tak punya motor sungguh tidak keren. Saya murka. Pulang ke Demak merengek pada Ibu. Ibu tak tega rupanya. Lalu dijualnya tanah. Seminggu kemudian, saya dibelikan Honda Supra.

Dengan gagah saya tunggangi Honda baru menuju parkir kampus. Sengaja saya lewati Retno dengan aksi pembalap liar. Tapi, olala, melirik pun ia ogah! Sompret!

16 Mar 2009

KETIKA SAYA TAK DIHONORI


Uang bukan berhala. Tak diupahi tidak membuat saya sekonyong-konyong bangkrut. "Upah" dalam bentuk lain mengandung gizi dan lezat di hati ...


SEROMBONGAN mahasiswa dari kelompok "anu" – markasnya di sebuah gedung tua di Jalan Durian, Banyumanik, Semarang -- menyalami saya, bulan lalu.

"Ini sekadar cendera mata dari kami," ujar satu diantara mereka sebelum saya menghambur pulang.

Di mobil, bungkusan saya buka. Isinya plakat "tanda terima kasih" untuk apa yang saya berikan selama dua jam di depan mereka.

Sejenak saya muram. Saya pikir ada amplop berisi sekian ratus ribu, seperti biasa disodorkan oleh mereka yang meminta saya jadi pembicara workshop jurnalistik. Namun, semenit kemudian saya tersenyum. Plakat saya taruh di bufet khusus sesampainya di rumah, dan saya bangga memandanginya sesekali.

Pagi setelah workshop, sebuah "surat pembaca" di Harian Wawasan, Semarang, 'memaki' panitia workshop yang tak becus memberi honor. Surat pembaca dari pembicara lain yang sesinya bertetangga dengan jam saya. Kalimatnya pedas. Saya tak tega menulis di sini.

***

UANG, entah mengapa, memijat adrenalin untuk murka. Saya tak menyalahkan rekan wartawan dari media lain yang menyumpahserapahi panitia workshop tadi, sebab diundang acara beginian bukanlah persoalan gampang.

Kita menyisihkan waktu -- ijin maupun membolos -- dari rutinitas. Selebihnya pembicara mesti konsentrasi, mengulik referensi dari sana-sini, dan tak mudah mengajar sekian puluh orang untuk memenuhi kewajiban moral sebagai penyaji materi.

Saya sempat berhadapan dengan sejumlah mahasiswi yang mengantuk. Barangkali lantaran bosan, atau sesinya memang pas makan siang sementara nasi kardus belum dibagikan. Terpaksalah saya turun dari mimbar, duduk dan jalan-jalan di tengah mereka, dan sesekali mengumbar trik-trik memikat, umpama mengajak mereka tebak-tebakan.

Karakter audien beragam. Saya perlu 'mencubit' mereka dari godaan tidur dengan cara memuji seseorang. Di barisan nomor dua dari depan, seorang mahasiswi mirip Angelina Sondakh. Saya tanya dia dengan tiba-tiba: "Eh, mbak yang pakai baju ungu adiknya Angelina Sondakh, ya?" Sontak semua tertawa. Suasana pun fresh lagi.

Nah, pengerahan energi seperti itu memang memakan tenaga. Mungkin saja rekan yang komplain tadi merasa telah susah payah, tetapi pulang-pulang tak dibayar rupiah.

Tetapi, bagi saya, tak masalah saya tak diupahi (dalam bentuk duit), karena acara-acara semacam ini -- yang kebanyakan digelar para mahasiswa -- menuai beberapa kesadaran saya tentang arti "mengasah ilmu" setelah sekian waktu terkubur lantaran dalam pekerjaan lebih banyak mengaplikasikan praktik ketimbang teori.

Dalam benak saya juga lahir satu adagium mulia: "Berbagi ilmu bukanlah pekerjaan hina".

Satu lagi, mahasiswa lebih sering suntuk soal keuangan ketimbang berlebih. Saya pernah menjadi mahasiwa, dan kere melulu adanya, huhwhahahaha ... !!

14 Mar 2009

UNDANGAN KEMATIAN


Dalam sehari, di pekan ini, tiga kali saya dipanggil oleh 'seseorang'. Saya tak tahu 'mereka' siapa. Tetapi suara itu amat jelas, seolah bergaung di kusen telinga ...


PERTAMA waktu keluar rumah. Sebuah suara memanggil: "Riiif ... !!" dengan kentara. Saya tengok tak ada siapa-siapa. Sepi. Sunyi.

Kedua waktu mengisi bensin di SPBU depan kolam renang Manunggaljati, 3 kilometeran dari rumah. Suara pria. Lebih nyaring. Lekas-lekas saya putar kepala. Juga tak ada tanda-tanda. Belasan orang di sana asing di mata saya.

Yang ketiga saat saya berada di parkir Rumah Sakit Dr Moewardi Solo. Seseorang -- atau apapun ujudnya dia -- menyebut nama saya dari ketinggian. Halaman parkir itu memang dipunggungi bagian belakang bangsal berlantai 5.

Yang ketiga ini menciutkan nyali saya. Panggilan yang dilontarkan lebih lembut dan panjang ketimbang dua sebelumnya, tetapi amat jelas. Jantung saya berayun kencang. Bagaimana tidak, saya sedang melintasi kamar mayat ketika panggilan itu datang!

***

DI tengah was-was, saya mencoba menghibur diri. Siapa tahu kebetulan ada orang memanggil kawan atau anak yang namanya mirip saya. Maklum, nama pasaran. Atau, bisa saja saya teracuni film-film horor yang kerap saya sewa dari rental.

Tetapi bahwa dalam setengah hari dengan waktu berdekatan saya dipanggil-panggil, saya dihinggapi pula pikiran lain: jangan-jangan 'ia' adalah malaikat pencabut nyawa ...

Konon, kata guru agama saya waktu SD, malaikat pencopot nyawa suka memberi isyarat begini sebelum ia merenggut jiwa manusia. Ibarat tamu, ia perlu mengetuk pintu, mencolek lonceng pagar, atau memencet bel.

Itu semacam pertanda ia tak mau menyelonong. Ia enggan disebut 'tamu tak diundang'. Benar atau tidak, wallahua'lam bisawab!

***

SAMBIL melanjutkan sisa hidup, saya menghitung-hitung dosa-dosa yang saya perbuat, andai di alam baka kelak ditanya malaikat.

Waktu kecil saya pernah dilabrak tetangga gara-gara saya menarik kursi yang mau diduduki seorang perempuan yang sedang hamil. Perempuan itu terjengkang dan mengerang

Saat SMA saya ngutil kue, menyaplok 5, tapi bayar cuma 2. Waktu kuliah saya pernah berniat mencuri novel di toko buku, tapi urung. Saya juga pernah mengintip tetangga kos yang sedang saling telanjang bersama pacarnya, juga pernah menjotosi kawan playboy yang memacari Indah, adik kandung saya.

Dulu, saat SMP, saya mencuri gabah Bapak. Beberapa tahun kemudian menggadaikan kalung Ibu. Mengintip mahasiswi KKN lagi mandi di rumah Eyang. Menempeleng Muslim, tetangga sebelah, karena kepergok mencuri telur bebek Bapak.

Saat sudah berumahtangga saya pernah selingkuh, menggoda score girl biliar, atau hang out dengan teman-teman sampai teler. Beberapa hari lalu saya melabrak sopir bus bumel karena ia menyalip dengan cara memotong yang hampir saja menyenggol badan mobil saya.

Saya juga pernah me-mark up kuitansi kantor. Bensin cuma 50 ribu saya tulis 100 ribu di nota. Saya juga pernah memaki Nurhadi, sopir perusahaan, karena tak mengepel lantai mobil setelah membuang dahak sembarangan. Tiga hari kemudian sesudah saya omeli, bayi Nurhadi meninggal. Saya sangat menyesal.

Banyak lagi dosa saya. Termasuk misalnya menertawakan orang yang dandan sembarangan, mencemooh artis yang kawin cerai, menyumpah tukang parkir yang tak waspada menjaga helm saya yang disikat maling. Saya juga sering mendamprat walikota yang tak becus mengatasi banjir, atau ngedumel ketika mengantre di teller BCA yang membuat kaki kesemutan.

Shalat saya juga bolong-bolong, terutama subuh. Saya biasa melek sampai pukul 2.00 sehingga amat susah bangun persis azan subuh. Saya juga makin jarang mendoakan Ibu, padahal dulu rajin berziarah di makamnya.

Mungkin saya juga punya banyak utang yang karena sesuatu hal terlupakan.

***

KETIKA menunggu datangnya ajal itulah saya makin waspada. Saya teliti perkakas mobil sebelum bepergian, mengamati ban-ban gundul, mengecek oli, menyimak kampas kopling maupun rem, mengisi air radiator, mengganti air aki. Andai saya harus mati, maka meninggalnya bukan di jalan raya.

Di aspal saya makin sabar. Tak berniat sedikitpun menyalip sepasang muda-mudi yang knalpotnya "grung" saat ia menyalip mendadak, tak mau bersitegang dengan sopir angkot yang serampangan, tak marah ketika sepeda-sepeda memenuhi jalan padahal saya sedang tergesa.

Di kampung saya makin santun. Di resepsi tetangga saya bantu-bantu mendirikan tenda. Seorang bocah terjebak parit pun saya bangkitkan, biar bapak bocah ini senang memarkir mobil sembarangan dan sebulan lewat saya damprat.

Saya juga makin rajin berdoa dan mendekatkan diri kepadaNya ...

13 Mar 2009

CINTA DARI MATANYA


Saya melambatkan kendara. Pukul 20.30 kira-kira. Lampu merah mengertap di depan sana. Lalu mata itu melintasi jendela, dan memasung saya dalam jiwa merana.


SAYA
pulang membawa kesal. Seorang caleg dari partai anu berjanji mau bertemu. Ia ingin diskusi, memantapkan kampanye efektif menjelang pemilu. Rupanya ia berat ke istri yang memintanya mengantar ke toko sepatu.


Dalam gerimis yang mencecar kaca bersamaan lagu Tentang Kita dari kelompok Jingga mengguyuri kabin mobil itulah saya menemukan cinta.

Saya setengah mengantuk ketika jendela diketuk. Bergegas saya menatap keluar. Seorang perempuan paruh baya, berambut masai, dan mata memerah. Bukan kusut pilu yang menyentak tangan saya merogoh laci, mencari kepingan 500 rupiah atau seribu, melainkan makhluk mungil dalam gendongannya.

Usianya mungkin setahun, satu setengah, atau mungkin dua tahun. Saya tak memedulikan umur berapa dia, atau berjenis kelamin apa, tetapi tempias gerimis yang menghajar pipi dan rambutnya itulah yang memeras jantung saya hingga terasa perih. Kuyup dingin berbaur jadi satu, membuat si kecil menggigil. Membuat bayi ini terhempas keras dan bisa paru-paru basah!

Amarah saya menggelegak. "Anak siapa, Mbak?" Bentak saya kasar.

"Anak saya," jawabnya setengah mengiba. Saya tahu ia pura-pura memelas. Dan ia bohong tentang si mungil karena bayi begini biasanya hasil nyewa.

"Kalau itu anakmu, tolong dibawa minggir! Kamu ngerti nggak ini hujan? Berteduh sana! Ia bisa mati kedinginan!" Gertak saya kencang, mengejutkan beberapa pengendara motor di sekitar.

Perempuan itu merandek sebentar. Mungkin kaget ada yang membentak karena ini tak biasa. Ia mengangguk tanda mendengar, tapi saya yakin ia pura-pura mengerti.

Sebelum perempuan itu berlalu, beberapa detik saya menemukan cinta dari mata balita yang meringkuk dalam gendongan itu. Mata bening bulat dan menganyam rindu. Mendadak saya terisak ...

11 Mar 2009

ISTRI


Tahukah kau, sering kusimak dengan saksama derit napasmu yang teratur tatkala kau berenang dalam mimpi?


KUTELITI
sulur-sulur rambutmu yang pendek dan legam. Kusibak dengan hati-hati supaya tak menutupi dahi. Lalu kubaca aksara yang tertera disana. Aksara-aksara yang menggumamkan kasih dan sayang kepada suami.

"Boleh kusemir rambutku?" Tanyamu suatu sore.

"Boleh. Hitam, perak, biru, atau ungu sesukamu. Tapi aku tak mau bepergian bersamamu setelah itu," tukasku.

Kau tersenyum. Menyambangi pipiku dengan sebuah kecupan. Kecupan yang kira-kira mengatakan: "Baiklah, kekasih, aku tadi hanya pura-pura. Aku tahu kau tak suka aku menyemir rambut, karena kau menyukaiku apa adanya seperti ketika kita pertama bertemu."

Kau menggeliat, memunggungiku. Gerakan halus yang membuatku tergila-gila. Saat lain, aku akan memelukmu, menghangati punggungmu. Tapi kali ini aku akan mengeja segenap pori-porimu.

Pori-pori sehalus sutera dimana aku melabuhkan lelah setelah mencari nafkah. Kau ajari bagaimana aku bercocok tanam dalam pori-pori ini. Mengajariku bagaimana membilas senyum manis di atas bantal menjadi gelinjang liar dan tak beraturan (pada saat lain, barangkali aku akan menyusup dalam pori-pori itu, lalu kita bersenggama).

Terbuat dari apakah kau, Cinta, sehingga keringatmu pun tak bau? Terbikin dari apakah kau, Sayangku, sehingga jemarimu itu menancap dengan nikmat tatkala kau memijat?

Banyak hal telah aku lakukan, dan ingin rasanya mengajakmu berbincang. Ingin rasanya mengutarakan tentang sisi hitam dalam diriku yang membuatmu cemburu. Ingin rasanya kuakui bahwa terkadang aku senang perempuan lain, senang wanita-wanita yang bukan siapa-siapa.

"Penyuka wanita," tuturmu suatu ketika, "Tak berarti bahwa kau melupakan hakekat perkawinan. Aku tahu kau mudah kesepian. Tapi pulanglah setiap hatimu mulai sunyi karena aku akan mengajakmu berlarian di atas awan bersama bintang-bintang."

Ah, beruntungnya aku mendapatimu dengan hati yang lapang, ketika aku sebenarnya bukan pria sempurna seperti pernah kau angankan. Kulitku yang hitam kau bilang pualam. Rambutku yang buruk rupa kau bilang mahkota.

Masa silamku kelam, bising dan gersang. Tapi kau mengutarakan hal yang tak terduga: "Siapapun punya masa kelam. Siapapun pernah abu-abu. Tapi aku tak memedulikannya karena kau bukan bajingan."

Tahukah kau, sayangku, aku menitikkan airmata. Mengusapnya diam-diam seraya membungkus cinta ini di segenap sudut rumah.

Istriku, ijinkan aku mencintaimu setiap waktu. Maafkan kesalahanku yang belum mampu membangun perahu ...

9 Mar 2009

NOKTAH HITAM DI VILA HANI'S


Saya dihangati oleh sound mobil Mas Tok yang membahana. Mobil saya, di sebelahnya, jadi tak ada artinya. Lalu, di halaman vila itu kami membicarakan sesuatu ...


***

SAYA
mencecap kehangatan di sisi anak-anak Kweni (sebuah dusun di wilayah bantul yang kami sambangi untuk sekadar bersemayam di hati anak-anak kampung), di rumah Bunda Dyah (sebab Ibu Wali Kota Jogja ini keibuan dan merakyat), di sebelah Bu Tutinonka (karena beliau penulis dan saya suka menulis), di pembicaraan sampai subuh dengan Mas Tok dan Mas Goen (yang mengupas soal selingkuh hingga grup Amy Search), dan tentu di tengah Mbak Imel dan Mbak Lala (karena mereka unik dan lucu).

Sebuah perjalanan yang me-refresh benak saya karena kebetulan tengah kusut. Satu pendakian menyenangkan yang terakhir saya lakukan tahun 2000, apalagi bertemu pula dengan Hesra (plus anak perempuannya, dan Desi, teman kampusnya). Satu reuni kasat mata karena selama ini kami cuma bertemu di dunia maya.

Sebuah malam yang runtuh oleh aksara-aksara. Saya jadi ngerti Mbak Imelda itu bukanlah 'perempuan Jepang' yang kaku (walau wanita Jakarta itu lama tinggal di Tokyo bersama keluarga), Mbak Lala itu ternyata penyanyi yang bagus meski rapuh untuk urusan asmara, Mas Tok bukan pengembala kambing dalam makna sesungguhnya (meski 148 ekor kambing etawa -- kambing jangkung yang mahal -- ada di kandangnya), melainkan kontraktor sukses, atau setidaknya mendekati sukses, dan sebagainya. Dan sebagainya.

Dua hari yang dahsyat dan membuai, namun cedera oleh setitik noktah. Tak parah-parah amat, tetapi tetap meninggalkan luka cubit. Luka cubit yang mendidik saya (atau seseorang?) untuk dewasa, baik di tulisan maupun keseharian.

Saya tak berminat menulis terang-terangan lantaran ini menyangkut kedewasaan. Kedewasaan yang menguji mental "seseorang" tatkala kami bertiga (saya bersama Mas Tok dan Mas Goen) menghajar Sabtu dini hari untuk mendaki Minggu 8 Maret 2009, dengan obrolan panjang, teh dingin, kopi, rokok, minyak gosok, dan kacang.

Obrolan panjang -- yang tadinya diikuti Mbak Lala dan Mbak Imel sebelum akhirnya keduanya pamitan tidur -- itu sebagian besar berpusar pada topik selingkuh. Kami bertukar pendapat, dan mendebatkan pendapat orang lain. Kami mencontohkan orang lain bahkan diri sendiri, malah kalau perlu membawa-bawa kasus orang tua kami dalam diskusi.

Diskusi yang tak ada ujungnya, bahkan ketika kami menyambungnya dalam sarapan nasi goreng di depan vila esok harinya, seperti halnya perselingkuhan itu sendiri, yang barangkali melibatkan dua di antara penghuni vila itu ...

***

DALAM perjalanan pulang yang disetiri Mas Goen, saya menerawang, membayangkan wajah mas Tok yang jujur, bersahaja, dan apa adanya. Tapi ada gurat kecewa yang tersamar. Ah, kapan-kapan saya akan menemaninya ngopi tanpa saya khawatir ia tak akan mengidolai (tulisan-tulisan) saya!

8 Mar 2009

IA HANYALAH BUNGA


NEGERI Hani's dikelilingi bambu. Papan-papan berpelitur membentang di balairung. Saya menjejak lantai dengan jantung yang bergegas, terutama ketika sebuah senyum gladiol mempersilakan kami -- saya dan Goenoeng Mulyo -- masuk.

Tak biasanya saya terkesiap, biarpun oleh dentum guntur. Tetapi kali ini saya diselimuti peri. Mereka berkejaran riang di sekeliling kepala dan memprovokasi saya untuk menyimpan senyum itu jauh di lubuk hati.

Lalu kami bergerak dengan dua kereta kencana ke Desa Kweni, bersama Ratu Imelda. Menghibur rakyat jelata dengan permainan dan gelak tawa, memberi anak-anak rasa rindu damai. Di sebuah balai, sewaktu kami menggambar dan menari, senyum ini memendar pelangi, memekarkan gladiolus primulinus. Membuat darah saya deras menyusuri aorta.

"Tak usah banyak-banyak lagu. Nanti kamu lelah," bisik saya ketika Gladiol menyanyi di rumah dinas adipati. Ia mengerjap-ngerjap mata, memberi isyarat tak apa.

Saya tak mengenalnya, meski dalam satu kereta kami berkendara. Namun ia seolah telah berpuluh tahun menjadi hulubalang hati, mengawal rasa pada saat sedih maupun gembira. Gladiol bisa tak berhenti berkata dan selalu ada hal yang ia ucapkan. Saya menikmati cerewetnya seperti mendaki partitur. Menikmati kecemburuan dan rasa senang.

Saya tak sanggup menyentuh manik matanya, meski dalam meja yang sama kami makan. Namun ia seolah telah menjadi bagian dari hari-hari saya yang retak, memberi saya napas yang teratur ketika saya sedang terengah-engah. Saya menikmati tawanya yang perih. Menikmati tatap matanya yang kosong ketika ia sendirian di beranda.

Saya tak mampu lepas dari belenggu ketika ia menghambur di hadapan saya dengan rentet keluh kesah perihal cintanya yang terenggut. Saya tercabik karena mendadak labirin itu menyedot saya dengan lekas!

"Ia hanyalah bunga. Diciptakan untuk memberi harum pada ruang hampa udara. Hanya akan membuat hatimu perih jika kau memetik serbuk sarinya. Ia hanyalah bunga ... " Kata Peri baik hati yang membangunkan tidur pendek saya, pagi hari tadi.

Ya, ia hanyalah bunga. Saya pulang dengan kereta kencana yang ditarik Santa Klaus menyusuri
Kota Rovaniemi, bersama salju yang beterbangan perlahan, tanpa pernah membawa gladiol di tangan ...





**
Gladiolus primulinus: gladiol 90 cm yang bertangkai halus dan kuat
Rovaniemi: kota kelahiran Santa Klaus, di Finlandia

4 Mar 2009

TATO


MIMIN sangat membenci tato. Ia menghardik Lyla agar menghapus tato di lengan. Diseretnya putri semata wayangnya itu ke dapur, mengaduk sabun colek, lalu dengan sentakan kasar ia menghalau gambar bunga, bonus makanan ringan.

Pekan silam, ia membentak remaja tanggung di taman kota gara-gara di leher si remaja ada tato bokong perempuan. Untunglah Barata tahu gelagat. Ditariknya Mimin dari sana demi dilihatnya teman-teman si remaja berniat mengeroyok.

"Kau ini kenapa?" Pelotot Barata saat mereka telah tenggelam di padat lalu lintas.

"Aku membenci tato!" Sergah Mimin.

"Simpan kebencianmu itu kalau tak ingin berurusan dengan polisi!" Timpal Barata tak kalah nyaring.

Pagi ini meja makan penuh selidik. Mimin tampak sibuk memasukkan sesuatu ke dalam tas. Barata mengunyah nasi dengan cemas. "Kau jejali apa saja tasmu itu, Min? Tak pernah sebelum ini tasmu itu menggelembung seperti itu," ujar Barata tak tahan.

"Pisau. Juga gunting dan dua cutter," kata Mimin dingin. Menimbulkan kengerian dahsyat di benak Barata.

"Untuk apa?"

"Aku akan menikam Ratih dan Sasa ... "

"Dua kawan kantormu itu?" Barata mendadak gemetar. Keringat dingin meleleh tak tertahan.

"Benar. Mereka pantas dicabik-cabik karena punya tato di pundak. Aku melihatnya saat senam kemarin ... "

Barata menggigil. Kalap telah mencapai puncaknya. "Keluarkan benda-benda itu dari tasmu! Sekarang! Atau mau kurebut dengan paksa?" Pekik Barata, membuat Lyla ketakutan.

Mimin merogoh tasnya. Menaruh gunting, cutter, dan pisau di atas meja. Matanya tetap liar. "Asal tahu saja, tanpa senjata ini pun aku bisa menusuk mata mereka dengan pulpen ... "

***

"ISTRIMU itu mungkin gila, Bar. Coba bawa ke psikiater," kata Syahrial lewat telepon. Barata memarkir mobilnya di seberang gerbang bank tempat Mimin bekerja. Ia meminta ijin kantornya absen sehari. Ia menduga bakal terjadi keributan di dalam bank, jerit pekik menggema di seantero gedung, lalu sirine polisi bersahutan sebelum mereka meringkus Mimin yang berlumuran darah karena baru saja membunuh dua teman kerjanya. Di tengah panik luar biasa, ia menelepon Syahrial.

Di waktu normal, Barata akan membentak Syahrial yang kurang ajar. Tapi, saat genting begini segenap masukan bermanfaat, terutama dari ahli jiwa macam Syahrial itu.

Lalu, usai ia lukiskan keanehan istrinya dan berjanji membawa Mimin ke rumah Syahrial, Barata menyeberang jalan. Sarapan dan merokok beberapa batang untuk menghalau cemas.

Sampai siang tak terjadi apa-apa. Ia menghubungi Mimin. Ponsel tak diangkat. Berulang demikian, sampai akhirnya ia memutuskan menelepon kantor bank. Oleh operator diberitahukan, Mimin meminta ijin pulang karena harus ke dokter.

Kecemasan Barata merangkak lagi ke kepala. Ia bergegas menghidupkan mesin, dan memutari kota. Ke dokter? Dokter mana? Dokter apa? Sakitkah Mimin? Ubun-ubun Barata berdenyut hebat. Dan akhirnya ia kelelahan setelah tak tahu harus kemana ia menuju.

Ia pun membelokkan mobil ke jalan pulang. Di halaman, ia lega karena tak ada mobil polisi di sana. Tadi ia sempat membayangkan Mimin diringkus aparat karena menusuk orang.

Di teras, tampak Mimin menebar senyum. Seperti seseorang yang sedang lega karena lulus melakukan perbuatan gila. Barata turun dan berjalan gontai. Di beranda pula, tiba-tiba Mimin memeluknya. Barata terperanjat. Tahu sang suami tengah penasaran, Mimin kemudian membentangkan secarik kertas. Barata menerimanya tanpa semangat.

"Positif, Mas. Kita akhirnya punya anak!" Ujar Mimin girang. Barata meneliti kertas dengan kaget yang belum berhenti. Disimaknya, lalu ia mendapat noktah yang merenggutnya dalam pusaran gembira tiada tara dari Dokter Hariman, dokter kandungan.

Barata pun mendekap Mimin dengan segenap rasa, seraya melihat Lyla dari punggung sang istri. Lyla, yang tengah bermain kertas di ruang tamu, sepertinya tak menyadari bahwa beberapa bulan lagi ia memiliki adik. Adik 'tiri' sebenarnya, karena ia bukan anak kandung Mimin-Barata, melainkan darah daging Purnomo, famili jauh Barata yang diadopsi sejak bayi.

***

"JADI hanya sampai di sini?" Ucap Meta Siregar. Matanya melotot, nyaris lepas dari kelopak.

"Ya, kita sudahi hubungan kita. Mimin menyadarkanku perihal arti kebersamaan. Kami segera punya anak," kata Barata, ringan, seringan beludru biru yang kini menyelimuti hatinya.

Meta Siregar mendengus kasar. Lalu ia berdiri, meraih blazer dari kursi, kemudian berdebum-debum keluar dari ruang Barata. Sekejap tadi, sebelum Meta sampai pintu, Barata masih sempat melihat tato naga di lengan kiri sekretarisnya itu ...


***
-Request Mbak Ernut yang menginginkan happy ending.
-Cerpen Tato pernah dimuat Harian Pikiran Rakyat, Bandung, edisi medio Juli 2006. Di atas adalah versi mininya.

1 Mar 2009

SELINGKUH


"Selingkuh sajalah, tunggu apa lagi? Apa perlu kucarikan WIL?"

FREDO menerima SMS itu pagi ini, tatkala matanya baru membuka separuh. Pengirimnya Lukas, teman demonstran di kampus.

Selingkuh? Semudah membalik telapak tangankah mendaratkan asmara ke perempuan berikutnya? Segampang itukah?

Sabtu petang Fredo mampir ke rumah Lukas di ujung barat Semarang. Rumah yang asri. Ada melati menjalar di pagar. Semerbaknya mengarungi udara, hinggap di hidung Fredo. Makin wangi ketika Ayu, istri Lukas, menyuguhkan teh panas. Perempuan cantik itu habis mandi rupanya. Aroma sabun menguarkan bebauan segar.

Namun wangi tak mampu membawa Fredo merangkak dari kegelisahan dan amarah.

Ia bercerita banyak perihal istrinya. Istri yang sangat ia percaya tetapi ketahuan mengirim pesan pendek ke pria lain. Pria itu bekas pacarnya.

"Bagaimana kau bisa memergoki istrimu mengirim SMS?" Tanya Lukas penasaran.

"Bagiamana caranya itu tak penting. Yang penting aku sangat meyakini keadilan. Serapi apa rahasia disimpan, pasti Tuhan membukanya suatu ketika," kata Fredo lesu.

"Apa sih isi SMS-nya?"

"Cuma basa-basi kukira. Tapi apapun bentuk pesan dan bagaimana bunyinya, ini telah melanggar komitmen kami. Aku menduga ia kerapkali berkirim pesan, atau bahkan menelepon pria itu, sebab aku pulang cuma sekali dalam seminggu. Malam-malam selagi anaknya telah tidur, siapa yang bisa mengintipnya ia tengah sibuk berkirim SMS?"

"Apa sih komitmen kalian?"

"Kami berjanji tak akan membawa masa lalu ke masa kini. Istriku bahkan pernah melontarkan kata "tobat" atas tabiatnya masa lalu. Aku menggenggam erat komitmen ini dengan mengubur dalam-dalam masa silam. Jangankan berkirim SMS, mencari tahu bekas pacarku kini hidup di mana dan dengan pria mana kini ia membina rumah tangga saja aku tak terpikir untuk melakukannya ..."

Lalu, setelah tuntas mencurahkan isi hati, Fredo pun pamitan.

Dan pagi ini, Lukas memrovokasi Fredo agar berselingkuh, pada saat ia juga sedang dianiaya nasib buruk lain: perusahaan mem-PHK-nya ...