25 Mar 2009

MENYONGSONG BATU-BATU


"Senyumlah kepada semua orang, nak, jangan sembunyikan pipi kiri setelah pipi kananmu ditampar. Ikhlaslah."



KAMBOJA terayun gontai di pelepah doa saya. Makam Bunda, Minggu (22 Maret) lalu, rebah oleh kesiur sunyi nan wingit. Saya terpekur. Takzim.

Sepi yang selalu saya pilih untuk mengunjungi Ibu dalam dialog panjang, tatkala hati saya perih. Ia duduk dengan mukena putih, menguntit mata saya dari siluet. Senyumnya menyemburat. Senyum yang senantiasa menggetarkan.

"Ada prahara apa, anakku?" Ucapnya, masih dengan bibir Ratu Balqis.

"Saya dianiaya, Bu," jawab saya, lirih.

"Perkelahian macam apa?"

"Pergulatan jiwa, Bu. Hati saya cedera."

"Oleh siapa? Masalah apa?"

"Tak banyak. Cuma perkara-perkara sepele. Tapi yang kecil itu membuatku ngilu."

Ibu meneliti wajah saya. Menerka-nerka. Membelai dengan tatapan syahdu. Lalu senyumnya mengembang.

"Ibu telah membaca apa yang membuatmu gersang, nak."

"Aku tak mampu lagi mengurai kekusutan ini, Bu. Aku lelah."

"Belajarlah pada angin. Ia berkesiur tanpa pamrih. Ia mengayunkan badan untuk menguras gerah. Ia bicara pada kita tentang keikhlasan. Ia murka tatkala mengingatkan, tapi itu tak terjadi andai kita tak melewati batas ... "

"Angin gagal memberiku suri tauladan."

"Itu karena kau tak membuat pagar yang kuat."

"Sudah, Bu ... "

"Belum, nak. Belum!"

"Jejak mana yang mendorongku ke sudut kelam, Bu?"

"Kau menjauhi Tuhan, dan Tuhan pun berangsur menjauh. Ibu tak pernah mengajarimu menampikNya kala dulu kau mengaji. Tuhan memberi sengatan lebah jika kau jumawa. Tuhan memberimu madu kalau kau bersikap manis. Pulang, dan bersihkan muka. Sujudlah padaNya!"

Maghrib menyusup di sela daun bambu. Saya melepas Ibu di pintu surga. Melambai. Bumi merekah, menghisap saya untuk tak gentar menyongsong batu-batu ...



**
Tepat 16 tahun Bunda meninggalkan kami

11 komentar:

  1. Anonim25/3/09

    terkadang saya masih merindukan aroma menthol yang kung sehabis mandi pagi ketika beliau minta saya mengaji. lepas satu surat Ar-Rahman, syahadat lirih terhembus dari getar bibirnya. saya raba kakinya yang mulai mendingin dan saya gosok kuat2 dengan harapan bila kakinya hangat, jiwanya ngotot tinggal.

    ternyata Izrail lebih kuasa dari rasa sayang seorang cucu. 11 tahun lalu. mungkin lagi kopdar di surga sama ibumu, maz. semoga.

    BalasHapus
  2. Ibu sosok yang selalu memberi contoh keikhlasan menghadapi semua ujian hidup, bagiku dia tidak ada duanya. 7th sudah beliau meninggalkanku.

    BalasHapus
  3. Anonim25/3/09

    "Belajarlah pada angin. Ia berkesiur tanpa pamrih. Ia mengayunkan badan untuk menguras gerah. Ia bicara pada kita tentang keikhlasan. Ia murka tatkala mengingatkan, tapi itu tak terjadi andai kita tak melewati batas ... "

    Nasehat yang sungguh indah dan bijak, jadi berfikir betapa sempitnya pikir ini... karena sebenarnya banyak hal yang dapat kita pelajari dari hembusan angin...

    Saya cuma ingin bilang... tulisan ini Mengagumkan...

    BalasHapus
  4. Anonim26/3/09

    hehehe... apa yg bisa kutulis tentang 'pelajaran', yang diajarkan oleh ibu, juga bapak ? sepertinya hanya hidup itu sendiri yang mengajariku nilainya. Tuhan yang mengajariku hidup.

    kok gelisah banget mas. ngobrol ?

    BalasHapus
  5. ijin mas...
    hanya ingin menikmati tiap lirih kata..
    percakapan antara mas dan 'Beliau'... :)

    BalasHapus
  6. Anonim26/3/09

    Suka banget dengan kalimat "jangan sembunyikan pipi kiri setelah pipi kananmu ditampar. Ikhlaslah."
    Karena aku percaya bahwa jika kita ikhlas memaafkan orang yang menganiaya (hati maupun fisik) maka kita pula yang merasakan manfaatnya di sisi lain....

    BalasHapus
  7. Anonim26/3/09

    Kami mengunjungi pusara bonda
    Sunyi pagi disinari suria
    Wangi berseri puspa kemboja
    Menyambut kami mewakili bonda

    Tegak kami di makam sepi
    Lalang-lalang tinggi berdiri
    Dua nisan terkapar mati
    Hanya papan dimakan bumi

    Dalam kenangan kami melihat
    Mesra kasih bonda menatap
    Sedang lena dalam rahap
    Dua tangan kaku berdakap

    Bibir bonda bersih lesu
    Pernah dulu mengucupi dahiku
    Kini kurasakan kasihnya lagi
    Meski jauh dibatasi bumi

    Nisan batu kami tegakkan
    Tiada lagi lalang memanjang
    Ada doa kami pohonkan
    Air mawar kami siramkan

    Senyum kemboja mengantar kami
    Meninggalkan makam sepi sendiri
    Damailah bonda dalam pengabadian
    Insan kerdil mengadap Tuhan

    Begitu bakti kami berikan
    Tiada sama bonda melahirkan
    Kasih bonda tiada sempadan
    Kemuncak murni kemuliaan insan

    (Puisi oleh Usman Awang)

    BalasHapus
  8. Anonim26/3/09

    belajarlah pada serumpun kata di sini untuk kembali menyegarkan darah darah kotor saya
    filosofi sekali mas aku nganti mbliyer hahahaha

    BalasHapus
  9. Anonim27/3/09

    aku tepekur bang. diam. *jadi pengen sholat*
    Thx bang..

    BalasHapus
  10. Anonim27/3/09

    gumaman lirih seorang yatim, membuat terjaga mereka yang masih tertunggui kasih orangtua...

    BalasHapus
  11. Kali ini koq kelam banget mas? ada apakah dg dirimu? hayo kayuh badai lagi seperti biasa!

    BalasHapus

Silakan mengomentari