Search

29 Nov 2008

I LOVE YOU


Selamat sore Radio Gaya dengan Priska, ada yang bisa dibantu?

Suara renyah-merekah dan selancar answering machine.

“Bisa minta lagu, Mbak?” Kata saya. Tol kebetulan lengang. Kecepatan 80 km/jam saat spedometer saya lirik. Telepon yang diliputi debar dada, sebab seumur-umur baru sekarang saya mencoba request lagu di radio. Dulu saya pernah bilang, orang yang menelepon radio cuma untuk minta lagu adalah tolol.

Baik. Mas atau Bapak siapa ini?

“Arief. Mas saja. Masih imut kebetulan,” jawab saya sekenanya seraya nyengir kuda. Ia mengikik lembut. Kalau saya ladeni bisa lama. Mendadak terlintas pikiran pulsa habis karena tadi tinggal 5 ribu saat saya mulai menelepon.

Oke Mas Arief. Mau minta lagu apa?

“Ini, Mbak, I Love You. Sofie.”

O, I Love You-nya Sofie? Wow! Itu juga lagu favorit saya. Baik, sebentar lagi kita putar lagu itu.

“Makasih, Mbak.”

Klik!

Tak lama berselang, suara lain – kali ini diudarakan dan bisa disimak siapapun yang memilih frekuensi ini melalui radio – menggaung di kabin Accord saya, “Buat Mas Arief yang sedan melaju di Tol Jatingaleh menuju Solo, selamat menempuh perjalanan. Lagu ini, kata Mas Arief, ditujukan kepada seseorang yang memiliki tangan sehalus sutera dengan cincin mahkota Joan of Arc, bintik mata mirip pelangi, dan senyum yang menguarkan parfum EA. Inilah Sofie dengan I Love You.”

Sompret! Siapa bilang begitu tadi? Ngarang ah!

Tapi makian saya dikubur secara seksama oleh intro I Love You yang menyayat, lantas ditingkahi lirik lirih tapi megah ini:

Since the day we met it seems like heaven came to me
i’ve got this funny sense of humor that delivers me
is it good or bad that i believe each word you say
it feel that nothing can go wrong in your company


i’m honest
not untauchable
i’m a woman but not free
i’m fighting for my honour and i’m not so quickly pleased

i’m honest
not untauchable
and i don’t like second touch
but i know that since the day i do it’s gotten out of hand
i love you….

don’t wonder how i know your name it’s wisphered by the breeze
and in a certain way it’s hypnotizing me
how can you size the space that we love in admiration
it is frightening it is something i can see

don’t… i love you…


27 Nov 2008

SENYUM RANUM ANGEL IBRAHIM


SAYA menggandrungi sejumlah perempuan. Diantaranya Ina Rawie, Paramitha Rusady, Melanie Putria, Christine Hakim, dan Angel Ibrahim.

Ina yang penyanyi melankolis itu hilang entah kemana. Christine, Melanie dan Paramitha masih berkelebat di layar kaca. Nah, kemana Angel Ibrahim?

Berita terakhir dilansir kala ia dinikahi Nelson Padamean Purba, pria Batak yang saat menyunting Angel pada 5 Juli 2003 berpangkat Ajun Komisaris Polisi dan Wakapolres Bandung.

Berita gencar berikutnya tatkala ia meringkuk di rumah sakit lantaran DB, Maret 2004. Bukan berita biasa karena Angel berniat mengakhiri hidupnya dengan suntik racun guna menyelamatkan jabang bayi di rahimnya. Niat ini batal karena ia tersadar dari stressnya.

Sesudah itu jarang infotainmen mengabarkannya. Perempuan kelahiran Jakarta, 9 Mei 1969 yang blasteran Ambon-Cina-Portugis dan merampungkan S3-nya di Universitas Indonesia pada 2003 ini membiarkan kita melewati sejumlah momen pentingnya, umpama ia memasuki ranah politik.

Terus terang saya rindu padanya. Wajah yang ranum dan pualam. Perempuan yang tak menyiratkan bengal, lebih-lebih nakal. Senyumnya enak dilihat, apalagi tatkala ia tersipu. Saat saya belum muak dengan sinetron, saya rajin menyimaknya kala ia berakting untuk Saat Memberi Saat Menerima, Istana Impian, dan Indahnya Rembulan Teriknya Matahari, medio 1990.

Saya pernah berdoa kapan-kapan dipertemukan dengannya. Nah, doa saya terkabul. Beberapa malam lalu, saya menjumpainya, meski dalam bentuk poster. Poster MMT yang dipancang secara sederhana dengan dua batang bambu ini terpasang di Jalan Ngaliyan, Semarang Barat.

Bukan poster film atau sinetron, melainkan foto dirinya sedang propaganda sehubungan ia mencalegkan diri untuk daerah perwakilan Semarang dan sekitarnya, dengan nama asli Metty Murniawati Ibrahim, SE, MM. Saya foto poster itu, dan berjanji akan mencoblosnya saat Pemilu 2009 tiba. Tak masalah jika kelak ia kalah ...

26 Nov 2008

SAYA CURI ROKOK ISTRI






SAYA cuti merokok. Itu kabar gembira bagi siapa saja yang pernah menggurui saya. Ya, tiga hari saya tak berurusan dengan cengkeh, sebelum akhirnya saya menyerah juga.

“Selamat! Ternyata Oom bisa melakukannya!” Teriak Dian, keponakan saya yang jurusan biologi di SMA-nya, via SMS. Ia paling rajin mengkhotbahi saya perihal bahaya nikotin, melebihi beberapa kawan di blog yang juga getol beretorika.

“Tumben nggak beli rokok, Mas?” Tanya Bu Tik, kios pojok gang, siang saat saya belanja untuk tukang. Saya lagi puasa, Bu, jawab saya sekenanya, tak peduli ia tampak kecewa karena jumlah belanjaan saya berkurang Rp 8 ribuan, seharga Class Mild, rokok saya.

Saya tak paham mengapa dokter menganjurkan agar saya tak merokok ketika saya mengeluhkan batuk. Toh penyebab batuk bisa apa saja, dari gorengan, knalpot, sampai kentut. “Tolong rokoknya dikurangi, Pak,” kata Dokter Beny, tanpa dosa. Bukankah dengan tak merokok saya mengurangi pendapatan kios maupun petani tembakau? Lagipula, dokter gemuk ini juga perokok!

Tapi saya turuti. Hari pertama ganjil rasanya. Biasanya setelah sarapan saya merokok, lalu siangnya ketika mulai beraktivitas. Keganjilan kian menjadi-jadi tatkala saya mengobrol dengan kawan. Mereka mengepulkan gulungan-gulungan pekat, menjentikkan abu di asbak, dan menyulut batang berikutnya saat rokok pertama telah musnah, yang memancing air liur. Saya komat kamit berdoa agar tak tergoda.

Hari kedua, saya mulai terbiasa. Saya taruh air kemasan di selangkangan saat bermobil, untuk mengatasi kebiasaan merokok ketika menyetir. Berulang-ulang saya tenggak air untuk mengatasi hasrat merokok.

Malam, hari ketiga, baru saya gelisah. Saat menulis, tangan keringatan. Kejanggalan datang, sebab saya biasa menaruh asbak di ujung kibod. Sambil menerawang, biasanya saya isap rokok dalam-dalam, kemudian menemukan banyak kata untuk dituang. Tak ayal saya tersiksa karena otak mendadak berkerak.

Itu sebabnya, saya memutuskan dengan bulat: saya harus merokok!

Tapi malam buta dan gerimis begini mana ada kios buka? Aha, Inilah solusinya: Saya ‘pinjam’ dulu rokok istri. Dia biasa menyimpan mentol di tas atau meja rias. Saya berjingkat-jingkat menjangkau tas kerja di meja, lalu merogohnya dengan napas memburu. Ups, ada! Saya berbinar-binar dibuatnya.

Nah, saya mulai tenang, mengetik pun lancar, meski sedikit pahit karena perlu adaptasi dulu setelah sekian hari tak menaruh rokok di bibir.

“Papaaaaaaa ... !!!” Suara melengking dari ruang tengah, pagi buta saat saya baru saja memeluk guling. Pasti itu istri saya yang marah mendapati kantong mentolnya kosong, sementara ia perlu merokok saat buang hajat.

Saya pura-pura pulas.

24 Nov 2008

JANGAN JADI SPIDER-MAN!


Jangan jadi Spider-Man, Mas, karena aku cinta Doc Ock.”

Seseorang mewanti-wanti begitu pada saya, tiba-tiba, dan tak saya duga. Doc Ock yang dimaksud tentu Dr Otto Octavius, musuh Spider-Man di sekuel yang kedua.

Membayangkan Doc Ock mengamuk dengan belalai besinya saja saya ngeri, apalagi mencoba untuk cinta. Ia sadis dan tak punya perasaan. Ia sangar dan darahnya dialiri setan. Ia ingin menguasai dunia, dan tak peduli sesama.

Dari sudut mana ia pantas disanjung dan dipuja? Dari sisi mana ia layak digandrungi dan dicinta? Olala! Saya tahu sekarang! Pastilah lantaran Alfred Molina, pria kelahiran London, 24 Mei 1953 yang mengawali kariernya di film Raiders of The Lost Ark (1981) itu! Ia yang jadi Doc Ock di Spider-Man 2.

Dugaan itu menyelinap di kepala, karena yang mengaku “cinta Doc Ock” ini adalah wanita. Ia mungkin silau dengan ketampanan Alfred Molina, dan barangkali saja terobsesi. Padahal, sebelum-sebelumnya ia penuh keramahtamahan, kelemahlembutan, gokil tapi sopan, penuh harga diri dan memahami makna kebajikan.

Saya masygul. Saya teramat kecewa. Saya terbangun dari mimpi tatkala menyadari, di belahan hati bidadari ternyata juga menyimpan kejahatan!

"Karena ada pahlawan-pahlawan aneh, maka diciptakanlah musuh-musuh aneh oleh pembikin komik," ujarnya. Entah becanda, atau bermaksud membela diri. Tapi saya telanjur malas mendengarnya.

22 Nov 2008

KEHILANGAN







SAYA kehilangan. Bukan dompet atau liontin, tetapi pertemanan.

Kisaran 5-6 bulan lalu, saya punya empat ‘adik’, Blue (http://sofianblue.wordpress.com/), Mungil (http://www.jejaksimungil.com/), Enno (http://falling-eve.blogspot.com/) dan Mira (http://ulies.blog.friendster.com/).

Empat ‘adik’ yang saya temukan dari jagat blog tatkala saya kesepian lantaran ketiga adik kandung saya menyebar dari Kudus hingga Pontianak, meski saat bertemu mereka saya berada dalam pusaran kantor surat kabar yang riuh.

Saya benar-benar menjadi ‘abang’ dari sisi usia hingga pengalaman. Pengalaman hidup maksud saya. Pengalaman menulis? Ini relatif, walau saya pernah merapori blog keempatnya di http://arieffirhanusa.blogspot.com/2008/06/mereka-menuang-kata-kata.html#comments

Hari-hari begitu vertikal dan horizontal. Blue, Enno, Mira dan Mungil tak hanya via YM saat mengadu, melainkan juga bertelepon dan mengirim pesan pendek. Telepon remeh hingga berat, hanya haha-hihi sampai sesenggukan karena timbul masalah dengan pacar atau mantan pacar.

Pendek kata, saya sangat bahagia, sangat dihargai, meski Enno amat bawel dan gemar protes. Terkadang bahkan meledek, nyinyir, dan sewot. Jarak Semarang-Jakarta (keempatnya berada di DKI), tak berpengaruh. Seakan kami bertetangga. Seolah kami serumah.

Tetapi angin terkadang jahat. Daya apungnya mempengaruhi perubahan prespektif dan sikap. Kehilangan yang saya rasakan barangkali lantaran saya tak bisa menjadi ‘abang’ yang baik. Tak mampu mengabadikan gambar dalam bingkai yang kokoh. Tak becus melindungi dan malas menyapa.

Saya blogaholic disamping cerpenholic dan maniak film. Saya berselancar dan mengabaikan ‘kulit’, sehingga tatkala muncul teman-teman baru, famili-famili baru, rangsangan-rangsangan baru, saya silau dan gagal menapakkan kaki ke lajur yang seharusnya.

Saya bersemu gembira ketika membaca komentar kawan-kawan baru, namun menyelinap kegetiran yang amat sangat ketika mengingat keempatnya.

Saya rindu Enno yang getol mengadili, Blue yang sentimentil, Mira yang asyik kala nyolot, dan Mungil yang kolokan. Saya kangen mereka dan ingin memeluknya. Saya menahan rindu bertalu-talu.

Bukalah pintu, adik-adikku, Abang segera pulang!


19 Nov 2008

BIDADARI SATURNUS


“Pernahkah kau membayangkan kita duduk di bawah merkuri, menghitung bintang sambil mengunyah cherry?”

AKU menatapnya dengan kelembutan maksimal. Sulit menerka apa yang sedang ia pikirkan manakala mata itu senantiasa ceria. Berulas-ulas senyum yang kukirim kepadanya membentur batu belaka.

Sudah seminggu ini ia di rumahku. Pesawatnya mendarat darurat di sisi rel kereta api karena planet Saturnus, asalnya, sedang bergejolak lantaran terjadi pembengkakan amonia dan metana. Pembengkakan itu menciptakan suhu atmosfer yang membara sehingga seluruh penduduk harus mengungsi ke bumi.

Aku merawatnya seperti mengasuh bayi. Membuatnya tetap sehalus pualam. Memberinya mantel saat ia mengerjap risau ketika menghirup udara senja. Hanya senyum yang ia berikan, sementara aku menantinya dengan gelisah agar kami bercakap-cakap.

“Percakapan apa yang kau inginkan?” Sebuah suara mengagetkan lamunan. Aku terperanjat. Menerka-nerka wajahnya yang sangat stabil. Mengawasi bibirnya untuk meyakinkan bahwa ia yang tadi berucap.

“Hm. Aku hanya ingin yakin bahwa kau baik-baik saja. Katakanlah sesuatu.”

“Aku baik-baik saja. Tak seperti yang kau bayangkan, di Saturnus aku dikenal ceriwis,” ia mengulum senyum. Menciptakan debur yang tak menentu di paru-paru.

“Lalu mengapa di sini kau banyak diam?”

“Aku hanya ingin yakin bahwa kau bukan seperti yang kubayangkan.”

“Pria yang tak bisa dipercaya, begitukah bayanganmu?”

“Oh, tidak. Kita dari planet yang berbeda. Dalam empat puluh tahun usiaku, aku mempertahankan diri dengan tradisi Saturnus, planet yang memiliki ribuan cincin itu. Planet yang menempa penduduknya untuk kuat dalam pertahanan. Bumi kami kenali sebagai planet yang jahat. Tapi apa yang kami yakini itu tak sepenuhnya benar. Kau salah satu yang baik, bahkan super baik. Seminggu ini aku mencoba mengenalmu.”

Malamnya aku bawa ia gazebo. Menyimak sejumlah lagu. Ia suka Biru Vina Panduwinata. Bibirnya mencoba bergerak menirukan. ... tiada pernah aku bahagia, sebahagia kini oh kasih//sepertinya kubermimpi, dan hampir tak percaya, hadapi kenyataan ini ... Kami terkekeh geli. Rembulan tampak sungkan. Angin bergerak berarak menciptakan kesiur lembut di dahan akasia.

Dini hari ia kuselimuti. Menjaganya dari lembab embun kala matanya terpejam. Membuatnya tetap lelap, dengan dada dan hidung yang naik turun.

Diam-diam aku berdoa supaya ia tak pulang ke planetnya ...

18 Nov 2008

PRIA BERKEPALA BUAYA


PRIA berkepala buaya itu berkali-kali menyelinap dalam mimpi Salma. Menebar ancaman yang membuat tidurnya tak nyaman.

Kepada Lena ia menceritakannya, dengan getar kepanikan yang melebihi kisah tentang pertama ia menstruasi. Tetapi sahabatnya itu sama sekali tak punya belas kasihan dan malah terpingkal-pingkal.

“Jangan sering-sering nonton film horor, Neng. Itulah akibatnya,” ujar Lena di tengah tawanya yang nyaring. Salma melenguh kecewa.

Sorenya ia mendekati Mama. “Ma, Salma mimpi buruk. Ada pria berkepala buaya yang terus menerus-menerus menguntit. Salma takut.”

Bersikap kolokan biasanya menyita perhatian Mama, sebagaimana ia mengadu karena diganggu temannya di sekolah, atau suatu pagi didapatinya bulu tumbuh meremang di bagian tubuhnya yang tertutup.

Sang mama sejenak menyimak paras gadisnya. Memelorotkan kacamata. Dijentiknya hidung perawan ranum itu. “Jangan kelewatan kalau bercanda karena akan terbawa saat kamu memicingkan mata. Ayo belajar sana, Mama tahu besok kamu ulangan.”

Salma menatap Mama putus asa. Dari jendela kamar ia menerawang jauh. Tak ia pedulikan kupu-kupu putih yang terbang mendekat untuk mengucap selamat tidur seperti biasanya. Kekalutan benar-benar menguntitnya setiap malam tiba. Bahkan ketika hanya mengingat malam.

Terkadang ia ingin menulis surat pada Papa, mengabarkan mimpi buruknya. Tapi Salma tak tahu bagaimana memulai. Di benaknya nyaris tak ada lagi perkataan untuk ia tuangkan ke kertas tertuju Papa. Menelepon mungkin lebih baik. Mendengar kata halo yang berat. Dan telepon akan segera ditutup kasar oleh Salma tanpa sepatah kata sempat terucap, saat suara bariton di ujung sana bingung siapa yang menelepon.

Dua tahun sudah Papa pergi. Salma pernah menyimpan beberapa fotonya secara rahasia di tumpukan buku. Kini sudah tak bersisa lagi. Salma menyobeknya menjadi cuilan-cuilan kecil. Membakarnya penuh amarah di pekarangan rumah. Menginjak-injak abunya hingga melesak ke tanah.

Saat belum dibakar, sesekali ditariknya foto itu dari persembunyian, menatap deretan gigi putih di sela kumis tebal. Ah, mata yang selalu tersenyum dan berkecipak. Seperti ketika suatu hari tanpa sengaja Salma melihat kecipak menakjubkan dari kamar mandi.

Ia hanya akan melintas karena ingin menyedu kopi. Menuju rak piring untuk mengambil cangkir, ia harus melewati kamar mandi. Minggu pagi yang sepi. Mama arisan. Bik Inah mengobrol dengan pembantu sebelah.

Tepat ketika sejengkal lagi mencapai rak, sesuatu menyedotnya. Pintu kamar mandi separuh terbuka. Dilihatnya lekuk tubuh seorang pria dewasa yang berlumur busa sabun. Salma terkesima, lupa harus bergegas menjauh karena yang ia tatap adalah ayahnya sendiri ...


Catatan kaki

**Setelah peristiwa kamar mandi itu, Salma mempergoki sang ayah bergandengan tangan di sebuah mal dengan wanita sintal. Sebuah pukulan amat berat. Ia oleng dan merasa terhina, sebab diam-diam ia mencintai ayahnya. Cinta yang menyimpang, tapi ironisnya Salma menikmati.

Bertahun kemudian, ia mendapatkan paradigma baru mengenai cinta. Salma merasa nyaman berada di sisi wanita, lebih karena pria tak ubahnya jentik-jentik di selokan yang siap menjadi nyamuk pengisap darah. Sikap inilah yang melahirkan mimpi buruk tentang "pria berkepala buaya", manifestasi dari kebenciannya terhadap kaum adam.

Kisah nyata ini dituturkan oleh “Y”, perempuan Solo yang memilih menjadi lesbian**

14 Nov 2008

BUNGA-BUNGA APRILIA DARI SYLVIA


How are you? Hopefully you are fine. I am writing this letter will go on to teach at the University of Suwon. Being a lecturer is my dream, and pray you take my dream to realize it.

How about your family? OK, right? To tell them that we meet for three weeks in Korea to make the memories are not forgotten. I have also talked to my husband about the memories of 1999.

We have given one child, male, 1.5 years old. My husband works in the urban research institution owned by the government of South Korea. I send our family photo for you.

Bye. Hopefully, the steps you always blessed God.

With all the nostalgic,
Sylvia


SEPERTI capung yang mendadak hinggap di lembayung. Setelah tujuh tahun. Ya, setelah sekian lama. Saya nyaris lupa padanya. Lupa akan sebuah sore dengan udara 25 derajad celcius di World Cup Stadium, Suwon, Korea Selatan.

“Nama saya Sylvia Koh. Panggil saja Silver. Saya dari koran Jeonbuk Yonhap,” ucapnya acuh seraya menarik pulang lengannya. Tangan saya masih menggantung di udara.

Ia menyentak keluar lensa Nikon 400 mili dari kotak alumunium. Saya terkesima mendengar derit lembut gesekan lensa dengan wadah. Diam-diam saya murung. Maklum, dari Jakarta saya hanya dibekali Nikon 300 mili. Itupun sudah bopeng.

Sepanjang pertandingan sepakbola ia membidik dengan intensitas yang mengagumkan. Saya segera ingat film Sniper-nya Tom Berenger. Sesekali saya mencuri pandang, tapi ia menganggapnya angin lalu saja.

Tapi adakalanya kita percaya akan pepatah: “jangan lihat orang dari kulit”. Malamnya ia begitu mempesona dengan senyum dan gaun cinderela. Acara welcome party seperti perjamuan para raja-raja lengkap permaisurinya. Tak pernah terbayangkan saya tiba-tiba jadi ‘raja’. Ia menggamit lengan saya, meski saya protes. Protes kecil yang dusta belaka, karena sesungguhnyalah saya ingin menyentuh kulitnya yang sehalus anggur.

Di lobi Hotel Continental, Seoul, usai acara, ia terisak. Sambil menyapu linang airmata di pipi, Sylvia menuturkan tentang kegersangan hatinya karena diputus sepihak oleh pacarnya. “Orangtuanya tidak setuju karena saya miskin,” ungkapnya lirih.

Kemiskinan memang menjadi alasan penting ketika seseorang akan memutuskan sesuatu atas dasar napsu. Paginya saya mampir ke rumah Sylvia di Suwon, 2 jam perjalanan kereta dari Seoul. Ibunya menjajakan donat di beranda rumah. Tetapi senyum yang mengembang di bibir dua orangtua Sylvia adalah kekayaan yang tiada tara. Mereka menawari saya makan siang, dengan bahasa isyarat, sebab mereka termasuk di luar (hanya) 30 persen warga Korea yang bisa berbahasa Inggris.

***

BANDARA Internasional Seoul lembab. Tatapan mata Sylvia membuat dada saya ngilu dan terasing. Tanpa ia bicara, saya membaca rona kehilangan yang beredar dari pupil matanya.

“Saya tak tahu apa yang harus saya katakan. Tiga minggu ini kamu membuatku ingin memuja sesuatu. Jangan pernah melupakan saya,” ujarnya, sayup-sayup, di bibir pintu keberangkatan.

Saya mengangkat dagunya dengan telunjuk. “Jangan pernah mengatakan itu.”

“Setelah sampai Indonesia kamu pasti tak menyisakan apa-apa tentang kebersamaan kita.”

“Saya tak ingin menghapusnya dari ingatan.”

“Saya tak mempercayainya ...”

Terkadang bumi berotasi tanpa kendali. Beragam peristiwa adalah berbilah-bilah hal yang bisa membuat orang melupakan tentang kenangan, meski kenangan paling indah sekalipun.

Setelah belasan kali kami berkirim surat, tibalah saatnya kami tak ingat satu sama lain. Sampai akhirnya Sylvia mengirim suratnya via email, kemarin pagi!


Semarang, 14 November 2008
**Mengenang bunga-bunga aprilia yang ditanam Sylvia di dada saya**

13 Nov 2008

RUMAH ANGSA


ANGSA itu berkecipak sangat dekat dan mendadak.

“Hai, mengapa kau tampak gelisah? Ayo berenang di danau ini seperti ketika aku Berkaca dengan Bintang,” ujarnya di tengah capuccino, coca cola dingin, dan cokelat panas.

Aku membungkuk, meneliti mata angsa yang bergerak ringan. Mata yang beralis lurus memanjang membentuk sebuah bujur dengan keanekaragaman kekuatan ketika ia mempertahankan bulu-bulunya agar senantiasa putih.

Bintik-bintik kecil air bergulir perlahan melalui bulu lehernya, ketika ia meninggalkan telaga untuk bergabung dengan ujung-ujung kakiku. Ia tahu aku tidak mudah mencebur untuk berenang bersamanya mengarungi air.

Bergegas ia mematuk lembut betisku, membuat gerakan-gerakan memutar yang menciptakan rasa nyaman. Aku jongkok untuk meraih pangkal lehernya dan mengelus. Mengabarkan padanya bahwa telah ia ciptakan surga kecil.

“Kau tak perlu bertanya seperti apa kegelisahan ini, sebab aku telah mengatakannya lewat mata. Kau angsaku atau bukan, tetapi telah kau siangi siang ini dengan banyak hal yang membuatku gusar karena cukup terlambat mengenalmu. Ah, andai saja kita dipertemukan jauh ketika kita sama-sama belum melangkah, sama-sama remaja,” ujarku lirih di sisinya.

Angsa itu tersenyum. Sulit menerjemahkan makna senyumnya. Yang membias adalah sebentuk magma. Esok aku akan menciptakan kristal-kristal kehidupan dari magma yang ia berikan.

(Terima kasih tak terhingga untuk “A” dan Anuga atas siang yang hebat)

12 Nov 2008

SETELAH BONGKOK


Ipan sekonyong-konyong datang tatkala pagi ini saya sedang mengelap kaca mobil. Sekian lama ia tak berkunjung. Itu mengapa tadi saya sempat pangling.

Setelah basa-basi ia mengatakan sesuatu yang saya tak menduganya. “Saya baru saja di-PHK!” Ujarnya girang, di ruang tamu, saat teh masih mengepulkan asap.

Saya simak wajahnya. Pupil matanya yang stabil saya terjemahkan bahwa ia tidak bersedih. “Dipecat kok malah gembira. Coba kau cerita. Ada-ada saja,” rungutku setengah kesal. Saya berharap ia menggebrak meja, atau menyumpah, memaki, bahkan kalau perlu mengumpat panjang saat menuturkan PHK-nya itu.

“Tentu saja saya gembira karena bebas dari belenggu kesedihan tiap hari. Pekerjaan membebani saya sampai maag, liver, dan migren tapi gaji saya sama dengan bawahan."

"Berapa?"

"Rp ...."

Saya tercengang. "Itu kan sama dengan pegawai kasar di pabrik garmen," desis saya.

Ia tersenyum getir.

Ipan yang saya kenal memang senang berapi-api. Lebih dari separuh hidupnya ia abdikan untuk media. Ia setia menjadi jurnalis dan tak pernah mengeluh, padahal kalau mau ia bisa membuka bengkel atau toko ponsel dari pesangon besar yang ia dapatkan dari sebuah tabloid terkemuka, saat ia mengundurkan diri, tahun 2002.

Sejak beberapa waktu terakhir saya tak mendengar ia bekerja dimana dan menjadi apa. Nah, kalau pagi ini ia datang, tentu tak hanya untuk mengadu.

Ia menyeruput teh. Sambil tetap memperhatikannya, iseng saya bertanya. “Pesangonnya besar, dong?”

Ia mendongak, tersedak, lalu tertawa ngakak. Saya ikutan terbahak-bahak. Lalu kami meluncur ke warung pecel terenak di kompleks perumahan. Saya yang mentraktir.

10 Nov 2008

IBU, MY HERO


"Rif, pulanglah. Ibu kangen."

Surat yang amat pendek. Ditangkup sampul kecil. Bu kos menyodorkannya tiga menit lalu.

Turun dari bus, angin pedesaan menerpa. Sulur-sulur rambut menampar-nampar pipi dengan lembut.

“Kau tak boleh segondrong itu. Nanti dikira kau anak nakal oleh para tetangga,” kata Ibu beberapa minggu silam. Saya tersenyum demi membayangkan Ibu akan mengomel lantaran saya lupa mencukur rambut.

Ibu menyambut dengan senyum bidadari di beranda. Saya mencium tangan kemudian pipinya. Baru kemudian Bapak. Tas saya disambar Ibu, kemudian ditaruh di sudut.

Sorenya kami bertiga duduk di bawah mangga. “Gimana kuliahmu?” Tanya Ibu sekonyong-konyong.

“Biasa saja, Bu. Ada beberapa praktik yang harus aku ikuti.” Saya mengerem kalimat untuk tak membuat Ibu berpikir keras. Ada beberapa alat yang harus saya beli untuk menunjang praktik, salah satunya kamera. Dan saya tahu Ibu-Bapak sedang kesulitan uang.

“Ayo ngomonglah kalau ada kesulitan. Ibu lihat matamu mengatakannya.” Ibu menatap dengan seksama. Saya bimbang sejenak.

“Ini, Bu, sebenarnya aku perlu kamera. Tustel sederhana saja. Ada praktik memotret ...”

“Berapa harganya?”

“Mungkin 500-an. Itu bekas. Kalau baru harganya jutaan.”

Ibu menerawang sebentar. “Besok kau beli kamera itu. Kalung ini dijual saja. Tak apa, Ibu bisa beli lagi lain waktu,” ujarnya seraya melepas kalung dari leher. Bapak mencoba meyakinkan saya dengan tatapan tenteram. Saya terharu dan tak bisa berkata apa-apa. Ingin bergegas menciumnya, memeluknya erat-erat menuju atmosfer ketujuh. Mata saya berkaca-kaca.

***

SEKIAN tahun berlalu. Kamera merk Pentax itu masih saya simpan. Terkadang saya menatapnya lama-lama. Senyum Ibu membias dan berkelebat. Senyum teduh yang mengalirkan energi berlimpah. Bukan hanya karena dari kamera itu saya akhirnya bisa memotret dengan benar dalam banyak liputan di negeri sendiri serta berbagai negara, namun momen siang di bawah mangga itu seolah membekali saya akan kekuatan seorang pahlawan.

Ibu adalah pahlawan saya. Cengkeraman tangannya pada detik-detik beliau menghembuskan napas terakhir pada suatu subuh di RS Telogorejo, Semarang, adalah sebilah pedang!

9 Nov 2008

KACA CERMIN TUKUL


SAYA tak kenal Tukul, meski sama-sama Semarang. Beberapa kali kami menghubungi, tapi selalu yang ber-”halo” adalah asistennya. Sampai “Empat Mata” dibredel KPI, cuma sekali media kami memuat wawancara eksklusifnya. Itu terjadi ketika ia menyanyi di launching Daihatsu Grand Max di halaman sebuah mal Semarang.

Saya penyuka Tukul. Ia lucu tanpa dikarbit. Namun belakangan banyolannya garing, segaring “Empat Mata” dengan seting panggung baru yang tampak asing.

Pagi, di kantor, usai membaca berita pembredelan “Empat Mata”, seorang teman berkomentar nyinyir: “Iya saja ditutup, lha wong ratingnya mulai turun. Jangan-jangan Trans7 kongkalikong dengan KPI, seolah-olah terjadi pembredelan gara-gara bintang tamunya Sumanto dan orang makan kodok. Padahal sebenarnya “Empat Mata” mulai kehilangan iklan.” Semoga ini tuduhan ngawur.

Tukul, boleh jadi, akan dicatat sejarah. Ia menjadi motivator, disengaja maupun tidak. Nyaris setiap tayang ia mengajak untuk bersemangat bagi orang-orang yang dibelit nasib. Ia menciptakan kaca cermin yang memantulkan perguliran alam, dari buntung ke untung, dari limbung ke melambung.

Tetapi “dari tanah akan kembali ke tanah”. Honor Rp 20 juta perepisode “Empat Mata” sudah cukup untuk investasi jangka panjang baginya. Jikapun sesudah “Empat Mata” ia tak lagi lucu, Tukul akan tetap abadi.

5 Nov 2008

SURAT UNTUK OBAMA


Kepada Pak Barack Obama,

Hari ini Anda orang paling bahagia di dunia. Tapi Anda bukan Harrison Ford dalam film Air Force One, atau Rambo, atau Superman, meski saya berharap Anda menjadi superman untuk memungkasi krisis global.

Di seluruh jaringan televisi Indonesia, senyum Anda berseliweran. Bukan senyum kemenangan semata saya kira, melainkan ayunan kerendahhatian seseorang yang akan menjadi pusat perhatian ke beberapa tahun di depan.

Itu mengapa saya mendadak legawa menerima Anda sebagai kepala suku sebuah negara berjuluk “Polisi Dunia”, meski saya tak punya hak suara untuk mencoblos Anda.

Namun ini belum garansi untuk mengabadikan Anda dalam kubus sejarah yang harum. George Walker Bush disanjung sebelum ia dilantik pada 20 Januari 2001 sebagai presiden USA ke 43. Tetapi ia melakukan beberapa hal bodoh dan membohongi rakyat Amerika Serikat.

Bush menyerang Irak sejak Kamis (20/3/2003), sebagai manifestasi atas kenyataan bahwa Barat selalu menginvasi Timur Tengah dengan anggapan "memerdekakan" rakyat dari kesewenang-wenangan dan membawa modernisasi lewat kekuatan militer. Lalu juga menyerbu Afghanistan.

Serangan di Afghanistan dan Irak menyebabkan ribuan penduduk sipil tewas. Dampak negatif lainnya membuat semakin merebaknya aktivitas terorisme di dua negara ini. Perang di Afghanistan dan Irak membuat rakyat Amerika harus menanggung kerugian miliaran dolar, begitu juga negara-negara di Timur Tengah.

Pak Obama, senyum Anda yang ganteng mungkin akan berguna untuk meredam gejolak dunia, sebagaimana dikatakan mantan guru SD Anda di Jakarta bahwa Anda sering menjadi penengah kala terjadi perkelahian.

Anda blasteran Amerika-Kenya yang supel dan bersahaja, sehingga cukup bagi Anda makan dengan gaji sebagai presiden, dan tak perlu mengutil seperti yang dilakukan hampir seluruh pejabat pemerintah Indonesia.

Salam saya untuk istri dan anak-anak Anda, Michelle Obama, Malia Ann dan Natasha. Semoga Tuhan membimbing Anda menapak jalan yang benar.


Salam,
Arief Firhanusa

PULANG


HUJAN hari ini seperti hujan kemarin. Tempias dan basah. Memercik dan menciptakan genangan. Tapi hujan di hati Sri disertai gemuruh badai.

Ia ingin pulang. Telah tiga tahun ia lebur dalam dengus birahi lokalisasi ini. Meninggalkan Emak dan Bapak. Meninggalkan butir-butir bening embun di pelepah bayam dan ketela.

Tapi sesuatu menahannya. Dari kusen jendela tempat ia bertopang dagu ketika gerimis tak juga surut, diliriknya tas jinjing yang telah penuh dengan baju dan sepatu. Tadi pagi ia berpamitan Mami dengan ekstra hati-hati.

“Sudah mantap niatmu itu?” Tanya Mami di teras kiri seraya mematut-matut gincu.

“Bapak sakit-sakitan. Emak setahun ini TBC. Saya harus pulang,” kata Sri dengan suara yang redup.

Mami menarik napas. Ditaruhnya kaca. “Kalau memang begitu, saya tak bisa menahanmu. Cari cerita yang baik agar orangtuamu tetap menganggapmu bekerja di warung makan.”

***

SRI bergegas turun dari bus. Segera angin segar menerpanya setelah tadi guncangan dan pengap membelitnya selama lima jam.

Jalan setapak di depannya mengingatkan Sri pada masa kecil. Pematang sawah dan lumpur, kerbau dan cangkul, mata-mata polos yang berkejaran dengan capung.

“Anak perawan tak boleh mandi bersama laki-laki. Ada sumur di belakang rumah, mengapa kau bercampur mereka di kali sana?” Sungut Emak tiap kali ia mencebur di kali bersama Legi, Parman, dan Sunhaji.

Emak akhirnya yang rutin memandikan Sri. Anak tunggal yang kolokan. Ia tumbuh bersama liuk pinggul penyanyi dangdut yang diundang ke desa tiap panen tiba. Sri kemudian mengenal lipstik dan bedak. Mengenal betapa penting duit. Tak cukup hanya menjadi tukang panen padi untuk handphone dan celana bagus.

Lalu Sumirah datang pada sebuah Lebaran. Diajaknya Sri ke kota. Lampu merkuri, derit rem sedan, restoran mahal dan remang-remang menciptakan sensasi luar biasa di bilik hati Sri. Ia membayangkan bekerja di juragan kaya dengan televisi yang selalu menyala, seperti janji Sumirah.

Langkahnya terbata-bata tatkala dentum musik mengoyak gendang telinganya. Dilihatnya lelaki-perempuan berangkulan seraya menenggak air penuh busa. Orang-orang jejingkrakan. Tak ada rebana, tak ada kasidah, tak ada satupun alasan untuk membalikkan badan karena mendadak ia tak punya pilihan.

***

SRI menyusuri hutan jati. Gurat wajahnya tampak senang karena sebentar lagi ia memeluk Emak sebelum dibongkarnya tas untuk menarik baju baru buat Emak dan Bapak.

Lalu, beberapa puluh meter menjelang rumah, Mak Sadli tergopoh-gopoh datang. Tetangga sebelah itu mencekal lengan Sri dengan amat kuat. “Tabahkan hatimu, Nduk, emakmu meninggal kemarin. Bapakmu sedang diangkut ke rumah sakit karena sesak napas. Ayo kita masuk rumah dulu ...”

Sri menggelosor di tanah dengan raung tangis yang sangat menyayat.