Search

30 Okt 2008

SEPI HATI TSUNAMI


Setiap tsunami disebut, selalu yang terbayang adalah wajahmu.” Tulis Yulfarida lewat surat elektronika.

Reza trenyuh tapi protes. “Bukan Ratu atau papanya? Bukankah mereka adalah belahan jiwa? Aku berdoa dibukakan pintu surga untuk keduanya,” balas Reza. Jemarinya bergetar saat mengetik, teringat foto Ratu di gendongan sang ayah yang dikirim Yulfarida setahun lewat.

“Ratu tetap nomor satu. Papanya juga tak mampu kuhapus dengan segera. Tetapi kau memberiku percik api. Kau memberi gugus baru, menyuntikkan semangat hidupku yang beranjak luntur.”

Reza bertemu Yulfarida setahun setelah tsunami menggulung Aceh dengan gelegak ombak. Cengkareng masih pukul 8.00 tatkala wajah itu muncul di pintu kedatangan. Reza nyaris tak percaya Yulfarida amat cantik. Dengan kerudung ungu, ia bagai putri salju.

“Tak kuduga kau secantik ini,” puji Reza di sela denting sendok. Keduanya sarapan di bandara. Tiap detik dilalui silang mata Reza ke pupil mata Yulfarida.

Yulfarida tersipu. “Tak kuduga kau pintar merayu,” elaknya sembari menyembunyikan rona senang.

***

PERTEMUAN pertama yang melahirkan bintang-bintang. Reza kemudian dikirim ke Aceh oleh instansinya menjadi sukarelawan. Menyapu debu, membuka selokan, mengusap duka dan daki. Lalu terjadilah pertemuan kedua yang amat menentukan.

Jadwal pulang Reza ke Jawa dibelokkan ke Medan. Tangan keduanya bertautan kala menyusuri Mal Perisai Medan. “Tunjukkan aku warna paling indah menurutmu,” kata Yulfarida riang di gerai jilbab.

Warna jingga itu dipakai Yulfarida kemana-mana. Jilbab yang anggun, lebih-lebih Reza yang memilih dan membelikan. Cinta bisa tumbuh kembali, meski pernah diranggas bencana. Cinta adalah makhluk mungil yang bersemayam di sudut kamar Yulfarida, di rumah barunya yang dibangunkan pemerintah.

“Aku kesepian. Kapan ke Aceh, sayang?” Rengek Yulfarida via SMS, suatu pagi.

“Belum ada satupun alasan aku bisa bepergian ke kotamu. Bagaimana kalau kita bertemu di Jakarta seperti dulu?”

“Akan kuusahakan, tapi aku tak yakin.”

***

DUA tahun kemudian, datanglah e-mail. E-mail yang nyaris tak dikenali Reza lantaran berulang-ulang ia berkirim ke alamat itu namun tak satupun mendapat jawaban.

Ia memendam rindu dendam yang teramat sangat pada belahan jiwanya. Pekerjaannya kacau, matanya tak lagi memercik riang. Dan kemudian ia harus menjalani rawat inap.

Reza, aku harus menerima pinangan Ismed karena jujur aku tak bisa hidup sendiri di tengah ketidakpastian. Aku butuh seseorang yang menjagaku setiap saat, setiap mimpi buruk datang. Kuharap kau bisa memahami situasi ini. Aku tetap menaruh cinta suci ini di ke dalam hatimu, dan menyemayamkanmu di lubuk hatiku paling dalam.”


[Kisah "M" di Banda Aceh yang dikirim ke e-mail saya panjang lebar. Nama-nama disamarkan]

27 Okt 2008

KISAH BUNGA & KUMBANG


Aku nggak bisa menahan gejolak tatkala mata kita berpapasan.”

Pesan pendek itu diterima Siti pagi ini. Terperanjat sebentar, lalu senyum menggembang di bibirnya yang mungil.

Bergegas ia memencet tombol-tombol. Segera terbentuk kalimat balasan. “Ah, Mas Ringga bisa aja. Emang mata kita berpapasan dimana? Hihihihi ...

Lugu dan riang. Itu mengapa Ringga terkesima. Di kampus matanya tertuju dosen, tapi hatinya di rumah. Pagi ini ia menyibak gordin, mengamat-amati Siti di teras abangnya. Lagi menyapu. Bibir gadis bening itu sedang bergerak, mengikuti 11 Januari-nya Gigi dari radio.

Siti bukannya tak tahu sedang diawasi. Tapi ia sungkan menatap nyalang. Sesekali ia melirik dengan ekor mata, mengirim senyum tipis dan ragu. Ringga bergetar hebat melihat deret gigi putih Siti.

“Saya cuma gadis desa. Ke kota sekadar membantu kakak jualan nasi. Mas Ringga tentu punya kawan cantik-cantik, jadi saya tak ada apa-apanya,” ujar Siti suatu sore saat Ringga membantunya memetik jambu.

“Tapi kau perkecualian. Belum ada cewek murni dan jujur macam kamu,” kata Ringga sembari menebarkan senyumnya.

Jujur saja hati Siti bergemuruh. Di desa ada Parto yang suka menggoda. Juga Marman tukang ojek yang menolak dibayar usai mengantar Siti. Tetapi Ringga wangi dan punya rambut mirip bintang sinetron. Ia ingin menanggapi cinta Ringga, tapi sebentar kemudian bimbang menyergap.

Ringga meyakinkan bahwa ia benar-benar jatuh cinta. “Bahkan tiap hari aku jatuh cinta padamu. Maukah suatu ketika kita bersanding dalam pelaminan?” Siti terkekeh antara senang dan tidak percaya.

***

SITI menaruh kubis di keranjang sepeda, ketika tanpa sengaja dilihatnya Ringga sedang memboncengkan cewek. Cewek yang merangkulnya ketat di tengah obrolan riuh keduanya di atas sepeda motor yang melintasi pasar.

Dada Siti bergemuruh. Kali ini bukan oleh rayuan Ringga, melainkan rasa pahit yang bertindihan dengan mual ...

[Kisah L di Kota Kudus, seperti dituturkan Dwi, teman L, kepada saya]

24 Okt 2008

BENCI NIDJI, SUKA LASKAR PELANGI


SAYA dan keponakan pernah berantem gara-gara Nidji. Dia bilang, Nidji itu grup paling oke saat ini. “Personelnya keren-keren, bo!” Kata cewek kelas 2 SMA itu dengan muka centil.

Saya sewot. “Keren apanya? Giring yang kribo itu kalau nyanyi kaya orang kesurupan. Lha wong lagunya sendu kok dia jingkrak-jingkrak seperti kesetrum!” Pelotot saya.

Debat kecil dan panas yang tiada ujung. Sampai akhirnya, suatu pagi, Adi, tetangga saya, mencuci mobil seraya menghidupkan radio. Sayup-sayup sebuah lagu menjilati kuping. Terdengar enak dan membekas, seolah ada nirwana menyeberangi rintih lelautan.

Saya penasaran. Melongok ke kusen mobil, lalu mendapati sebuah aransemen setengah ceria, setengah sendu. “Lagu apa ini?” Tanya saya mengagetkan Adi yang tengah menarik karpet.

“O, ini Laskar Pelangi.”

Laskar Pelangi film itu ya? Siapa yang nanyi?”

“Nidji.”

Saya terperangah dan segera balik kanan, meneruskan mandi yang tertunda. Siangnya saya coba browsing, mencari kebenaran: apakah film yang diantre sampai kaki kesemutan itu memang ada soundtrack-nya? Lebih tepatnya: apakah memang Nidji yang dipercaya mencipta theme song Laskar Pelangi?

Benar adanya! Saya menunda sebentar sikap skeptis saya terhadap Nidji untuk menelaah lagu bersangkutan. Ternyata memang enak. Saya selalu jujur – setidaknya mencoba jujur – untuk hal-hal bersifat apresiatif.

Tak ada yang sangat istimewa di lagu Laskar Pelangi, kecuali kekuatan lirik. Jika mau sedikit susah payah, aromanya tak jauh bergeser dari Negeri di Awan-nya KLA Project. Keduanya sama-sama bicara tentang eksotisme dan sensualitas pinggiran, kawasan yang ngungun dan diselimuti embun. Kebetulan keduanya ditopang video klip andal.

Terus terang saya menyukai Laskar Pelangi, tapi tetap kurang senang dengan aksi Nidji, terutama saat melantunkan lagu Tuhan karya Bimbo itu di sebuah studio TV, dengan jingkrak-jingkrak.

Hingga saya tulis naskah ini saya belum menonton Laskar Pelangi! Alasannya? Saya tidak senang dengan yang berbau tren, seperti Ayat-ayat Cinta atau novel Jakarta Undercover itu, kecuali Spider-Man (1, 2, 3), Superman Returns, atau Batman Begins.

Tapi entah nanti ...

23 Okt 2008

RUMAH TANGGA PENUH BARA


JAKA tampak kurus sekarang. Bertemu dengannya di tambal ban, kemarin, saya melihat uban mulai menyemut di bibir telinganya.

“Apa kabar?” Dia menyalami. Masih menyisakan sedikit keceriaan. Jaka begitu cerewet untuk seorang pria, tetapi kemarin pegawai sebuah hotel di Semarang itu tampak kuyu.

Kami segera basa-basi sembari menunggu roda mobil tengah dipermak tukang. Sejauh itu saya tak menyinggung mengapa ia kurus. Kami mengobrol politik sampai sepakbola.

Selang setengah jam, kami berpisah. Jaka melambaikan tangan dari Super Carry yang kacanya ia biarkan terbuka. Pertanyaan masih menggumpal. Saya hanya berprasangka, barangkali ia habis sakit, atau mengalami sebuah peristiwa yang menggerogoti dagingnya.

Jawaban itu justru diberikan Bu Hendro, penjaja babat gongso di seberang lapangan basket perumahan. Bu Hendro, yang saya langgani sejak dua tahun silam, bertetangga dengan Jaka. Saya, Jaka, dan Bu Hendro mukim di perumahan yang sama.

“Dia lagi bermasalah dengan istri,” tuturnya penuh semangat seraya mengaduk-aduk bumbu di atas tungku, usai saya pancing.

“Seberat apa, Bu?” Tanya saya. Ini tentu saja usil lantaran telah melampaui privacy seseorang.

“Parah. Istrinya kabur ke Jogja, Jaka minggat ke orang tuanya. Pokoknya sulit diselamatkan,” cerocosnya, khas orang warungan.

Lalu perempuan setengah baya ini mulai kemana-mana. Disebutkannya, Jaka dan istrinya tak pernah membangun komunikasi yang sehat. “Bayangkan, saat Jaka pulang pada keesokan hari, istrinya telah pergi. Si istri datang dari kantornya pada malam, si Jaka sudah bertolak ke hotel. Apa ini sehat, Mas?” Katanya.

Komunikasi? Begitukah pangkal masalahnya? Adakah ‘selilit’ lain, umpama orang ketiga?

“Saya kurang tahu soal itu. Tapi bisa saja itu terjadi. Kita tidak tahu yang terjadi di luar sana,” kilah Bu Hendro, berusaha bijak.

“Si Jaka itu sekarang berapa anaknya?”

“Dua, Mas, laki perempuan.”

Saya bergetar membayangkan retina mata dua bocah mungil itu pilu lantaran terlalu sering menyimak kedua orang tuanya membara ...

[Nama-nama disamarkan]

20 Okt 2008

HUMA DI ATAS BUKIT


TADI malam saya ‘kesurupan’. Lagi asyik menulis sesuatu di laptop, tiba-tiba mengalun intro lagu Huma di Atas Bukit. Kontan saya menghambur ke ruang TV, bersimpuh, dan ... melelehkan airmata.

MetroTV yang mengudarakannya, dalam program “80-an”. Huma di Atas Bukit ditaruh di ujung acara, dilengkapi klip jadul pinjaman dari TVRI yang melukiskan sukacita awak God Bless (Achmad Albar, Ian Antono, Donny Fattah, Jockie Soeryoprayogo, dan Teddy Sudjaya) bersama keluarga mereka.

Inilah lirik yang menggetarkan saya itu:

Seribu rambutmu yang hitam terurai
Seribu cemara seolah mendera
Seribu duka nestapa di wajah nan ayu
Seribu luka yang nyeri di dalam dadaku

Di sana kutemukan bukit yang terbuka
Seribu cemara halus mendesah
Sebatang sungai membelah huma yang cerah
Berdua kita bersama tinggal di dalamnya

Nampaknya tiada lagi yang diresahkan
Dan juga tak digelisahkan
Kecuali dihayati
Secara syahdu bersama
Selamanya, bersama, selamanya

***

SAYA lupa sedang jatuh cinta pada siapa tatkala pertama mendengar lagu ini, kira-kira kelas 2 SMA. Tetapi saat mengaliri gendang telinga, Huma di Atas Bukit tak ubahnya semilir angin senja ketika kita berdiri di puncak bukit yang sepi. Tak ada deru mesin, tak ada sumpah serapah tetangga, tak ada sesuatu pun yang mengusik. Begitu damai, begitu senyap, indah dan penuh warna.

Dua menit sesudah lagu itu usai, saat kelas 2 SMA itu, saya segera membayangkan bakal berumah tangga secara sederhana dengan rumah mungil, dengan anak-anak yang ceria dan istri yang tak rewel.

Saya menghidupi mereka dari honor tulisan. Sesekali memancing di kali bening. Bermain layang-layang di perbukitan. Memboncengkan anak-anak dengan sepeda kumbang melewati kebun dan jembatan.

Kami duduk selonjor di bawah randu, mengamat-amati pelangi, menggoda kupu-kupu, memandang bulan merah saat petang tiba. Anak-anak berlarian di padang ilalang ketika ibunya datang dengan sekeranjang pisang. Kemudian kami saling bergandengan tangan saat pulang.

Fragmen kehidupan kami ringan tanpa beban. Tak ada sesak dalam dada, tak ada murung yang memasung. Kami berteman tempias hujan, menciptakan surga dalam rencana-rencana yang bersahaja.

***

BERTAHUN kemudian, ketika lagu Huma di Atas Bukit ditimbuni jaman yang berubah, saya nyaris melupakannya. Idealisme tak ubahnya omong kosong belaka. Kapitalisme telah merasuki ruang terdalam sumsum tulang.

Sampai kemudian tadi malam lagu God Bless produk 1976 itu menggaung lagi. Saya tersentak dan berurai airmata ...

18 Okt 2008

TIPS MERAYU PENERBIT


Seseorang bertanya begini tadi pagi: “Aku mau bikin buku, tapi bagaimana harus memulai? Mas Arief bisa bantu?”

Bikin buku tak ubahnya menyusun skripsi. Yang dibutuhkan hanya bagaimana supaya tidak garing. Skripsi, makalah, cenderung membosankan karena dicengkeram retorika, dan kosa kata yang dituangkan pun formal-formal belaka.

Buku bermula dari gagasan. Ribuan judul yang dirakkan dalam toko adalah buah pikiran yang berbeda. Kalaupun idenya serupa, pastilah sudut pandangnya berlainan.

Buku/novel laris biasanya fenomenal dan belum pernah dipublikasikan. Banyak penulis tak becus menyusun kalimat yang gurih, tetapi akhirnya diterima penerbit karena idenya maut. Penerbit mempunyai sederet editor yang siaga menyusun bahan baku menjadi sajian menarik. Belum lagi ilustrator sampul yang mahir membungkus cover.

Itu mengapa Moamar Emka mendadak terkenal dengan Jakarta Undercover-nya. Habiburrahman El Shirazy mencuat berkat Ayat-ayat Cinta. Terakhir Laskar Pelangi melambungkan Andrea Hirata.

Kembali ke teman saya tadi. Dalam SMS-nya ia menyebutkan roh buku yang mau ia bikin (maaf, gagasannya itu tak bisa saya sebutkan karena beberapa pertimbangan). Saya terkesima sebab idenya baru, walau sesungguhnya memang telah banyak terbit sajian serupa hanya beda sudut pandang saja.

Semangatnya untuk menerbitkan buku patut saya angkati topi, hanya ia lupa (atau barangkali tidak mengerti) bahwa menyodorkan naskah ke penerbit tak ubahnya melamar pekerjaan. Tahap pertama, penerbit biasanya menerima materi dengan rona muka yang membuat kita belum-belum sudah merasa buku kita bakal diterbitkan. Tetapi hingga lama, buku yang kita impikan tak kunjung diterbitkan.

Tips sederhana supaya buku kita diterbitkan kira-kira begini:

  1. Lebih baik kita terkenal dulu supaya memuluskan jalan (Dewi Lestari contohnya, Supernova itu bisa dikarang siapa saja. Tapi bahwa ia penyanyi – yang kebetulan cantik – maka segera saja novelnya diterbitkan, dan kebetulan cukup laris)

  2. Gagasan yang disodorkan cukup memikat, memudahkan penerbit menakar-nakar untung rugi jika menerbitkannya

  3. Mengirim naskah dengan ujud hard copy, alias di-print out, dan tentu saja disertai CD guna memudahkan penerbit mengkaji

  4. Sebisa mungkin menyusun kalimat bersih, alias tidak jorok, kendati penerbit memiliki editor. Naskah belepotan cenderung dibuang ke tong sampah

  5. Naskah dikirim ke penerbit-penerbit yang kerap menerbitkan buku-buku laris. Penerbit ecek-ecek tak diminati distributor (distributor memegang peran penting menyalurkan buku/novel ke toko besar macam Gramedia). Yogyakarta dan Bandung boleh diandalkan untuk menerbitkan buku, karena di dua kota itu, di luar Jakarta, mempunyai sejumlah penerbit yang bonafid

  6. Tips lain, meski ini remeh, namun perlu juga digarisbawahi, yakni faktor kedekatan. Penulis sebaiknya punya relationship dengan penerbit agar naskah yang kita kirimkan minimal diperhatikan. Kalau sudah dekat tapi ternyata buku tak diterbitkan juga, ya berarti naskahnya memang belum pantas dijual di pasaran

Akan tetapi, agar kita pagi-pagi tidak ciut nyali, ada satu realita yang membuat spirit penulis tetap menyala. Kebanyakan penerbit mematok target jumlah buku (baca: judul) yang kudu diterbitkan dalam kurun waktu tertentu.

Itu mengapa terkadang mereka memaksakan diri untuk menerbitkan buku guna menginjak target tersebut, biarpun kerap buku-buku mereka teronggok selama berbulan-bulan di rak toko, tanpa seorang pun meliriknya ...


17 Okt 2008

SUZANNA


BELUM ada di Indonesia pemain film horor memiliki tatapan miris dan aksen menggetarkan macam Suzanna.

Luna Maya
dengan Bangsal 13-nya? Ah, masih hijau! Revalina S Temat dengan Pocong 2-nya? Hm, masih pantas belajar sekian tahun untuk menciptakan kengerian.

Bahkan, Mbak Farida Pasya yang suka ngakak saat berkostum Mak Lampir pun tidak terlalu sangar, terutama ketika ia menanggalkan jubah dan tongkat ajaib, lalu kita menyeruput teh manis bersamanya di sebuah lobi hotel.

Suzanna benar-benar multihantu, multingeri, dan multi-multi lain untuk urusan membuat bulu kuduk berdiri. Ia misterius dan identik bunga. Saat masih bocah, tiga malam saya sulit tidur usai menonton Sundel Bolong dan Malam 1 Suro. Beberapa waktu kemudian saya terbayang-bayang wajahnya setelah menyaksikan aktingnya (yang sebenarnya biasa-biasa saja) dalam Nyai Roro Kidul dan Perkawinan Nyi Blorong.

Hollywood pun tak memiliki legenda horor yang sepanjang karier aktingnya melulu bermain untuk film ber-genre mencekam, kecuali Jepang yang punya Masayuki. Hollywood lebih suka memelihara sekuel dengan tokoh-tokoh melegenda macam Dracula, Friday 13th, Frankenstein, Zombie, Scream, Pinhead, The Creeper, Candyman, Chucky, dan sebagainya.

Sebab itu, tatkala terdengar kabar Suzanna meninggal, kemarin, saya segera mendoakan agar beliau masuk surga. Meski menakut-nakuti, toh ia beribadah lantaran menyenangkan banyak orang dengan punggungnya yang bolong.

Selamat jalan, Mbak Suzan, semoga Tuhan memberi pelita di alam baka.

16 Okt 2008

DEALOVA, ZIKIR, DAN RINDU ALLAH


Mas, ada lagu bagus. Judulnya Dealova, yang nyanyi Once.”

Begitu SMS yang dikirim seseorang, beberapa tahun silam, ketika saya berada di Pekanbaru untuk suatu liputan.

Di SMS berikutnya ia sisipkan sepenggal lirik: ... Kau seperti nyanyian dalam hatiku yang memanggil rinduku padaMu. Seperti udara yg kuhela, Kau selalu ada ...

Saya sempat cueki SMS ini. Tetapi paginya, saat jalan-jalan di emperan mal di sana, sayup-sayup terdengar lagu ini di lapak CD bajakan. “Loh, kok enak?” Batin saya.

Seperti halnya lagu-lagu Once lain, saya pikir ini syair cinta biasa. Tapi saat tahu Dealova digubah oleh Opick yang setengah dai, saya segera sadar bahwa lagu itu tentu memuat persentuhan dengan Allah. Benar saja, saat diresapi dalam kamar remang-remang, Dealova yang kemudian difilmkan dengan bintang Ben Joshua, Jessica Iskandar, dan Rizky Hanggono itu adalah lagu religi.

Fakta ini menggugurkan asumsi yang telanjur beredar bahwa syiar Islam hanya disenandungkan Bimbo melalui Tuhan (70-an) yang bait pertamanya seperti ini: Tuhan, tempat aku berteduh, dimana aku mengeluh dengan segala peluh.

Selain Tuhan, Bimbo juga menciptakan sederet lagu religi apik macam Rindu Rasul, Sajadah Panjang, Bermata Tapi Tak Melihat, dan sebagainya.

Lalu dekade berikutnya Novia Kolopaking melegendakan lagu Dengan Menyebut Nama Allah (dan belakangan disuarakan kelompok Warna). Nukilan syairnya seperti ini: Serahkanlah hidup dan matimu, serahkan pada Allah semata, serahkan duka gembiramu, agar damai senantiasa hatimu.

Dewasa ini, Dealova tidak sendiri. Kalau mau jeli, kita memetik aroma religi dari Sandaran Hati, besutan kelompok Letto. Coba simak lirik berikut yang bernuansa zikir:

Kaulah sandaran hati
Inikah yang Kau mau, benarkah ini janjiMu
Hanya Engkau yang kutuju
Pegang erat tanganku, bimbing langkah kakiku

Aku hilang arah tanpa hadirMu, dalam gelapnya malam hariku ...

Dari lagu-lagu Ari Lasso, kita juga bisa menemukan kepasrahan dan pemujaan terhadap Gusti lewat tembang Jalanku Tak Panjang. Bidikan ke hadirat Allah ini bisa ditelaah melalui lirik seperti di bawah ini:

Engkau adalah pelumpuh cintaku
Engkau adalah pelipur tangisku
Yang memberi kekuatan tuk menapak
Lebih jauh … Harapanku …

Barangkali ada yang bertanya, bagaimana dengan Gigi dan Ungu? Betul memang, kedua grup ini rajin menggubah lagu-lagu Islami. Tapi, kalau mau jujur, lagu-lagu religi tidak saya minati tatkala dilantunkan dengan jejingkrakan. Saya sependapat dengan Haji Oma Irama yang pernah mencubit dua grup tersebut.

Lebih keki, pernah Nidji membawakan lagu Tuhan maha karya Bimbo itu dengan loncat-loncat di depan sederet cewek-cowok tanggung yang juga bergaya metal, di sebuah studio televisi. Dalam batin saya: “Ini memuja Tuhan atau kesurupan sih?” Bah!

15 Okt 2008

HANYA IWAN FALS, CUMA MAS IWAN


Dewi Persik dulu itu asyik. Paramitha Rusady pernah saya kagumi. Begitu pula Dhani Dewa, Aris Indonesian Idol, Ria Irawan, Rhoma Irama, Baim Wong, atau Tora Sudiro.

Tetapi belakangan badai menumbangkan kekaguman saya. Mereka rajin menyelinap dalam infotainment dan membuat mual. Ada-ada saja kisah yang menyelimutinya: kawin-cerai-rebutan anak-saling olok-pacaran-dan sampah!

Saya pernah mencurigai infotainmen. Jangan-jangan mereka dibayar untuk memberitakan seseorang guna mendongkrak popularitas. Namun kecurigaan ini berangsur memudar lantaran sering pemberitaan mengenai selebritis justru berimbas pada rasa eneg terhadap sepak terjang mereka yang kampungan.

Baim Wong, umpamanya, ia memaki dengan kasar seorang wartawan gara-gara ia merasa nama baiknya dicemarkan. Sikap preman itu pernah ditunjukkan Deasy Ratnasari atau Sarah Azhari. Sarah malah melempar asbak ke jidat seorang jurnalis dan kasusnya diseret ke pengadilan.

Dhani dengan rentetan konfliknya dengan Maia, istri tercinta (setidaknya pernah ia cintai. Kalau tidak cinta mana muncul tiga anak laki-laki dari persetubuhan keduanya?), pernah saya kategorikan mendongkrak ketenaran dengan muncal-muncul di infotainmen.

Tetapi dengan tampang arogannya saat diwawancara, kemudian ruwet rumah tangganya yang seolah tanpa ujung, mana ada orang menaruh simpati? Dengan demikian, saya mulai tidak percaya bahwa Dhani mengatur aneka rupa pemberitaan itu dengan ‘membeli’ selot infotainmen.

Ada pula pemain-pemain bau kencur yang main di sinetron saja baru dua-tiga judul, tapi kemudian mendadak berpacaran dengan Anu, lalu mengumbar janji mau menikahlah, terus kemudian runtang-runtung di beragam acara agar kamera infotainmen menyorotnya. Bah! Yang bodoh para wartawan, atau ‘bintang-bintang’ itu pintar memanfaatkan momen?

Dari sini, saya kemudian sadar tak ada satupun selebriti yang saya kagumi lagi, kecuali Iwan Fals. Nyaris tak ada kabar miring terhadapnya, bahkan ia tampak makin bersinar saat melakukan lintasgenerasi.

Anak-anak SMP fasih menyanyikan Ijinkan Aku Mencintaimu atau Aku Bukan Pilihan. Generasi saya hapal benar lirik Sumbang yang mengritik Suharto, Wakil Rakyat yang menyindir DPR, atau Kebaya Merah yang ‘judes’ terhadap Bumi Pertiwi yang makin awut-awutan. Insya Allah, kharismanya tetap terjaga bahkan jika nanti ajalnya tiba, tanpa infotainmen rutin memberitakannya!

Sebab itu, di tengah carut marut negeri ini, saya rindu Mas Iwan ...

BERDIRI DI PINTU MATI


... semoga aku masih bisa melewatkan masa separuh putaran bumi ... [Jalanku Tak Panjang, Ari Lasso]

Tadinya saya tak terlalu mengagumi Ari Lasso, terutama setelah ia copot dari keanggotaan Dewa. Suaranya biasa saja. Lirik-liriknya cenderung merengek dan termehek-mehek.

Tetapi belakangan saya suka satu lagunya. Jalanku Tak Panjang, itu judulnya. Memasang CD Ari di mobil saja awalnya lantaran terpaksa karena hampir seluruh CD telah keluar masuk selop player, jadi garing di kuping. Nah, suatu ketika iseng-iseng saja mencungkil CD-nya Lasso dari ‘bagasi’ kaset-CD. Distel, eh, enak juga yang ini, gumam saya.

Refrainnya – yang saya kutip di awal tulisan ini – amat pas dengan situasi saat itu. Dalam perjalanan dari Solo, persis sesudah terminal Boyolali, saya hampir menyambar motor yang ditunggangi ibu-ibu. Ia menyelonong dari kiri untuk menyalip, persis ketika saya menengok layar HP yang dikirimi SMS oleh seseorang.

Untung ibu ini luput dari maut. Padahal tanki bensin bebeknya sudah sekian inci dari bemper kiri saya, dan kebetulan saya setengah mengebut.

Maut, kematian, celaka, musibah, dan cobaan itu saya pikir jaraknya hanya sekian senti di sisi kita. Ia mengintip dengan seksama dan siap melarung kita ke lembah kematian.

Dalam dua tahun terakhir ini, belasan kali saya menyaksikan kecelakaan di depan mata. Dari cuma motor yang terguling akibat dilanggar pick up, hingga seseorang meregang nyawa dengan otak berhamburan gara-gara disikat truk gandeng.

Tuhan seolah sedang menguji saya, punyakah saya mental sekuat baja. Punyakah saya kekuatan iman sehingga tidak mengumbar napsu dan amarah yang melahirkan kecelakaan.

Tuhan juga mungkin sedang memberitahu kepada saya bahwa saya adalah salah satu diantara sekian ‘yang berhak’ melihat seseorang di pintu mati. Setelah Ibu pada tahun 1993 yang wafat di pangkuan saya, saya juga berada di sisi beberapa orang lain yang sedang sakratul maut dan akhirnya meninggal, baik di rumah sakit, maupun di rumah, dengan penyebab yang bermacam-macam. Terakhir, saya menyelamatkan Nur (tetangga di RT yang sama) yang hampir kehilangan nyawa karena bunuh diri menenggak obat serangga.

Pintu mati itu sesungguhnya persis di sebelah kita, dan siap menjemput kita kapanpun, di manapun, dalam kondisi apapun!

12 Okt 2008

JEJAK CINTA DI KACA


Secarik cinta itu ditemukan Tia dari balik kaca. Bukan kaca akuarium di rumah Bunda yang ada arwana dan ikan emasnya.

Cinta pernah mengelabuhinya, menjerangnya sepanas air di atas tungku. Tia mencoba menghitung berapa lama Pras meninggalkannya. Namun makin jauh jemarinya menghitung, makin menganga luka.

Pagi ini, ketika bayu masih menyisakan dingin dini hari, Tia menerima telepon. “Mbak Tia, saya Alfian yang Mbak hubungi tempo hari untuk meng-update analisis tentang pembiakan ayam. Saya dalam perjalanan ke kantor Mbak.”

Suara yang biasa saja. Tetapi saat bersitatap, Tia melihat retina mata yang amat teduh. Ia bergidik sebentar, tapi segera perasaan anehnya ia terpa.

Tanpa sengaja tangan keduanya bersentuhan di kibod komputer. Serta merta mata keduanya bersirobok. Hati Tia bergemuruh seperti air terjun Niagara. Ia tak sanggup membendung rasa ini dan membiarkannya berselancar.

“Minggu depan kita bertemu lagi,” kata Alfian sambil menjabat tangan Tia.

Dari balik kaca kantornya, Tia mengikuti langkah Alfian hingga tempat parkir. Telapak tangannya berkeringat, meninggalkan jejak biru dan ungu. Ia takut relung hatinya tak lagi menyisakan rongga untuk cinta ...

11 Okt 2008

PENYANYI DANGDUT


Penyanyi dangdut adalah impian-impian. Ia menghibur dan butuh pengakuan. Betapa rentan ketika goyangnya dimaknai komoditi. Orang meludah seolah memandang limbah. Padahal ia harus membeli bedak, gincu, beras, susu, dan baju.

Penyanyi dangdut menyelinap dari kampung ke kampung. Mengamati dengan was-was para pejoget teler. Ia dijemput dan diantar selayaknya dai, meliuk dan mengerang, memamerkan tubuhnya yang sintal dalam hubungan saling menguntungkan: pengundang puas, honor diberikan, dan mengantongi sawer yang melebihi jumlah bayaran.

Penyanyi dangdut adalah miniatur sakwasangka, tetapi dibutuhkan. Ia tak perlu membuat album atau disiarkan televisi. Ia hanya butuh uang untuk hidup, meski kadang mereka memaknai kiprahnya sebagai jembatan menuju transaksi lain. Transaksi yang mengubur rambu, dan uang adalah berhala.

Penyanyi dangdut adalah pinggul, suara, uang, dan penisbian tata krama. Tetapi mereka (seharusnya) tetap manusia ...


[
Kepada Eza, Widi, Ima, Pertiwi, Inung, Siwi, dan sejumlah penyanyi dangdut tarkam lainnya yang senantiasa menjunjung tinggi norma-norma. Tetap dengan gaun-gaun sopan, neng]

10 Okt 2008

RINDU


Rindu itu tak ubahnya kupu-kupu. Ia terbang dari kamboja satu ke kamboja lain, sampai akhirnya ia tersadar satu hal: "Aku harus segera pulang, sebab Ibu dan kakak-kakakku menunggu."

Rindu tak ubahnya kepak elang. Ia mengitari mayapada, memangsa ikan, bangkai, dan ular. Sampai suatu saat ia sadar satu hal: "Aku harus kembali ke sarang, anak-anakku menunggu dengan mulut menganga.”

Rindu tak ubahnya kehilangan wasiat, atau berkelana tanpa batas, tetapi ketika lolong serigala terdengar dan kita terjaga dari mimpi, pada saat itulah airmata meleleh karena begitu lama kita meninggalkan famili. Kita harus pulang untuk membasuh khilaf. Kita akan berpelukan, mencium tangan, dan mandi di kali.

9 Okt 2008

BUNGA-BUNGA BERGUGURAN


Pernahkah kau berpikir suamimu akan meninggalkanmu? Pernahkah kau tiba-tiba resah karena suamimu tak memedulikanmu lagi karena ia bekerja di tempat yang jauh?

Kartu pos merah jambu. Teronggok tak berdaya di atas taplak sebelum Rinai menjumputnya. Dari Hening, sahabat karibnya yang kini domisili di luar kota. Rinai mengerenyitkan dahi membaca pertanyaan pendek yang melukiskan penulisnya lunglai.

Hening adalah gadis dengan kicau kutilang di mata Rinai. Hening yang tak sesuai namanya, karena ia cerewet dan selalu punya kosa kata untuk setiap hal. Mereka bersekolah yang sama di sebuah pendidikan perhotelan. Rinai pernah cemburu karena Hening begitu banyak teman, lelaki dan perempuan.

Tetapi kecemburuan yang tak ada artinya lantaran di balik sikap bengalnya, Hening solider dan setia kawan. Ia tak segan memberi bantuan untuk kawan yang berkesusahan. Pernah Rinai kekurangan uang ketika membeli kaus kaki, Hening kemudian menambahinya sehingga Rinai bisa berkaus kaki baru saat upacara bendera.

Tamat sekolah, keduanya berpisah. Rinai mendengar Hening bekerja sebuah hotel di Yogja dan kemudian berpindah Jakarta, dan belakangan kembali ke kampung halaman, sementara ia mengikuti suami ke arah utara. Sejauh itu ia belum juga menerima warta bahwa sahabatnya itu melepaskan lajang.

“Kapan kau akan menikah?” Tanya Rinai dalam pertemuan tak terduga di sebuah mal di kota asal.

“Kau pasti orang pertama yang kukabari saat aku kelak akan berdiri di pelaminan,” janji Hening.

Janji itu ditepati. “Hore! Selamat, ya say. Pria mana yang beruntung itu?” Teriak Rinai di ujung telepon. “Nggak jauh-jauh kok, dari kota tetangga. Nanti resepsinya di kota kita. Sempatkan datang, ya,” jawab Hening dengan suara penuh binar.

Rinai tak bisa hadir di hari bahagia itu lantaran suaminya mondok di rumah sakit. Itu mengapa hingga satu setengah tahun usia pernikahan Hening, Rinai belum pernah melihat seperti apa suami karibnya ini.

Tetapi ia tak perlu berpikir panjang bagaimana ujud, karakter, dan latar belakang suami Hening, karena baginya siapapun pria itu pasti benar-benar mencintai Hening apa adanya.

Ah, Hening yang slengekan. Hening yang bisa berganti pacar dalam waktu sekejap. Dulu Rinai pernah berpikir, mereka yang berpacaran dengan Hening pastilah cowok-cowok yang memilih kehangatan seorang gadis ketimbang melihat hal-hal fisik. Dan Hening menyadari betul romantisme itu penting.

Hening yang romantis dan penuh perhatian itu kini mendadak berkirim kartu pos mengenai kegelisahan. Ada gejolak apa? Ataukah Hening telah kehilangan kepercayaan diri yang dulu amat ia andalkan?

Lalu Rinai mengangkat telepon.

“Halo,” suara lembut di seberang.

“Bisa bicara dengan Mbak Hening?”

“Mbak Hening lagi ke kios, beli rokok. Ini dari siapa, Bu?”

“Saya Rinai, temannya. Ini dengan siapa, ya?”

“Saya pengasuh anak. Ibu nanti bisa menghubunginya lagi. Kiosnya nggak jauh, kok.”

“Oke kalau begitu. Omong-omong, di rumah ada suaminya Mbak Hening, ya?”

“Belum pulang, Bu. Bapak bekerja di kota S, seminggu sekali pulang, bahkan kadang lebih.”

“Oo. Terus, rokok itu buat siapa?”

“Buat Mbak Hening sendiri.”

“Loh, ia merokok?” Rinai terkejut.

Keterkejutan yang membuat Rinai ternganga beberapa saat. Bukan rokok itu penyebabnya, sebab sejak dulu Hening memang perokok, tetapi mendadak hatinya diliputi banyak pertanyaan mengenai prinsip berumahtangga yang tampaknya dilupakan oleh Hening.

“Ya, ya, nanti aku akan banyak bertanya padanya ... “Bisik Rinai dalam hati.