Search

29 Agu 2008

RAMADHAN


Puasa menjulur seperti dedaunan bambu yang ditetesi embun pagi, menyelinap dalam kabut gelap untuk memercikkan pijar lentera.

Aku terbangun dengan gugup burung sriti yang dicemeti petani, menyadari betapa setahun ini aku adalah naga dengan dengus napsu yang berapi-api. Segala dosa memenjarakanku selaksa jurang yang menganga, menuang ribuan sumpah serapah, mengalungkan samurai di leher orang-orang kalah.


Dari kusen jendela kusimak detik-detik yang bergegas menuju terpal putih dalam kumparan Ramadhan. Adakah malaikat yang menungguku dengan cemas? Masihkah waktu menyisakan setitik saja kesempatan bagiku untuk menyapu busa-busa dosa?


Puasa ini seperti mutiara yang harus disepuh. Bersimpuh di makam Ibu, Kamis petang lalu, lamat-lamat sebuah bisikan menerpa gendang telinga, mengisyaratkan pertobatan.


Ramadhan ini aku menjura di hadapanNya, menguras ribuan kelabang yang merambati ulu hati ...

22 Agu 2008

Kabut, Telaga, dan Kaki yang Telanjang


Kabut berjalan terhuyung menyerbu kakinya yang basah. Ia meletakkan kepalanya di bantalan angin, menghirup embun yang jatuh satu-satu dari pucuk bambu.


Kau harus jatuh cinta terlebih dahulu untuk bisa menulis kata-kata. Atau patah hati dan nyaris bunuh diri,” gumam sebuah suara.


Ia tak peduli. Kakinya tetap berkecipak dalam air telaga. Sudah empat hari ia menerawang di dermaga ini. Selalu pagi ia pilih untuk memunguti cinta, pilu, dan kesenjangan hati. Tetapi belum ia dapatkan bunga-bunga aprilia. Tak tahu ia harus memulai dari mana untuk menuang novelnya.


Dua tahun silam sinar itu meredup dan kemudian hilang dari mata seorang pria yang memberinya tudung saat hujan tiba. Ia tak sanggup bertahan di peron tatkala kepala pria itu terjulur untuk terakhir kali di jendela kereta, dan memilih berlari menembus gerimis dengan guguk yang menyayat, membiarkan napasnya jatuh dalam sunyi tanpa batas.


Sebulan kemudian tangannya gemetar meraup cek berangka sekian belas juta. Bukan jumlah uang pemicu gugupnya tangan, melainkan karena hatinya melepuh saat mengingat betapa isi novel yang sehari sebelumnya diluncurkan sebuah penerbit Yogya itu berisikan tentang kabut dan kegeraman. Ia hampir menyudahi hidupnya tatkala menuliskan ending cerita. Sebuah ending yang bermuatan kapal yang karam. Kapal yang tenggelam secara berulang-ulang tiap kali ia perlu bercerita lewat novel-novelnya yang selalu best seller dan diburu para kutu buku.


Kau harus jatuh cinta terlebih dahulu untuk bisa menulis kata-kata. Atau patah hati dan nyaris bunuh diri,” gumam suara itu lagi.


Ia tak memedulikannya. Hatinya tak lagi memiliki ruang rindu ...

19 Agu 2008

Sang Saka di Atas Pusara


Tuhan, ajari aku membendung airmata saat pengibaran Sang Saka. Ajari aku mencincang pilu agar tak ada sedu kala Indonesia Raya bertalu.


Tuhan, mengapa ada tangis padahal tak gerimis? Mengapa di dada ada romantisme buta? Mengapa lilin berkecipak dan retak, sedangkan negeri ini telah 63 tahun merdeka?


Tak pernah Kau ajarkan aku jadi pahlawan lantaran pada jaman pendudukan orang-orang tua telah berkorban. Orang-orang tua yang Kau utus menjadi tameng tatkala mesiu menghantam dengan kejam.


Tak pernah Kau lukai mereka dengan mimpi-mimpi, tak pernah mereka Kau cederai dengan angan-angan. Tetapi mimpi itu telah membubung tinggi kini, menjadi hutan beton dan keserakahan. Mimpi-mimpi yang tak pernah mereka beli namun kini menjadi liur yang menjijikkan di sepanjang perjalanan.


Tuhan, adili aku dan lumatlah dalam api neraka jika aku tak menabur bunga di atas pusara mereka!

11 Agu 2008

Right or Wrong is My Country


Tujuhbelasan dicibir oleh sebagian masyarakat kita. “Perayaan yang latah. Lomba-lomba itu apa artinya? Bagi saya, hidup ini mencari uang, bukan ikutan panjat pinang,” cetus Fitri, sebut saja begitu, asisten dokter saraf di sebuah rumah sakit, dengan muka yang dibuat sedemikian rupa agar tampak menyebalkan.


Fitri, dan sebagian lain warga negeri ini bersikap skeptis terhadap ulangtahun negaranya, disebabkan oleh beberapa perkara.


Pertama, kemungkinan besar mereka tak pernah menempatkan kerumunan lomba, atau pemasangan lampu hias di jalanan, atau pemasangan umbul-umbul di tepian jalan, sebagai sesuatu yang istimewa karena dianggapnya ikut-ikutan.


Kedua, mereka mual dijejali pelajaran sejarah dan kewarganegaraan sewaktu mereka bersekolah – disebabkan pada waktu sekolah mereka nakal dan senang membolos -- sehingga menilai tujuhbelasan sebagai sebuah rutinitas yang membosankan.


Ketiga, dan ini bobotnya lebih berat, orang-orang skeptis ini tak pernah menyadari makna “bumi dipijak, langit dijunjung”. Mereka lintah yang mau menyedot nafkah di negerinya sendiri, tetapi tak pernah sadar bahwa sebagian nyawa kita dibeli dengan ceceran darah dan jeroan yang berhamburan para pejuang kemerdekaan. Pejuang yang berjudi nyawa untuk kebebasan, tanpa terpikir anak-cucunya tak lebih para maling dan tukang tilep.


Sah-sah saja tak ikutan lomba, sebab generasi terkini memang sekadar balapan karung atau cepat-cepatan mencaplok kerupuk. Boleh-boleh saja berlalu dari kerumunan ibu-ibu di lapangan dekat rumah, karena tak jarang mereka datang ke perlombaan panjat pinang untuk ngerumpi atau ngerasani tetangga.


Tetapi ketika masyarakat Amerika begitu bangga dengan “Independence Day”-nya, warga Mozambik dan Kroasia yang mengumandangkankan “merdeka!” tiap 25 Juni, beberapa di antara kita malah tak punya bendera. Banyak yang punya, tetapi malas mengeluarkan dari lemari. Ada yang sudah menariknya dari tumpukan baju di lemari, tetapi enggan memasang dengan alasan tak punya tiang.


Mereka tak sadar, atau belum menyadari, atau pura-pura tak sadar, bahwa mengurus KTP saja berhubungan dengan negara, tak punya KTP urusan tak lancar, SIM diteken oleh pejabat berwenang, menonton sinetron dari televisi yang diijinkan oleh pemerintah untuk mengudara, menunggang motor dengan pelat nomor yang diketahui samsat, meski, bisa jadi, para pejabat yang menandatangani surat-surat kita adalah koruptor juga.


Dalih paling santer diletupkan mereka yang merasa ‘tak memiliki Indonesia’ ialah bahwa negara ini sesungguhnyalah “belum merdeka”. “Merdeka apanya? Jadi kacung belasan tahun begini ente mengatakan Indonesia merdeka?” Ujar Sutiman, kernet angkutan kota.


Fitri begitu bangga dengan adik kandungnya yang kasatreskrim di sebuah polres di Mataram. Kasatreskrim yang menghormat komandannya dengan tangan setinggi dahi. Penghormatan yang sama ketika kita berdiri di depan Merah Putih yang dikibarkan pada saat upacara 17-an. Fitri juga pernah berpacaran dengan tentara maupun polisi, dua aparat yang (konon) pembela bangsa dan pengayom masyarakat, yang heroismenya seragam dengan para pejuang kemerdekaan. Ia amat bangga dengan tentara, sampai-sampai baju-bajunya bermotif doreng. Tetapi, ironisnya, ia eneg dengan acara 17-an!


“Sampean boleh bangga dengan Indonesia, tetapi Indonesia yang mana? Indonesia yang digerogoti maling? Indonesia yang hanya membuat sejahtera keluarga Cendana? Indonesia yang korupsinya nomor tiga di dunia? Indonesia yang bangga dengan TKW dan TKI? Indonesia yang tetap kere meski katanya punya sumber daya alam berlimpah? Bah!” Kata seorang teman, suatu ketika.


Benar! Tetapi, right or wrong is my country!

5 Agu 2008

Selamat Tidur, Bunda


Di sebuah warung, kemarin siang, saya bertemu Hanum bersama suaminya. Hanum ini teman SMP yang pernah saya taksir, kini domisili di Semarang, ikut sang suami. Naksir gaya monyet. Lagipula saya anak kampung yang waktu itu super minder. Apalagi Hanum boleh dibilang kembang kelas. Anak kota pula. Jadi, ya cuma ‘pura-pura naksir’, khas pubertas.


Setelah basa-basi, ia bercerita tentang Bu Mia, guru Bahasa Indonesia. Bu Mia? Ah, wanita mungil dengan senyum tulus itu? Saya ingat frame kacamatanya yang senantiasa hitam. Saya ingat ia membiarkan gerai rambutnya menutupi sebagian mata sehingga ada kalanya ia mirip Atiek CB. Mengapa dengan dia?


“Ia meninggal, Rief, sebulan lalu. Kanker rahim.”


Saya terhenyak. Saya ternganga. Susah payah saya jumputi masa silam, di sela-sela rerumputan jepang di beranda kelas 2 SMP 2 Demak. Sejauh mata memandang, tampaklah hamparan tanah lapang alun-alun dan Masjid Agung. Senyum Ratri, Yudha, Wahid, Ika, Titik, Anna, Pak Yitno tukang kebun melintas-lintas.


Senyum yang ini beda. Selalu mekar bunga aprilia saat ia menuang ilmu di depan kelas. Ia mengajari kami cara menyusun kata menjadi mozaik-mozaik kalimat yang merdu atau pilu. Kami menyimak dengan seksama. Bu Mia ceriwis cara mengajari, namun ia tahu bagaimana menuntun kami.


“Yang lain boleh istirahat, kecuali Arief,” ujarnya suatu siang. Saya terkejut. Ada dua Arief di kelas itu, satunya Witono. “Arief kamu yang Ibu maksud,” sambungnya sembari menunjuk saya.


Saya tambah kaget. Dosa apa saya? Jangan-jangan ia melihat saya sedang ngemil kacang goreng saat pelajaran tadi.


Kami tinggal berdua. Ia menyuruh saya mendekat. Saya duduk di bangku berjarak 1 meter dengan meja guru. Ia menatap saya dengan seksama dari ujung matanya. Menyelidik dan sedikit menghakimi. Saya makin cemas.


“Kamu menjiplak dari mana?”


“Menjiplak apa, Bu?”


“Ibu yang bertanya.”


“Mengenai apa, Bu?”


“Karangan tadi.”


Saya mendadak bego. Karangan yang mana? Tentang liburan sekolah itu? Atau yang mana?


“Ya, tentang liburan di rumah pakdhe itu. Kamu dibantu siapa saat mengarang?” Hardiknya, seolah ia bisa membaca pikiran saya.


“Saya tidak dibantu siapa-siapa, Bu. Saya mengarang sendiri sepulang dari rumah pakdhe.”


“Betul katamu itu?”


“Iya, Bu.”


“Kalau begitu, nanti sore kamu ke rumah Ibu. Tahu kan tempatnya?”


Saya mengangguk. Anggukan yang sama kembali saya lakukan saat ia mengatakan sesuatu yang tidak saya duga. “Kamu berbakat menulis. Tak ada anak kelas 2 SMP bisa memaparkan sedemikian rupa dalam tulisan tentang pengalamannya. Mau Ibu bimbing agar kamu lebih pandai menata kalimat?” Ia mengurai senyum, memamerkan sikap keibuan yang transparan. Ia memakai kaus ungu dengan bunga matahari di bagian depan, meletupkan rasa nyaman dan pualam.


Usianya masih belia ketika itu, kisaran 24 atau 25. Mengajar di SMP 2 adalah kali pertama setelah ia lulus dari Unnes Semarang (dulu IKIP). Ia menjadi ‘ibu kedua’ saya. Ia mengajari beragam cara menukik kata, membelokkan alur, mengerem hiperbola, mengaduk-aduk rasa, dan mengakhiri cerita.


Ia tumpahkan segenap ilmu yang ia punya. Ia menggarap saya seperti tukang jahit membuat celana. Ia mengarahkan saya menuju pintu terang dengan kilap pelita. Ia adalah ‘ibu kandung’ saya dalam kepenulisan. Setiap sore, kecuali Minggu, saya diajak ke rumahnya, diperkenalkan pada kedua orangtuanya. Saya merasa dihargai, disanjung, dijewer, dan menyulut cemburu beberapa teman karena berulang saya disebut-sebut sebagai percontohan.


Sejak lulus SMP saya tak pernah lagi bertemu dia. Bahkan ketika tulisan saya mulai dimuat majalah MOP, Anita Cemerlang, atau Suara Merdeka kala saya masih SMA. Saya menyesal tak pernah menyambanginya, bahkan sekadar menulis surat atau bertelepon. Sampai kemudian kabar yang saya terima adalah kematiannya ...


“Ia mengidap penyakit itu sejak kira-kira lima tahun lalu ... ” kata Hanum.


Saya tak mendengarkan apa-apa lagi. Mendadak saya terlempar ke ruang angkasa ...


[selamat jalan, Bunda]

4 Agu 2008

Mutiara Nasib Aris


Jangan pandang Aris dari prespektif anting dan kuku yang selalu dicat warna gelap. Jangan menyimaknya dari rambut ala kadarnya dan masa silam yang kelam. Tataplah dia sebagai simbol kemisteriusan hidup.


Hingga awal 2008, ia adalah pengamen di Stasiun Cakung, Jakarta Timur, dan tak jarang merambah Kemayoran, Senen, Tangerang, Serpong, Stasiun Kota dan Bogor, bersama Yoyo (tam-tam) dan Ricky (bas). Aris sendiri vokalis merangkap pembetot gitar. Dalam sehari mereka bisa membawa ‘pendapatan’ sebesar Rp 50 ribu.


Aris tinggal di sebuah rumah mungil berukuran 3 x 5 meter yang berhadapan dengan sungai kecil, bersama orangtuanya, pasangan Silop Runtuwene dan Siti Rohaya, adiknya, Amta; kakaknya, Alfino; serta istri, Rosillia Octo Fany dan anaknya, Mocalist Rasya Fatiruwllah. Sementara satu anggota keluarga lain, kakak Aris, Firman, jarang pulang.


Sampai di sini, gambaran yang melindap benak kita adalah sebuah kesulitan. Kesusahan yang skalanya tidak kecil, sebab Aris – nama asli di akte kelahirannya ialah Januarismanto Runtuwene, tetapi ia lebih senang dipanggil Januarisman Runtuwene – menikah di usia belia, dengan Fany, cewek sekolahan yang kagum berat pada suara serak Aris kala mata mereka bersitatap di kereta. Pernikahan ini membuahkan bayi mungil yang butuh gizi dan susu, yang memperberat perjuangan ayah muda itu menggedor tembok tebal kehidupan.


Tetapi kini Aris adalah lahar yang menyembur. Ia menjadi idola baru lewat jembatan Indonesian Idol, dalam malam “result and reunion show” di hadapan sekitar 8.000 penonton yang memenuhi Hall D PRJ Kemayoran, Jakarta, 2 Agustus lalu, menyalip Gisel, di tikungan terakhir. Lahar menyembur yang mengukuhkan keyakinan kita bahwa Tuhan tidak tidur!


Aris adalah realisasi atas presentasi takdir. Takdir yang bisa mengusung siapa saja ke singgasana, bahkan terhadap seseorang yang dijemput dari lumpur beku selokan. Dalam pakem logam mulia, pria ini tak ubahnya mutiara yang dirogoh dari hamparan pasir, digosok, kemudian kilaunya menyentuh pupil mata kala ia ditaruh di sokis toko emas.


Nasib tak serta merta melambungkan seseorang dari kubangan, sebab mengubah hidup tak cukup dengan duduk mencangkung di beranda, melainkan melalui perjuangan dan doa. Kita tak pernah mendengar apa doa dalam batin Aris. Tetapi kita meyakini keluh kesah Fany, sang istri; ratap pilu Siti Rohaya, sang ibunda; serta jutaan warga negeri ini yang menginginkan Aris tak sekadar laki-laki yang bernyanyi di atas kereta untuk sekeping dua keping ratusan rupiah.


Aris adalah cermin. Ia memiliki keyakinan atas kemampuan. Setelah ia mendapat kesempatan rekaman dari Sony-BMG, hadiah mobil, serta uang jutaan rupiah, kita hanya bisa mengantarnya hingga persimpangan jalan. Kita tak ingin ia membelok ke arah yang salah ...


[Foto: kapanlagi.com]