Search

30 Mei 2008

Setetes Embun


PUKUL 23.14, tadi malam, XL saya bergetar. Ponsel tidak segera saya sambar, sebab saya masih berselancar di cyber. Setelah nada panggil “Someday” Michael Learn to Rock itu setengah lelah, saya baru angkat HP.

“Halo, Rif. Sehat, kan?” Suara berat di seberang. Suara yang menyiratkan kelembutan, dan – jujur saya akui – lebih lembut dari bapak saya.

“Lumayan, Pak.”

“Berarti kurang sehat, ya?”

“Ya, Pak, lagi capek pikiran.”

“Kamu nggak boleh banyak pikiran, jalani saja segala sesuatu dengan rasa senang.”

Suara itu saling menyalip dengan deru mesin (lantaran ia menelepon dari kabin mobil) dan kesiur angin. Tetapi kata-kata yang terlontar itu lebih unggul ketimbang tsunami sekalipun.

Pertama kali bertemu, saya segera ingat Adam Suseno, suami Inul Daratista. Kumisnya selebat belantara, namun setelah bercakap-cakap tahulah kita bahwa ia tak sesangar preman. Ketawanya khas, menggaung dari ruangan ke ruangan.

Ia suka mendadak telepon, bahkan ketika saya sedang di toilet sekalipun. Pembicaraan berinti pada pekerjaan, namun sesekali ia menyelipkan aroma canda. Guyonannya menggelitik dan lucu, meski sesungguhnya ia tak bermaksud melucu. Tutur katanya memikul sense of belonging yang kental dan menyenangkan.

Jujur saja, tadi malam mata saya berkaca-kaca. Kepala seolah diguyur salju setelah seharian dihempas kemarau yang meranggas. Terima kasih, Pak, Anda telah mengusir iblis di batok kepala saya.

Idealisme


APA sih idealisme itu? Apakah mirip Mas Diek yang setia menggeluti seni (tulis, pahat, dan lukis) sampai-sampai ia tak memiliki rumah ketika kawan-kawannya telah menjadi juragan? Ataukah seperti Wage Tegoeh Wijono yang rela berkelana lantaran ia setia sampai mati dengan puisi?

Idealisme itu kebanggaan yang cuma bisa dijilati diri sendiri, karena jaman telah berubah. Jaman yang menuntut isi perut. Seorang pelukis boleh saja bangga produknya dibeberkan dalam pameran. Seorang perwira polisi bangga dengan lencana dan belasan penghargaan atas kepintarannya membekuk gembong judi. Tetapi, pagi ketika anak-anaknya merengek minta jajan, betapa nelangsanya hidup dia karena di dompetnya cuma menyelip beberapa lembar ribuan yang untuk membeli seliter bensin saja tidak cukup.

Idealisme kini hanya sepotong sampah yang teronggok di keranjang. Ia tak bisa lagi menjadi bola manakala BBM naik, roti tawar mahal, gincu beraneka rupa, dan beras tak lagi murah seperti saat negeri ini gemah ripah loh jinawi. Idealisme kini tak ubahnya benda yang siap-siap untuk dicibir, saat orang begitu gampang mengkredit motor atau kulkas.

Itu sebabnya, ketika beberapa waktu lalu datang seorang kawan untuk melamar pekerjaan di kantor kami, saya berada dalam dilema yang maha dahsyat. Di satu sisi saya merasa kasihan. Ia melolong karena tiga orang anaknya butuh gizi dan susu. Sisi lainnya saya menggerutu. Teman saya itu dulu begitu jumawa dengan aktivitas teaternya. Kemana-mana ia ngomong dengan puitis, kemana-mana ia membawa buku-buku WS Rendra.

Teman saya itu, apa boleh buat, pulang dengan terhuyung. Saya sedih dan pilu. Bukan karena saya tak mampu membantunya (meski misalnya sekadar memberinya pinjaman Rp 100.000), melainkan karena saya juga sedang terjebak dalam sebuah kondisi yang tak beda dengannya …

Tiba-tiba saja saya ingin menggadaikan idealisme yang saya bangun sejak setahun lalu ini!

PUISI POHON PERDU


Pagi buta tadi, Indah menelepon. “Mas, Enny udah melahirkan. Cowok lagi. Kapan kita menengok ponakan baru?” Adik saya ini punya lengking suara Renny Djayusman. Jika gendang telinga tak biasa mendengarnya, pasti orang mengira ia marah.

Enny yang dimaksud adalah adik bungsu kami. Ia dipinang pria Jawa, tapi kini sedang membangun usaha di Pontianak. Bungsu yang lucu. Ia mirip kupu-kupu. Terbang dari satu meja ke meja lain, dari satu kamar ke kamar lain, dengan tawa khasnya. Ia menulis buku harian waktu SMP. Tulisannya rapi, tapi tata bahasanya kacau. Sekacau-kacaunya, ia ABG yang menggemaskan, sekaligus (terkadang) mengesalkan.

“Hari ini aku dirayu Yuda, anak Dandim. Aku sih suka orangnya, cakep, dan bajunya bagus-bagus. Tapi aku cuma anak seorang carik, sedang dia anak Dandim. Apa benar ia mencintaiku?” Begitu salah satu halaman diary-nya ia tulisi, yang sempat saya curi intip.

Saya terkekeh. Rasa sayang yang sulit digerus hanya lantaran ia sudah mengenal pacaran, setidaknya mengenal pria tampan, meski ia masih SMP. Sore harinya ia saya boncengkan sepeda motor. Di jembatan tepian kampung, ia saya ‘interogasi’. “Yuda itu siapa?” Tanya saya dengan tutur kata selembut mungkin, agar wajahnya tak seketika memerah.

Tapi tetap saja ia merah padam. “Idih, kok Mas Arief tau siiih! Ngintip buku harianku ya? Jahat!” Ujarnya sewot. Terselip rasa takut di cuping hidungnya. Ketakutan yang kanak-kanak. Ketakutan kuncup bunga sepatu, yang seketika bisa mereda apabila terulur tangan kekar seorang kakak untuk mengelus rambutnya.

“Maaf, sayang, Mas nggak bermaksud mencuri rahasia adik. Tadi tanpa sengaja Mas menemukan buku itu saat Mas membuka tas untuk meminjam penghapus.”

Tapi salah. “Pokoknya jahat!” Teriaknya ketus seraya membanting langkah tergopoh-gopoh menuju rumah. Saya membuntutinya seraya merayu agar ia mau diboncengkan. Tapi gagal.

Enny adalah sebuah perkecualian. Ia gadis bening dengan mata kucing. Saya tak sanggup memelototinya lama-lama seperti tatkala saya mengomeli Eddy, adik kami nomor tiga. Enny mewarisi sifat keras kepala mendiang Ibu. Ia tak segan mencoreti kertas ulangan bila hasilnya jeblok. Bukan marah terhadap gurunya, melainkan merutuki diri sendiri lantaran malamnya ia tak belajar.

Masa SMA melumurinya dengan hal-hal romantis. Ia mulai menulis puisi. Sajak-sajaknya dimuat di majalah dinding sekolah. Di tembok kamar, tetera deretan puisi — yang tatkala saya cermati dengan seksama — cukup indah. Misalnya ini: .. kepada perdu yang bertindihan dengan awan, kusampirkan beban hidup, kusematkan rasa ini pada mega-mega di sekelilingnya ..

“Aku udah boleh pacaran belum?” Ujarnya suatu ketika. Saya meneliti wajahnya. Ada isyarat jenaka, tetapi juga serius.

“Umurmu berapa sekarang?”

“Emm .. Mau 18.”

“Belum boleh.”

“Teman-teman udah tuh.”

“Kamu bukan mereka.”

“Tapi kan umurnya sama.”

“Banyak seumuranmu yang hamil karena salah mengartikan pacaran.”

“Maksud Mas, aku juga gampangan gitu?”

“Iya, terutama jika pacarmu itu nanti hanya berniat mengajakmu berbuat intim tanpa memedulikan risikonya.”

“Pacarku enggak seperti itu.”

“Jadi kau sudah pacaran?” Saya terhenyak.

Enny adalah gadis bening tetapi keras kepala. Ia manekin yang penuh daya tarik. Ia magnet yang menguarkan aroma kembang. SMA kelas 3 ia telah dua kali pacaran, disambung ketika ia kuliah di semester satu hingga empat. Total, saat usianya belum genap 22 tahun, ia sudah enam kali pacaran!

Sebagai anak tertua saya membangunkannya benteng sekokoh koloseum. Biarlah angin mengalir, asal tak membawa aura jahat menerobos pertahanan. Biarlah badai datang, asal Enny adalah perempuan mungil berwibawa yang tak mudah bertekuk lutut. Tetapi puisi tentang pohon perdu di temboknya mengisyaratkan tentang keretakan. Dinding baja itu pun roboh. Suatu senja, saya mendapatinya terisak-isak dengan lolong yang tak terperi. Ia hamil …

Dua tahun kemudian, suatu malam.

“Mas, aku telah mendapatkan pria yang sanggup memikul beban berat. Namanya Hasta. Ia menempatkanku pada singgasana sebenarnya, setelah Ismu membantingku dengan keras seraya meninggaliku Haikal tanpa tanggung jawab …” Itu isi SMS Enny sebulan sebelum pernikahannya.

Gadis mungil saya itu kini telah memiliki bayi lagi …

(beberapa nama disamarkan)

23 Mei 2008

CUNGKUP MULUT MUNGIL SILVER

Nama saya Enno.” Cungkup mulut mungil itu mengingatkan saya pada Silver.

Korea yang basah. Suhu 18 derajad celcius membekukan setiap kelenjar dan pori. Bandara Incheon Seoul diliputi kabut. Menunggu jemputan panitia seminar “The Future of Soccer”, membuat mata saya pedas. Sendi-sendi seolah dicopoti oleh penerbangan 6 jam dari Jakarta yang melelahkan.

“Hai.” Sebutir suara renyah. Seperti mengambang dalam nirwana. Saya menoleh. Di dekat bahu saya mendadak mekar sebuah senyum yang putih. Saya ternganga sejenak, hingga akhirnya tersadar bahwa “hai” itu dialamatkan kepada saya. Ia mengulurkan tangan.

“Anda dari Indonesia? BOLA Sport Weekly?” Ujarnya dengan Bahasa Inggris yang mudah dimengerti.

Saya mengangguk seraya mengangsurkan tangan. “Firhanusa.”

“Saya Sylvia Koh. Panggil saja Silver,” ucapnya dengan cungkup mulut mungil. Bibir yang sesekali ditampar dengan lunak sulur-sulur rambutnya yang dihempas angin.

Kami menaiki Mercedes, menyusuri aspal yang lengang dan penuh hutan kota menuju Seoul. Lima belas menit kemudian kami melewati Sungai Han yang luas, dengan penduduk yang memancing atau refreshing di sekeliling. Mata saya tertambat. Silver sibuk menjelaskan dengan telaten. Sikap manis yang menyaingi kelembutan bunga warna-warni di ruas jembatan Sungai Han.

Tibalah kami di Hotel Grand Intercontinental di Jalan Samsung-Dong, Seoul bagian Selatan. Silver berniat meraup koper saya dari bagasi, tapi saya mencegah. Tangan lembut itu terlalu indah untuk barang berat. Namun terlambat. Ia telah menjinjing koper dengan kecepatan yang tak terkira.

“Saya sudah biasa begini. Anda tak perlu khawatir,” ujarnya dengan senyum ramah. Sejurus kemudian ia telah menaiki tangga dengan kaki kijangnya menuju lobi, mirip Julia Roberts saat bermain di Notting Hill. Saya melongo dan bergegas mengekornya.

***

Kami menyusuri Dong Daemun, sebuah plaza yang menukik di bawah jalan protokol Seoul. Rasa cemas oleh kemungkinan beton ambrol ke bawah dan menimpa pertokoan di bawahnya, menciptakan pendar geli di mata Silver.

“Kami telah merencanakan dengan seksama pembangunan plaza ini, sehingga kemungkinan jalanan roboh ke bawah adalah nol persen,” paparnya. Lagi-lagi dengan senyum yang memabukkan. Senyum yang dua malam ini mengganggu tidur saya. Di ruang seminar, belasan kali saya menoleh ke sayap kiri tempat Silver duduk. Ia tampak anggun dengan blazer ungu, menyebabkan konsentrasi saya hilang.

“Saya mempercayainya, bukan saja lantaran kau mahasiswi fakultas teknik di Suwon yang terkenal itu, tetapi karena setiap apa yang kau lakukan selalu dengan cara seksama.”

“Saya bukan insinyur yang turut membangun Dong Daemun.”

“Tetapi kau punya kekuatan melebihi baja manapun.”

“Ah, jangan mudah terhanyut.”

“Kau sendiri yang menghanyutkanku dengan cerita mengenai pria yang mencampakkanmu beberapa tahun lalu itu.”

Please, jangan diungkit.”

“Maaf.”

Di lobi Hotel Grand Intercontinental, malam sebelumnya, paras Silver pias. Saya mencoba membuatnya tenteram tatkala ia mengakhiri kisah hidupnya yang tragis. Seorang dosen muda memacarinya. Dua tahun hubungan berjalan, dan prosesi menuju pernikahan pun tiba. Tetapi pria ini meranggas seperti tumor ganas. Hati Silver tercabik-cabik manakala suatu hari datang perempuan yang mengaku tunangan sang dosen.

“Saya sangat terluka … “ ucapnya di sela airmata yang menggenang. “Dua tamparan datang serentak, pertama dari pacar saya yang membagi hati, kedua dari umpatan perempuan ini. Saya dicaci maki. Saya diserbu dengan perkataan paling nista yang pernah saya dengar …”

Saya mendengar dan menyimak. Saya cermati setiap ucapan yang terlontar. Lalu saya dapati sesuatu yang tak kasat mata. Di balik suaranya yang pilu terdapat kekuatan maha dahsyat. Silver membangun sendiri benteng yang kokoh selepas ditinggal ayah-ibunya. Ia yatim piatu yang menyekolahkan dua adiknya, mengongkosi kuliahnya sendiri, dan mendapatkan seluruh biaya keseharian rumah tangga ‘ganjil’ itu dengan menjadi guide di banyak acara internasional yang diselenggarakan oleh Korea Selatan.

Kemarin, ia berkirim email. Silver mengabarkan telah dipilih pemerintah Korsel sebagai salah satu insinyur yang menangani pembangunan infrastruktur di sepanjang jalur Suwon-Seoul. Mata saya memendar gembira dan segera mengingat cungkup mungil mulutnya.

Pada saat hampir bersamaan, seseorang menyapa saya dengan penuh percaya diri melalui cungkup mulutnya yang juga mungil: “Nama saya Enno.”


*Untuk Enno dengan segenap energinya.

22 Mei 2008

ISI HATI MAIA SESUNGGUHNYA


(Wawancara imajiner dengan Maia Estianty)

Siang pukul 13.00, 13 Mei lalu, wajah Maia tampak kusam. Baru saja ia lewati sidang perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Di lorong menuju tempat parkir, ia menerima saya untuk wawancara. Di sebelahnya ada pengacara Elza Syarif dan Sheila Salomo, serta Kusthini dan Ir Harjono Sigit, ibu dan ayahnya. Berikut petikan interview itu.

Halo, Maia.

Halo juga, Mas.

Anda biasanya tegar. Mengapa kini tampak sedih?

Saya tidak tahan saat ibu saya menceritakan flashback ketika ayah saya mendapatkan perlakukan kasar dan penghinaan. Sebelum menikah, keluarga saya memang tidak setuju dengan Dhani yang anak band. Tetapi saya tetap memilih Dhani hingga akhirnya Bapak-Ibu memberi restu.

Ibu yang datang sebagai saksi menangis ketika memberi kesaksian tentang perlakuan kasar dan penghinaan yang dilakukan Dhani. Melihat Ibu menangis, saya tak kuasa membendung airmata. Saya luluh dengan tangisan Ibu.

Dhani nggak hadir di persidangan ini, apa komentar Anda?

Emang gue pikirin!

Kabarnya ia ke Australia bersama Mulan, ya?

EGP!

(Elza Syarif tampaknya tak tahan. Ia menyela)

Menurut penjelasan pengacara Dhani, Derta Rahmanto, Dhani memang sedang berada di Australia untuk memenuhi undangan menjadi pembicara dalam kuliah terbuka di suatu universitas. Lagi sidang kok malah jalan bareng dan mesra-mesraan.

(Maia menimpali), Jangan hanya dua-duaan, mesra-mesraan. Resmikan saja, ceraikan saya dulu!

Nama Mulan Jameela sepertinya membuat Anda alergi, ya? Apa komentar Anda tentang dia?

Jameela? Hahahaha … Sudahlah, pake Kwok aja, nggak usah Jameela-jameelaan, terlalu dibuat-buat tuh! Bagusan Kwok, kok. Atau kalau perlu balik lagi ke Wulansari, nama asli yang ia bawa dari Garut!

Tapi Mulan pernah membuat Ratu begitu hebat saat duo dengan Anda. Anda menganggap dia kacang lupa kulitnya? Pengkhianat? Atau perempuan tak tahu diri lantaran shock budaya?

Gini loh Mas. Mulan itu saya temukan di sebuah kafe di Bandung dalam kondisi mengenaskan. Ia cukup kere, sehingga untuk membeli kostum panggung saja ia tak mampu.

Sebelumnya kami melakukan audisi untuk mengganti Pinkan Mambo, tapi tak kunjung menemukan pengganti. Dulu pernah beberapa penyanyi saya ajak duet untuk mengganti sementara Pinkan, diantaranya Tia AFI. Kemudian ada juga desas desus Agnes Monica dan Tere bakal saya rekrut. Tapi saya pengin wajah baru, yang belum terkenal.

Sampai akhirnya seorang teman memberi beberapa foto dan profil penyanyi Bandung. Salah satunya Mulan. Waktu pertama kali lihat fotonya, saya langsung pengin tahu, dia nyanyi di mana. Saya tunjukkin ke Dhani, dia juga penasaran. Begitu tahu dia nyanyi di Barbados Cafe Kemang, saya langsung samperin dia.

Malam itu juga Mulan saya panggil ke rumah. Saya suruh dia nyanyi. Saya langsung dapat chemistry-nya. Langsung connect.

Bukankah kemunculan Mulan yang udik itu jadi serbuan pemburu berita gosip, karena selain kepindahnnya dari Band Dimensi ke Ratu dianggap bermasalah, juga diberitakan sudah punya anak dan suami?

Ah, no comment ah. Anda kini boleh menyimpulkan sendiri.

Tapi sukses, kan? Anda cocok, kan, dengan Wulansari, eh, Mulan Kwok? Buktinya Ratu versi baru dengan singel Teman Tapi Mesra (TTM) jadi tembang yang paling sering diputar, dan kabarnya terjual 150 ribu keping dua bulan setelah dirilis. Saking tenarnya, lagu TTM jadi idiom baru untuk menggambarkan seseorang yang bersahabat namun ....

Anda tahu apa, Mas? Anda tidak lebih tahu daripada saya! Jangan singgung TTM, karena saya menjadi trauma. TTM itu kan akhirnya mengutuk Dhani dan Wulansari, sehingga mereka lupa daratan, lupa kulitnya, mabuk kepayang, cium-ciuman! Saya sinting dibuatnya! (mata Maia tampak melotot penuh bara)

Berarti Mulanlah biang keributan ini?

Anda kok nggak ngerti juga, sih? Siapa yang mengajari Al, El, dan Dul menyimak foto-foto porno? Siapa yang menggeliat kurang ajar saat syuting video klip di depan Dhani? Siapa yang bercumbu dengan suami saya di saat saya kerja? Siapa? Siapa, Mas? Mulan adalah penyebab pecahnya rumah tangga kami. Mereka sering tampil berdua dan tidak lagi sungkan menunjukkan kemesraan di panggung.

Dalam bermusik, Anda lebih pintar ketimbang Mulan. Menurut Anda?

Mulan itu ibaratnya hanya barang. Dia bisa gerak kalau digerakkan oleh orang lain. Bikin lagu? Hoho, mana bisa! Memainkan alat musik juga tak becus. Dia selalu tergantung dari orang lain, manager, dan sebagainya.

Itu mengapa Mulan menghindari tampil sepanggung dengan Anda di RCTI pada Kamis (17/4/2008) malam dalam tajuk “Perempuan dan Wanita” itu, ya?

Anda kan jurnalis. Anda bisa menganalisa urungnya Mulan tampil sepanggung dengan saya. Anda bilang “takut”, mungkin juga iya, meski Marissa, manajer Mulan dari Manajemen Republik Cinta bilang bahwa batalnya Mulan tampil “karena nggak bisa aja.” Takut sama saya? Mungkin saja.

Apa beda Anda dengan Mulan?

Saya nyanyi seperti Mulan bisa, bikin lagu bisa, mengaransir lagu juga oke, jadi manager orang lain atau memanageri diri sendiri bisa. Ya jangan dibandingkan dong saya dengan Mulan. Mulan akan berhenti total kalau sudah tidak ada daya tariknya lagi atau tidak ada nilai jualnya! Sedangkan saya selama masih bisa berdiri tegak dan masih punya suara tetap bisa membawakan lagu baru. Coba lihat penyanyi yang tidak bisa bikin lagu, dia akan segera hilang dari peredaran alias kalau muncul ya cuma lagu itu-itu saja!

Di video klip 'EGP' (Emang Gue Pikirin), Anda mengajak sejumlah selebritis, seperti Luna Maya, Indra Bekti dan Sandra Dewi. Mengapa?

Keikutsertaan mereka bukan hanya sebagai daya tarik sebuah video klip musik, tapi juga karena saya dan sejumlah seleb itu memang bersahabat.

Kebetulan kan kita pernah punya kasus-kasus, sering juga digosipin yang nggak bener, jadi sekalian aja kita nunjukkin solidaritas di sini. Mereka juga kan sahabat-sahabat saya yang sering mensupport keberadaan Duo Maia sama ketika aku lagi ada masalah.


Luna Maya, Sandra Dewi, Indra Bekti, Aming dan lain-lain memang hanya tampil sebagai cameo. Mereka mencoba menggambarkan lirik lagu 'Emang Gue Pikirin' yang terkesan menunjukkan sisi cuek saya. Kami nggak pernah menawarkan, tapi mereka yang menawarkan ikutan di video klip ini. Seperti Luna, begitu dia tahu saya mau bikin klip EGP, Luna terus-terusan nelpon nanya kapan mulai syuting.

Terakhir, apa yang paling Anda inginkan dari Dhani sekarang ini?

Kalau sudah enggak cinta sama saya, ya tinggal tanda tangan. Ngapain juga sampai diulur-ulur?

21 Mei 2008

DAUN-DAUN BERGUGURAN


Daun-daun berguguran di Bumi Pertiwi. Ranting-ranting patah di negeri ini.


Alam tengah melakukan ritual penting dalam rangka menguji kadar kebangsaan penduduk negara penuh cobaan ini. Ritual yang meranggas pohon kekar masa lalu, untuk digantikan dengan tunas baru yang lebih segar dan kuat.


Bulan Mei seperti periuk di atas tungku. Soeharto berdebum terjerembab pada 1998, ketika reformasi mengusung benderanya. Kebangkitan nasional membawa roh Boedi Oetomo ke segenap sumsum siapapun yang masih merasa punya Sang Saka.


Alam pula yang memberi tanda-tanda tentang peringatan. Orang-orang perkasa dipetik dari haribaan, lalu disemayamkan dalam senyum Tuhan. Sophian Sophiaan, Ali Sadikin, kemudian menyusul SK Harimurti. Siapa lagi? Siapa lagi yang bakal ‘mengkat’ guna menandai makna ketulusan?


Bulan Mei ini begitu banyak aksara. Begitu banyak airmata. Begitu meluap emosi jiwa. Piala Thomas dan Uber menjadikan Istora mirip negara kecil tempat kebersamaan direkatkan. Teriakan “Indonesia!” serta kelebat bendera meruntuhkan apapun yang menyekat. Siapapun kamu, apa agamamu, darimana kamu dilahirkan, darah kuning atau jingga dalam tubuhmu, hitam atau putih kulitmu, semua satu: Indonesia!


Istora melupakan sejenak puing-puing, sebab pada keesokan harinya kembali kita dihadapkan pada debu dan kutukan. Indonesia adalah negara yang terseok dan terlindas. Negara yang dicemooh dan diludahi. Negara yang akrab dengan bencana. Negara yang ditindih kemiskinan, padahal katanya makmur sejahtera.


Negara yang dibelit utang. Negara yang orang-orangnya telanjang, meski katanya penuh kepribadian. Negara yang orang-orangnya menyemir rambut, meski katanya punya adat ketimuran. Negara yang dikorupsi pejabatnya. Negara yang dipenuhi polisi yang menyikat duit rakyat jelata. Negara yang memperkosa ibunya sendiri!


Indonesia, oh, betapa laknatnya para pengelola! Ibu Pertiwiku, mengapa kau cecapkan pahit ke sumsumku?


Kebaya merah kau kenakan
Anggun walau nampak kusam
Kerudung putih terurai
Ujung yang koyak tak kurangi cintaku

Wajahmu seperti menyimpan duka
Padahal kursimu dilapisi beludru
Ada apakah?
Ibu

Ceritalah seperti dulu
Duka suka yang terasa
Percaya pada anakmu
Tak terfikir tuk tinggalkan dirimu

Ibuku, darahku, tanah airku
Tak rela kulihat kau seperti itu
Ada apakah?
Ibu


(Kebaya Merah, Iwan Fals, Album SWAMI II 1991)

17 Mei 2008

SELAMAT JALAN, MAS SOPHAN


Sophan Sophiaan lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 26 April 1944. Ia adalah salah satu aktor senior, sutradara dan politikus. Ayahnya, Manai Sophiaan, adalah politikus terkemuka Indonesia yang pernah menjadi duta besar di Rusia.

Sophan menikah dengan aktris senior Widyawati. Setelah banyak berkiprah di dunia perfilman, Sophan terjun ke panggung politik dan pernah aktif di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Dalam kapasitasnya itu, ia pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI.

Pada tahun 2005, ia turut bergabung dalam pendirian partai baru yang bernama Partai Demokrasi Pembaruan bersama Laksamana Sukardi, Arifin Panigoro, Roy BB Janis, Sukowaluyo Mintohardjo, Noviantika Nasution, Didi Supriyanto, Tjiandra Wijaya, Postdam Hutasoit dan RO Tambunan.

Sophan meninggal pada 17 Mei 2008 dalam sebuah kecelakaan motor di Ngawi, Jawa Timur. Selamat jalan, Mas Sophan.


Sebagai Pemeran
Lisa (1971) oleh M. Sharieffudin A
Pengantin Remaja (1971) oleh Wim Umboh
Lorong Hitam (1971) oleh Turino Djunaidy
Matahari Hampir Terbenam (1971) oleh R. Iskak
Perkawinan (1972) oleh Wim Umboh
Tjintaku Djauh Dipulau (1972) oleh Motinggo Boesje
Si Bongkok (1972) oleh Lilik Sudjio
Pemberang (1972) oleh Hasmanan
Mutiara Dalam Lumpur (1972) oleh Wahyu Sihombing
Pencopet (1973) oleh Matnoor Tindaon
Anak Yatim (1973) oleh Fritz G. Schadt
Percintaan (1973) oleh Pitrajaya Burnama
Timang-Timang Anakku Sayang (1973) oleh Sandy Suwardi Hassan
Perempuan (1973) oleh Pitrajaya Burnama
Romi Dan Juli (1974) oleh Hasmanan
Cinta Remaja (1974) oleh Lilek Sudjio
Aku Cinta Padamu (1974) oleh Hasmanan
Kehormatan (1974) oleh Bobby Sandy
Gaun Pengantin (1974) oleh Bobby Sandy
Demi Cinta (1974) oleh Matnoor Tindaon
Rahasia Seorang Ibu (1977) oleh Wahyu Sihombing
Kemilau Kemuning Senja (1980) oleh Hasmanan
Amalia S.H. (1981) oleh Bobby Sandy
Perempuan Kedua (1990) oleh Ida Farida
Yang Tercinta (1991) oleh M.T. Risyaf
Love (2008) oleh Khabir Bhatia


Sebagai Sutradara

Jinak-Jinak Merpati (1975)
Widuri Kekasihku (1976)
Letnan Harahap (1977)
Bung Kecil (1978)
Buah Hati Mama (1980)
Jangan Ambil Nyawaku (1981)
Bunga Bangsa (1982)
Kadarwati (1983)
Saat-Saat Yang Indah (1984)
Tinggal Landas Buat Kekasih (1984)
Melintas Badai
(1985)
Damai Kami Sepanjang Hari (1985)
Di Balik Dinding Kelabu (1986)
Arini, Masih Ada Kereta Yang Lewat (1987)
Ayu Dan Ayu (1988)
Suami (1988)
Sesaat Dalam Pelukan (1989)
Ketika Senyummu Hadir (1991)
Sesal (1994)


Sinetron
Elang (2008)

16 Mei 2008

BEBATUAN TERJAL BU MUTIA


SAAT pagi menggeliat di peraduan, ketika itulah meloncat teriakan khas: “Jajan, jajaaaan … Mendoan, tahu susur, lumpia, rames, nasi kuning!”

Itulah ‘jam weker’ kami. Teriakannya melengking dari ruang tamu, sebab perempuan ini sudah memperoleh ‘hak’ untuk menguak pintu utama kantor kami, tanpa perlu mengetuk kaca atau memencet bel di luar sana.

Biasanya kami langsung bangkit dari kasur lipat yang berderet seperti bandeng presto di depan televisi, dan bergegas menyambangi perempuan ini. Bu Mutia, begitu namanya, tampak cuek membaui aroma tidur yang belum terguyur. Mata-mata kami yang memerah lantaran semalaman begadang merampungkan pengerjaan tabloid pun tak mengusiknya. Ia tampak begitu gembira kami kerumuni.

Tubuhnya mungil. Umurnya kisaran 50 tahun. Tetapi beban gendongan seolah menyiratkan betapa berat beban hidupnya. Saat azan subuh, ia sudah bangun, kemudian segera mengangkat bakul, mendatangi ‘produsen’ gorengan dan nasi bungkus, lalu menapaki kerikil dan bebatuan sepanjang Jl Tegalsari Raya – tempat kantor kami bermukim --, serta kampung-kampung nun jauh.

Sudah 20 tahunan ia berdagang beginian. “Ancar-ancarnya (saya mulai berdagang gendongan) ya mulai anak saya pertama baru berumur 3 tahun. Nah, sulung saya ini sekarang sudah berusia 25 tahun,” tutur Bu Mutia seraya tersenyum tulus, dengan gigi -- yang saya yakini – jarang disepuh dengan odol.

Sehari, begitu ia bercerita, ia memperoleh untung antara 20 sampai 25 ribu. Dengan penghasilan segede itu, ia bisa menghidupi ketiga anaknya (2 perempuan, satu laki-laki. Yang laki-laki masih kelas 5 SD). Anak sulungnya telah dipinang orang, dan kini telah dikaruniai tiga anak.

Bagaimana dengan sang suami? “Suami saya lumpuh sejak beberapa tahun lalu setelah tangannya terbelah keranjang bambu, saat ia menaikkan tembakau ke atas truk di tempat kerjanya,” ujarnya enteng.

Bu Mutia begitu enteng memandang hidup. Penderitaan tak tampak dari pijar matanya, meski, saya yakin, sesungguhnya ia menderita karena harus berjuang menggempur bebatuan yang menghantam telapak kakinya hingga pecah. Tatapannya tetap optimis, meski tak jarang kami tak membeli apapun darinya lantaran ia kalah cepat dengan soto gerobak.

Di ruang kerja, sesudah menyantap nasi ramesnya pagi ini, diam-diam saya malu karena tak memiliki spirit Bu Mutia …

15 Mei 2008

JELAGA MASA SILAM


Ma, hari ini aku menangis lagi. Sprei jingga hadiah Mama kini basah oleh airmata. Aku tak sanggup lagi, Mama, aku tak kuasa lagi menyembunyikan kegetiran ini.

Aku bukan lagi perempuan kecil yang main lompat tali. Tapi hatiku tetap saja balita. Mama mengajariku untuk mengepak seperti kupu-kupu, namun tak ada yang bisa menghelaku untuk terus terbang seperti layang-layang.

Betapa malunya hati ini, Mama, sebab aku tak mampu mengeja makna cinta. Telah Mama ajarkan bagaimana cara mencintai dan dicintai, sebagaimana Mama bersikukuh mencintai Papa yang berkaki timpang dan bongkok. Mama bersikeras menemani Papa sampai mati, kendatipun Papa tidak lebih tinggi dari mama. Mama hanya mencintai Papa sejak pandangan pertama, dan terus berhati baja. Mama mencintai Papa sebagai pria pertama dan selamanya.

Mata mama indah dan berseri-seri. Hati mama pun bening seperti telaga. Sayangnya aku hanya mewarisi pijar mata, tinggi semampai, dan kuning langsat, tetapi tak mampu menjaga dengan sempurna kelenjar rasa.

Kelenjar yang kini tak tahan goncangan, sehingga setiap kali datang lelaki dan kemudian pergi, aku mendadak runtuh dan mengeluh. Lelaki yang hanya datang seperti kumbang, kemudian pergi ke rimba lagi.

Aku seperti perempuan kecil yang main lompat tali, mengaduk-aduk perasaan lelaki, menjerat hingga sekarat, lalu membiarkannya berlalu. Seperti itu berulang-ulang, sampai akhirnya tibalah waktunya untuk memilih satu saja di antara mereka. Usiaku sudah siap menikah dan punya arah. Tapi, terlambat, Ma, aku tak ubahnya maniken yang ditaruh dalam gudang ketika sudah digunakan.

Mama, mengapa ada karma?

*Elegi untuk Enny, adik bungsuku, yang sekarang tengah menunggu kelahiran anak keduanya di Pontianak. Semoga Tuhan memberkati. Kecup sayang.

14 Mei 2008

DHANI (LAGI)


APA, sih, istimewanya Dhani?

Jujur belakangan ia menjadi tidak istimewa lagi, meski saya pernah tergila-gila padanya (sebuah ketergila-gilaan yang rawan, sebab sebelumnya saya masih pria normal yang menyukai perempuan ketimbang pria. Itu artinya, jika ada lelaki yang saya kagumi, berarti ia ‘istimewa’. Saya gay? Najis!)


Tahun 1992, ketika Dewa konser untuk pertama di Semarang, saya bergetar. Tentu itu getaran yang jujur, pasalnya saya masih ingusan dan lugu. Menjadi wartawan freelance pun semata untuk mencari uang untuk membayar kos.

Dewa (baca: Dhani Manaf. Waktu itu ia memang masih menyelipkan “Manaf” di namanya, sebelum berubah-ubah menjadi Ahmad Dhani atau Dhani Ahmad) menciptakan histeria massa. Para ABG memiliki idola baru. Saya juga. Usai konser mereka mau-maunya difoto dengan backdrop Dewa yang saya copot dari background panggung. Para fotografer dan wartawan gadungan sempat senang dengan ide saya ini.

Tahun 2002, ketika saya bekerja di Grup Kedaulatan Rakyat Yogya, saya sering berdiskusi dengan Anas, teman yang rumahnya saya kosi, yang kebetulan Baladewa (sebutan untuk fans Dewa). Kami mendebatkan lirik Dewa yang menyentuh dan megah, hingga tabiat Dhani yang tanpa kompromi. Sejauh itu, saya masih cinta Dewa.


Sampai akhirnya grup ini kesandung masalah, April 2005. Dalam konser "Laskar Cinta" di TransTV. Mereka beraksi di atas karpet motif kaligrafi bertuliskan "Allah".
Reaksi dari para ulama membuat heboh, melebihi geger "Arjuna Mencari Cinta" yang diprotes penulis novel Yudhistira AM Massardi itu.

Dhani mulai dikenal sebagai pria keras kepala dan sombong. Ia dengan enteng berkomentar tentang perkaranya dengan Maia, sang bini. Di infotainmen ia innocent saat menghujat mertuanya, seolah dunia sudah ia genggam. Ia juga arogan, kemlinthi, sok gentle, bergaya menteri, dan playboy.

Perseteruan Dhani-Maia mendongkrak kembali popularitas program infotainmen di hampir seluruh televisi di negeri ini. Orang menunggu-nunggu kabar lanjutan. Masyarakat tak segan mengeraskan volume TV hanya untuk mendengar komentar Dhani atau para pengacara.


Dhani memang layak jual. Sebab itu ia tak henti membangun sensasi. Bayangkan andaikata tiba-tiba tak lagi terdengar kabar tentang dirinya, apakah manajemen "Republik Cinta" bakal bertahan?

Dhani tiba-tiba tidak istimewa lagi. Ia tak bisa menyalip Chrisye, Iwan Fals, atau Ebiet G Ade yang besar tanpa bertingkah. Dhani hanya akan terus menerus berkubang dengan persoalan karena ia memilih jalur keras untuk publisitas.

Kontroversi hanya akan memarkir seseorang menjadi renta dan ditinggalkan para pemuja, sebab negeri ini tengah membutuhkan sosok adem, bukan orang yang memberi tauladan dengan kekerasan.

Saat tua nanti -- semoga prediksi saya ini keliru -- Dhani hanya akan memunguti sisa deposito, atau merekap kuitansi penyewaan alat-alat band warisan kejayaan Dewa, seraya melamun di beranda.

Terus terang belakangan saya tak lagi mengoleksi album-album Dewa (dengan Manajemen Republik Cinta-nya), kecuali menyelipkan lagu Sempurna produk Andra and The Backbone di memori ponsel …

12 Mei 2008

RINDU TUHAN


HARI Minggu kemarin saya ingin tiduran di pangkuanMu seraya mengadu. Tak tahan hati saya menyimak mata-mata polos itu. Mata-mata yang dicampakkan. Mata-mata yang disembelih sendiri oleh orangtuanya tanpa iba.

Sepanjang hari saya amat merindukanMu, Tuhan. Bakti sosial ultah Tabloid PULSA ini menjadi pengembaraan spiritual yang luar biasa, dari ujung barat hingga timur Kota Semarang. Dari wanita papa dan janda-janda tua, hingga anak-anak yang tersuruk. Lalu, tibalah pada tengah hari rombongan kami di Panti Asuhan Wiratama Putra.

Di gerbang panti asuhan dengan jejalanan yang terjal ini mata kami bersirobok dengan seringai sejumlah anak tanpa alas kaki. Beberapa dari mereka kausnya seragam. Tangan saya bergetar tatkala mereka melambaikan tangan. Mata saya sembab, sampai-sampai mencari ruang untuk memarkir mobil saja saya nyaris menyuruk gardu.

Tubuh-tubuh mungil ini mengerumuni kami. Saya mengelus mereka satu persatu tanpa bisa menyembunyikan isak. Beberapa teman juga tampak menggigil. Saya amat-amati mata mereka sekian lama, lalu saya temukan kegembiraan yang mulai bersemi setelah dicangkok oleh Bapak dan Ibu Untung, pengelola panti asuhan ini. Tetapi sampai kapan cangkokan mampu menahan gerus nasib yang warnanya buram?

Sekitar 80 anak dengan sejarah yang beragam menghuni panti asuhan itu. Perih rasanya dada tatkala diceritakan satu persatu awalnya mengapa mereka dengan sangat terpaksa dibesarkan di sana.

“Yang ini dititipkan polisi karena dibuang begitu saja oleh orangtuanya. Nah, yang itu ditinggal mati oleh ibunya yang pengemis di sebuah sudut Jakarta. Yang di sana itu kami temukan di terminal, yang sebelahnya … “

Saya tak sanggup mendengar lagi. Ingin rasanya mengasah belati, menghambur ke iblis yang membuang bayinya di selokan atau toilet umum. Ingin rasanya menembaki mereka satu persatu, mencincangnya menjadi ratusan bagian, lalu menceburkannya di sungai paling keruh yang pernah ada!

Minggu kemarin saya merindukanmu, Tuhan. Saya ingin bertukar pikiran. Saya ingin Anda memberi penjelasan kepada saya tentang arti keadilan. Saya ingin mengajakmu berdebat perihal ketersia-siaan. Saya ingin Anda menjenguk anak-anak ini lalu memberi mereka pedang.

Saya ingin menggiring mereka ke pangkuanmu, tanpa karma dan dosa …

9 Mei 2008

APA KABAR, FE?

APA kabar, Fe?

Hari ini tiba-tiba saya mengingatmu. Pagi yang diruntuhi beragam problem kantor. Pagi yang rusuh dan angkuh. Tetapi telinga saya mendadak cair manakala Tentang Aku mengalun lembut dari suaramu yang khas.

Sudah lebih 10 tahun saya kehilanganmu. Kemana saja, Fe? Kemana saja kau setelah Ceepe Production menelurkan album pertama [dan album satu-satunya Jingga, duo kamu dengan Therry itu] pada 1996?

Jingga, bagi saya, adalah “One Hit Wonder”. Kehadiranmu mengejutkan karena membawa kesegaran baru. Suaramu yang khas terasa pas menggumamkan lagu-lagu Tentang Aku, Dalam Doa atau Kuterhempas.

Tentang Aku sendiri, yang liriknya ini:

Mungkin hanya jiwa yang tak terjaga jua
Dalam doa
Hingga khilaf menyentuh terasa bergetar
Ku berlalu
Saat terasa waktu t'lah hilang
ku terdiam, oh...
Saat hanya gundah yang bertentangan
ku bernyanyi

Cinta, cita, harapan
Dan kuterbawa dalam kisah yang lama
Cinta, cita, harapan
Dan kuterbawa dalam kisah lama

Amarah yang tak terucapkan jiwa
Tak terungkap
Walau diri t'lah terbelenggu hasrat
Yang bernyanyi …
Terasa sangat menyentuh. Kamu melantunkannya tanpa tekanan dan penuh perasaan, bahkan masuk kategori all time hits, sungguh pun terakhir sempat dirilis ulang oleh Andien. Andien, menurut saya, bukan seperti kau, Fe!

Saya menyukaimu, Fe, dan ucapan Alhamdulillah berulang saya kumandangkan tatkala saya jumpai lagu Tentang Aku bermukim di bilik laptop yang saya bawa kemana saya pergi. Saya berada dalam kesejatian Jingga, jauh di atas grup-grup dengan membonceng warna macam Ungu atau Cokelat [meski jujur saya akui, Cokelat juga sempat membuat saya berlinang airmata tatkala menyanyikan Bendera].

Ungu, tiba-tiba, terasa begitu sampah saat Jingga saya bangun sebagai monumen. Bangun, Fe, bangunlah dari tidur panjang!


**

Track List Album “Tentang Aku”
1. KUTERHEMPAS
Therry
2. TENTANG AKU
Therry
3. PUISI MALAM
Therry
4. DAN HIJAU...
Hendra & Budi Gaban
5. AKU DALAM MANUSIA
Therry
6. HOW WE SHOULD
Therry
7. AKU, HARI INI
Budi Bhidun & Fe
8. DALAM DOA
Therry
9. TERAKHIR
Budi Bhidun & Fe

**

7 Mei 2008

KELAPARAN


TIAP kali mengingat kelaparan atau papa, selalu saya berhenti makan, menaruh sendok, dan menghembuskan napas berat. Di ujung lain dunia ini, atau di beberapa tempat di sekeliling kita, banyak balita merengek karena tak makan apa-apa seharian. Di sekitar kita banyak orang mengais makanan sisa di keranjang sampah.

Kita kenyang dan mengumbar tawa. Kita berjoget dan hura-hura. Tapi, ketahuilah, banyak suami-istri ribut malam-malam lantaran besok pagi harus makan apa. Ketahuilah pula, banyak pria mencuri ayam untuk sekadar membeli beberapa kilo beras dan ikan asin untuk anak-anaknya.

Kita masih subur dengan perut menggelembung. Kita masih sejahtera dengan sarapan dan makan siang tanpa cemas. Tapi bagaimana dengan mereka yang makan pagi sepiring dibagi? Bagaimana dengan mereka yang selalu kelaparan?

Ada perlunya kita meresapi lirik lagu We Are the World tulisan Michael Jackson dan Lionel Richie yang berkibar era 80-an ini. Tak kurang 50 penyanyi papan atas Amerika gotong royong melakukan ‘koor’ lagu ini dalam bungkus Band AID. Kasetnya sendiri berlabel “USA for Africa”.

Kapan penyanyi-penyanyi kita sejenak berhenti mendulang uang, lalu membikin album seperti ini?

Inilah We Are the World itu:

There comes a time
When we head a certain call
When the world must come together as one
There are people dying
And it's time to lend a hand to life
The greatest gift of all

We can't go on
Pretneding day by day
That someone, somewhere will soon make a change
We are all a part of
God's great big family
And the truth, you know love is all we need

[Chorus]
We are the world
We are the children
We are the ones who make a brighter day
So let's start giving
There's a choice we're making
We're saving our own lives
It's true we'll make a better day
Just you and me

Send them your heart
So they'll know that someone cares
And their lives will be stronger and free
As God has shown us by turning stone to bread
So we all must lend a helping hand

[Chorus]
We are the world
We are the children
We are the ones who make a brighter day
So let's start giving
There's a choice we're making
We're saving our own lives
It's true we'll make a better day
Just you and me

When you're down and out
There seems no hope at all
But if you just believe
There's no way we can fall
Well, well, well, well, let us realize
That a change will only come
When we stand together as one

[Chorus]
We are the world
We are the children
We are the ones who make a brighter day
So let's start giving
There's a choice we're making
We're saving our own lives
It's true we'll make a better day
Just you and me

6 Mei 2008

JANGAN MATI, SOFIAN!


KARTU pos berornamen wayang. Menggelepar tertiup angin dan nyaris terjerembab dari kursi. Bantal sudah membayang di benak. Aku ingin tidur pulas, membuai mimpi, membuang jauh penat setelah enam hari dibekap rapat panjang di kantor pusat. Tapi kartu pos ini menggoda.

Bang, apa kabar? Aku telah menemukan hal-hal yang tak terduga di Jakarta, manis dan getir. Telah kubuat rakit untuk mengarungi banjir, telah pula kutelan bius yang membuatku tersedak. Kapan-kapan kita saling berbagi mimpi, ya, aku rindu bunuh diri seperti nyaris aku lakukan lima tahun silam. Salam, Sofian.”

Kantukku sirna. Mendadak sosok itu berkelebat. Sofian? Bukankah ia bekerja di Radar Semarang? Bukankah ia pria berkacamata minus, wajah penuh senyum, dan kerap diam di kursinya saat ia mengetik sesuatu di komputernya? Di Jakarta? Kerja di mana?

Bukan “bekerja di mana” yang menciptakan kengerian. Kalimatnya di kartu pos seolah membopongku duduk di kursi jetcoaster, mengayun-ayunkanku dalam kelebat-kelebat pohon yang datang menghantam dengan kecepatan maksimal.

Kartu pos tanpa alamat. Bagaimana aku harus menghubunginya, atau setidaknya membalas suratnya seraya bertanya, mengapa ia ingin bunuh diri lagi? Mengapa seolah ada benang layang-layang yang sedang menjerat lehernya dan siap menukik dengan tajam sehingga darahnya mengucur deras hingga ajal datang?

Lima tahun lalu Sofian adalah pria yang lucu. Di kalangan kami, ia sosok mengalah, meski tak jarang dibentak oleh Senja, wartawati olahraga yang bekas karateka itu. Ia cuma mengumbar senyum tatkala Redaktur Pelaksana Iskandar menyuruhnya keluar malam-malam hanya untuk memotret peragaan busana di mall.

“Kamu pernah ikut teater?” Tanyaku tiba-tiba. Ia terlunjak kaget. Dari balik kacamatanya terbias senyum yang nakal. Aku senang menggodanya dengan mengirim sesuatu yang mengagetkan di emailnya.

“Dulu, Bang, di SMA. Kenapa?”

“Saya pikir kamu pantas main film.”

“Ah, yang bener!”

“Iya, jadi tokoh antagonis, perampok atau copet. Lalu digebuki massa …” Ujarku seraya ngakak dan kabur.

“Kampret!”

Lalu sorenya aku membonceng sepeda motornya menyusuri jalan Mataram, Semarang. Melawan arus! Perbuatan gila, tapi kami menyukainya. Ia tertawa-tawa membayangkan dikejar trail polisi. “Polisi mana mau menilang aku, Bang, melihat tampangku saja mereka kasihan.” Lalu kami tertawa lebih kencang.

Dua hari kemudian kami duduk mencangkung di lantai tujuh Matahari. Angin sepoi-sepoi menerbangkan rambut tipis Sofian yang keriting. Kami mencecap udara Simpang Lima lewat jendela yang membuka lebar.

“Pernah ingin bunuh diri, Bang?” Tanyanya tiba-tiba.

Aku terkejut. Kusimak parasnya yang kusam. Tak kutemukan keganjilan, kecuali matanya yang sembab. “Kamu habis begadang ya semalam?”

“Cuma merayakan ulang tahun teman.”

“Minum?”

“Beberapa seloki Jack Daniels. Mumpung ada yang mentraktir,” ucapnya sambil senyum lebar.

“Mengapa tiba-tiba membicarakan bunuh diri?”

“Siapa tahu ada kenikmatan tersendiri.”

“Mati itu tidak enak.”

“Memang Abang sudah pernah mati?”

“Nyaris. Waktu SMA saya hampir dilindas bus.”

“Terkadang saya ingin mati, Bang.”

“Lalu meninggalkan sanak famili? Membiarkan ibumu meraung-raung? Merelakan pacarmu dipinang orang? Meninggalkan utang?”

“Kalau mati, semua tadi sudah tak terpikir lagi. Semua sirna. Tak ada ruang lagi untuk mengingat, bahkan untuk memikirkan sesuatu yang kita tinggalkan.”

Aku mengamat-amati wajahnya. Ia memang serius. Ia ingin mati. “Mengapa ingin mati?”

“Dunia terlalu suntuk, Bang. Persoalan tumbuh dan tak pernah berhenti. Dunia seolah hanya permainan belaka, tak ubahnya panggung teater itu.”

“Umpama harus mati, kau pilih dengan jalan apa?”

“Terjun bebas dari lantai ini, misalnya … “

“Jangan sembrono!” Kugamit lengannya kuat-kuat. Siapa tahu ia memang ingin mencebur ke jalan raya di bawah sana.

“Minum racun mungkin cepat mati, ya Bang?”

“Cukup!”

“Maaf, Bang.”

Sofian. Ah, manusia ini memang diselipi angan-angan. Mati – mungkin saja – adalah bagian dari angan-angannya. Itu sebabnya aku sering kangen. Ia menjadi bagian sumsum yang membelit tulang belulangku karena tanpa sadar ia menaruh spirit luar biasa dalam dadaku.

Semalaman setelah mendapat kartu pos darinya, mataku sulit terpejam. Kugenggam remote TV, membolak-balik channel, mencari-cari berita atau sekadar breaking news. Siapa tahu ada kabar yang mengatakan: “Ditemukan sesosok mayat pria muda di bawah jembatan Semanggi dengan tubuh hancur … “

5 Mei 2008

DARI DOEL SUMBANG HINGGA LETTO




EVOLUSI lirik lagu domestik memamerkan kemajuan yang mengejutkan. Tahun 80-an, lirik-lirik blak-blakan dan kampungan macam: .. madu di tangan kananmu, racun di tangan kirimu, aku tak mau mana yang akan kau berikan padaku … berkelebat di radio.

Atau kalau mau ada yang sedikit nakal adalah torehan Doel Sumbang dan Gombloh. Coba simak petikan lirik lagu Juwita milik Doel Sumbang ini: nyamuk nyamuk yang nakal serta kecoa liar, jadi saksi kita berdua//kala kita bercumbu rayu di sudut kamar, dalam keremangan lentera // kugenggam tanganmu, kuremas jarimu // kucium bibirmu juwita, perlahan matamu terpejam // waktu aku bisikkan ajakan di telingamu, kau menatap lalu mengangguk setuju//malam larut dan dingin membuat kita gila, hampir lupa akan segala-galanya …

Era 90-an menempatkan Dewa sebagai pionir penciptaan lirik yang filosofis, bersayap, dan megah seperti nukilan lagu Kirana ini: Kucoba memahami tempatku berlabuh//Terdampar di keruhnya satu sisi dunia//Hadir dimuka bumi tak tersaji indah//Kuingin rasakan cinta // Lusuh lalu tercipta mendekap diriku//Hanya usung sahaja kudamba kirana//Ratapan mulai usang nur yang kumohon//Kuingin rasakan cinta//Manis seperti mereka

Tetapi pada era bersamaan, ada Slank yang menulis lirik lagu-lagu yang amat sembrono dan asal cetak. Syukurlah kelompok selengekan itu juga romantis. Misalnya dalam lagu Terlalu Manis yang sarat melodi lirih seperti ini: Terlalu manis untuk dilupakan, kenangan yang indah bersamamu di dalam mimpi …

Akhir 90 hingga awal 2000-an melejit sejumlah band dengan corak yang beragam. Tetapi ada yang patut dicatat perihal kreativitas mereka menciptakan puisi untuk diusung ke dalam lagu. Misalnya Peterpan dengan Bintang di Surga-nya yang reffrainnya puitis ini: bagai bintang di surga dan seluruh warna//dan kasih yang setia dan cahaya nyata // oh bintang di surga berikan cerita dan kasih yang setia, dan cahaya nyata …

Bicara tentang puitis-puitis begini tak salah menyebut Letto sebagai pendatang baru yang sukses membius penikmatnya dengan lirik-lirik dahsyat. Coba simak Ruang Rindu ini: Di daun yang ikut mengalir lembut, terbawa sungai ke ujung mata//Dan aku mulai takut terbawa cinta, menghirup rindu yang sesakkan dada//Jalanku hampa dan ku sentuh dia, terasa hangat di dalam hati//Kupegang erat dan kuhalangi waktu, tak urung jua, ku lihatnya pergi .. Hmm, indah, bukan?

Letto memang mempunyai kekuatan tersendiri dalam karya musik yang digarap. Selain Ruang Rindu, Sandaran Hati, dan yang terbaru Sebelum Cahaya, menggotong lirik yang puitis. Itu masih dibalut pula aransemen yang easy listening.

Walhasil, grup yang digawangi Sabrang Mowo Damar Panuluh atau Noe (vokalis), Agus Riyono atau Patub (gitar), Ari Prastowo alias Arian (bass) dan Dedi Riyono atau Dhedot (drum), ini berhasil menembus jajaran papan atas blantika industri musik Indonesia.

Selain laris manis untuk theme song sinetron, tembang-tembang Letto pun diterbitkan dalam bentuk buku, yakni Ruang Rindu dan Sebelum Cahaya.

Untuk kawasan “solo”, Bunga Citra Lestari ikut dalam deret penyanyi yang relatif sukses melantunkan lirik puitis dalam lagu Aku Tak Mau Sendiri. Coba telaah reffrain lagu yang juga salah satu soundtrack film Cinta Pertama ini: Kirim aku malaikatMu, biar jadi kawan hidupku//Dan tunjukkan jalan yang memang kau pilihkan untukku // Kirim aku malaikatMu//kar’na ku sepi berada disini // Dan di dunia ini, aku tak mau sendiri … Ada keindahan yang menyesap, ada emosi yang menyentak-nyentak rasa. Ada susastera yang ikut di dalamnya.

Setidaknya lirik-lirik indah di atas menggoyang lirik ‘kampungan’ macam: .. wo o, kamu ketahuan, pacaran lagi, dengan dirinya, temain baikku … BAH!

2 Mei 2008

KUNCINYA: MEMANAGE WAKTU!


JUDUL “MENJADI IMPOTEN” di blog ini (lihat tulisan di bawah) mendapat respon yang sama sekali tak saya duga. Mereka rata-rata mem-buzzz saya melalui YM dan kemudian komentar, bahkan ada yang menasehati, meski ia (yang menasehati ini) umurnya di bawah 30 (alias jauh di bawah saya, hehehe).

Sofian, misalnya, ia memandang saya sedang kelelahan. “Bang, lagi stress ya? Pasti karena begadangnya itu yang bikin sampean mendadak gelisah,” ujar wartawan di lingkungan Jawa Pos itu.

Lalu Mukti. Ia ini kuliah di ITB Bandung. Dulu sering hang out bareng sama saya. Ia bilang: “Walah pakde-pakdeeee … Wistho,, jalani aja yg ada di depan mata. Mengalir wae mas.”

Ada juga rekan di Indomedia yang sontak bilang begini: “Mas Arief pasti kurang bisa memanag waktu. Nulis cerpen kan bisa malam. Lagian siang waktu rehat juga bisa disambi-sambi.”

Yang paling ekstrem Hasan Fikri sendiri, yang menelepon saya sehingga melahirkan blog berjudul “Menjadi Impoten” itu. “Hehehehe .. memang betul sampean jadi mandul dalam penulisan fiksi, tapi kan sebenarnya berkarya itu bisa lewat apa saja. Mungkin proses kreatif juga bisa sampean petik dari pekerjaan yang sekarang sampean geluti.”

Sedikit mirip dilontarkan Retno Damayanti. Ia penulis cerpen asal Malang. Dia bilang: “Mas-mas, saya kira kalau menulis cerpen atau novel itu tujuannya untuk mencari honor, itu juga termasuk kapitalis loh. Mosok sampean ngga mengharap bayaran dari menulis di suratkabar? Hayo, ngaku!”

Nah, terjawab sudah. Saya memang belum lulus untuk memanag waktu! Oke all, terima kasih atas saran-sarannya. Horas bah!

MENJADI IMPOTEN


HASAN FIKRI menelepon saya tiba-tiba. Itu kemarin pagi, saat mata masih sembab karena malamnya begadang menuntaskan Bolamania.

“Mencari nomor teleponmu susahnya minta ampun. Apa kabar, kawan?” Begitu ia menerocos, tanpa memperhitungkan saya sudah gosok gigi atau belum. Fikri ini redaktur pelaksana sebuah tabloid keluarga di Semarang, di bawah payung Suara Merdeka Group.

“Angin apa yang menuntunmu meneleponku pagi buta, Fikri?

“Aku kangen. Itu yang pertama. Kedua, aku bertanya-tanya, kemana gerangan engkau yang dulu asyik di toko buku. Di gedung kesenian juga tidak ada. Di diskusi-diskusi sastra juga tak tampak. Sudah menjadi ayah yang baik ya, sehingga berkubang melulu di dapur rumah?” Ia ngakak, mengejek, meledek.

“Aku mandeg, Fik.”

“Berhenti total di pemberhentian terakhir? Sudah jadi juragan sehingga kerjanya cuma menghitung rugi-laba? Atau bagaimana? Tolong detail!”

“Aku tak bisa apa-apa. Aku konstan. Aku telah menjadi robot yang tiap pagi harus ngantor, lalu duduk manis di meja, kemudian memandang monitor komputer dan laptop. Lantas menerima telepon dari seluruh negeri untuk urusan kapitalisme.”

“Nggak kreatif!”

“Benar apa katamu. Aku impoten, aku mandul.”

“Nulis blog cukuplah untuk mengasah ketajaman kata.”

“Jangan meledek!”

“Atau menulis email…”

“Cukup, Fikri! Mari kita bertemu dan mendiskusikan ini.”

“Memang kau ada waktu untuk keluar dari kantor meski hanya satu jam?”

“Mungkin tidak, kawan. Bagaimana kalau 5 menit saja?”

“Masa bodoh! Persetan!”

(Tolong aku, Tuhan, tolong aku entaskan dari kubangan!)

1 Mei 2008

UP CLOSE AND PERSONAL


BECAUSE YOU LOVED ME

*Celine Dion

For all those times you stood by me
For all the truth that you made me see
For all the joy you brought to my life
For all the wrong that you made right
For every dream you made come true
For all the love I found in you
I'll be forever thankful baby
You're the one who held me up
Never let me fall
You're the one who saw me through through it all

You were my strength when I was weak
You were my voice when I couldn't speak
You were my eyes when I couldn't see
You saw the best there was in me
Lifted me up when I couldn't reach
You gave me faith 'coz you believed
I'm everything I am
Because you loved me

You gave me wings and made me fly
You touched my hand I could touch the sky
I lost my faith, you gave it back to me
You said no star was out of reach
You stood by me and I stood tall
I had your love I had it all
I'm grateful for each day you gave me
Maybe I don't know that much
But I know this much is true
I was blessed because I was loved by you

You were my strength when I was weak
You were my voice when I couldn't speak
You were my eyes when I couldn't see
You saw the best there was in me
Lifted me up when I couldn't reach
You gave me faith 'coz you believed
I'm everything I am
Because you loved me

You were always there for me
The tender wind that carried me
A light in the dark shining your love into my life
You've been my inspiration
Through the lies you were the truth
My world is a better place because of you

You were my strength when I was weak
You were my voice when I couldn't speak
You were my eyes when I couldn't see
You saw the best there was in me
Lifted me up when I couldn't reach
You gave me faith 'coz you believed
I'm everything I am
Because you loved me

I'm everything I am
Because you loved me