Search

30 Apr 2008

TATKALA IA TENGAH TIDUR


HAL terindah dalam hidup adalah memandangi anak kita tatkala ia sedang tidur.

Ruas-ruas jari tangannya yang diam beku adalah benteng kokoh ketika ia nanti beranjak dewasa dan di depannya mengancam naga. Matanya terpejam, seolah-olah ia sedang merajut mimpi, menyusuri kegelapan dunia dengan obornya. Napasnya turun naik dengan teratur, menandakan ia sedang nyaman berada di pangkuan para bidadari.

Tak jarang ia masih menggenggam mainan yang seharian menemani. Ia bawa benda-benda kesayangan ke mayapada, menyibak ilalang bagai burung elang. Ia kendarai mainannya untuk menggapai edelwis yang tetumbuh di lereng-lereng perbukitan.

Hal terindah dalam hidup adalah memandangi anak kita tatkala ia sedang tidur.

Ruas-ruas jari kakinya yang memeluk guling adalah tendangan keras ketika ia nanti tumbuh-berkembang dan di depannya membentang mendung. Kepalanya terpatri di bantal, seolah-olah ia tengah menengadah ke langit tempat ia menyandarkan asa. Sesekali bibirnya tersenyum seperti menapaki ajakan peri.

Hal terindah dalam hidup adalah memandangi anak kita tatkala ia sedang tidur.

Melintas gemericik air terjun dalam dekapnya, melintas tetes embun dalam ketakzimannya. Kita berada dalam tidurnya, mengaliri darah mereka dengan iman, membimbingnya untuk berjalan dengan benar dan menghapus dosa-dosa ayah-ibunya …

26 Apr 2008

INDONESIA IDOL


INDONESIA IDOL menjadi pelipur lara. Tadi malam, di RCTI, digelar babak workshop. Seluruh 12 kontestan cewek unjuk kebolehan di depan Titi DJ, Anang, dan Indra Lesmana. Dari 12 orang itu, 4 diantaranya didepak, dan tinggal 8 yang kelak bakal beradu top di babak spektakuler.

Kualitas mereka? Namanya juga kontes audisi. Jadi ada yang oke, ada juga yang letoy. Situasi macam ini juga pasti terjadi di deretan peserta pria yang nanti malam (Sabtu, 26/4/08) beraksi di depan juri dan masyarakat pemirsa televisi.

Tapi yang patut di-stabilo adalah kentalnya acara ini dengan elemen-lemen bermutu. Taruh misal, seluruh juri – Titi DJ cs itu – begitu dingin cara menilai, dan simpel. Simpel bukan berarti mereka tidak pintar, namun justru penuh muatan.

Saya tidak setuju dengan beberapa komentar di sebuah forum milling list yang menyebut bahwa juri-juri itu tak punya sikap. Titi, Anang, dan Indra bukan Paula Abdul, Simon Cowell, dan Randy Jackson. Anang memang nylekit seperti Simon, Titi adem dan keibuan macam Paula, dan Indra bijak seperti Randy. Tapi ini pasti bukan disengaja oleh produser Indonesia Idol. Lagian, kalaupun menjiplak, sah-sah aja. Lha wong II (Indonesia Idol) itu kan gagasannya dari American Idol (AI).

Kembali ke pentas tadi malam. Suasana temaram panggung, plus layar digital di latar belakang yang membuat sang penyanyi berkelebat-kelebat dengan aksinya dari rekaman sebelum naik pentas, membuat II lebih cerdas ketimbang kontes sejenis yang kini marak di televisi. Para peserta pun dibalut busana simpel dan tidak norak.

Suasananya memang AI banget. Tetapi idol versi Indonesia ini tidak miskin variasi. Contohnya ketika Wulan diberi kejutan dengan kehadiran dua orang tuanya yang renta di studio. Peserta asal Solo itu menangis sesenggukan saat menciumi pipi dan pundak sang ayah. Saya haqul yakien ini bukan sandiwara. Lalu ada pula Harvey Malaiholo yang dihadirkan untuk memberi beberapa komentar dari bangku penonton.

Ada hal lain yang turut membedakan II dengan kontes sejenis di negeri ini, yakni tampang kontestan. II tak menggubris performa, tapi suara. Maklum, ajang ini memang mencari bakat untuk industri rekaman, bukan pamer wajah tetapi suaranya jeblok (tak perlu saya sebut kontes apa saja yang pesertanya cakep-cakep itu).

Pendek kata, saya tiba-tiba tidak alergi lagi menonton acara semacam ini. Tapi tetap saja mual menyaksikan kontes audisi yang presenter dan jurinya cengengesan kayak yang di Indosiar itu!

25 Apr 2008

MIMPI JADI ARTIS


KONTES-KONTESAN di televisi menyaingi sinetron. Bila sinetron sudah membuat muntah, maka kontes-kontesan masih tahap menebar bau anyir sehingga perut kita (terutama saya) sedang bergejolak sehingga jika tren ini makin menjadi-jadi, maka kita muntah-muntah juga.

Dulu ada AFI yang memancing airmata jika ada kontestan yang dieliminasi. Lalu API yang lucu karena ada Teamlo. Indonesia Idol menarik karena pesertanya aneh-aneh dan juri-jurinya oke punya. KDI juga lumayan.

Nah, sekarang bermunculan kontes-kontes bakat yang menggunakan polling SMS massa sebagai acuan penilaian, mengekor AFI, API, KDI, dan Indonesia Idol. Sebut saja “Idola Cilik”, “Mamamia Show”, “Stardut”, “Kontes Dangdut Indonesia”, serta banyak lagi. Sebagian acara ini menyita waktu, bahkan ada yang sampai 6 jam!

Program macam ini disatu sisi positif untuk memberi peluang kepada generasi muda memamerkan bakat, kreativitas, dan mengaktualisasi diri, ketimbang menyedot putaw atau berseks ria tanpa nikah. Namun ada dampak kurang sedap di masyarakat, antara lain membuai masyarakat dengan mimpi menjadi selebriti dan adanya unsur judi di balik polling SMS.

Pengaruh TV sudah sangat menyiksa masyarakat kita. Menjamurnya acara infotainment dan ajang kontes-kontes idola membikin warga negeri ini silau. Beragam ajang kontes idola mengiming-imingi masyarakat kita bahwa menjadi selebritis adalah impian.

Celakanya, para orangtua sangat mendukung anak mereka menjadi ‘artis’. Tidak sedikit mereka yang gagal audisi kemudian menjadi sangat sedih atau uring-uringan kepada juri. Hal itu hanya mempertegas fakta bahwa menjadi finalis dan masuk TV adalah segala-galanya.

Kondisi lebih parah ketika anak-anak kita ditanyai cita-citanya, mereka menjawab ingin menjadi artis dan masuk TV. Televisi telah mengubah paradigma masyarakat dan merasuk ke anak-anak. Salahkah menjadi artis? Tidak. Artis adalah pilihan hidup. Tetapi harus dipahami, kehidupan artis sesungguhnya tidaklah segemerlap apa yang tampak di TV. Tidak sedikit popularitas artis membuat mereka tidak mampu mengendalikan diri dan terjebak perilaku negatif seperti narkoba dan seks bebas.

Beberapa diantara mereka yang menang di acara kontes idola lumayan sukses. Misalnya Delon yang jebolan “Indonesia Idol”, Siti KDI, T2 yang finalis AFI 2005, dan Sule yang juara API. Mereka termasuk yang mampu bertahan dan berkembang.

Tapi tidak sedikit juga mantan finalis yang kemudian tidak menjadi siapa-siapa dan dilupakan orang, susah mendapat job karena kemampuan mereka pas-pasan, dan hanya tinggal di kos yang murah. Lebih parah lagi ada yang terlilit utang karena dulu memaksakan untuk mengirim SMS sebanyak-banyaknya.

Banyak diantara mereka yang ketika mengikuti kontes mengorbankan sekolah atau kuliah, dan sekarang baru menyesal bahwa pendidikan mereka menjadi sia-sia. Mungkin sangat menarik jika ada stasiun TV yang mau mengekspos juga bagaimana kehidupan mantan peserta ajang kontes tersebut!

22 Apr 2008

AKSI NGERES JULIA PEREZ


Kepada Yth Mbak Julia Perez

Saya mengenal Anda melalui baju belahan dada yang selalu rendah, dengan tonjolan yang menciptakan desir kelelakian siapapun yang melihat. Untunglah kepala saya cukup dewasa, sehingga aksi Anda tak cukup membuat saya ngos-ngosan.

Saya juga mengenal Anda melalui desahan berbahaya, serta senyum merangsang setiap Anda tampil di layar televisi, entah karena Anda dibooking stasiun tertentu untuk ‘pemeran utama’, atau sekadar numpang lewat.

Saya tahu Anda memiliki tubuh sintal dan layak jual. Saya juga tahu Anda cukup pede dengan tampilan seronok seperti itu. Anda ingin menjadi fenomena, dan Anda mati-matian menggapainya.

Tetapi Anda lupa, tidak semua laki-laki punya selera yang seragam. Tidak semua senang kopi, meski kopi konon lezatnya minta ampun. Ada sebagian penikmat minuman yang muntah-muntah setelah minum anggur. Ada yang terkulai lemas setelah menyantap daging babi.

Mbak Julia, Anda diciptakan Tuhan sedemikian rupa, tetapi saya yakin Tuhan telah mewanti-wanti Anda untuk tak mengumbar susu. Saya tiba-tiba kasihan pada anak-anak Anda kelak jika akhirnya menenggak ASI yang telah dijilati mata lelaki seribu kali.

Album Anda, Kamasutra, bolehlah terjual 15 ribu keping tiga hari setelah dirilis. Tetapi apa yang Anda dapat? Ibu-ibu meludah, kiai terbakar jenggot, para pendeta mengelus dada, biksu-biksu membisu dalam doa agar Anda diberi sebutir obor untuk penerang jalan. Bahkan Ibu Menteri pun terkulai lemas ketika Hari Kartini tiba Anda malah melepas album dengan sampul yang merusak generasi dan diselipi kondom pula.

Apakah kondom sudah cukup bagi Anda? Apakah tak ada benda berharga lain untuk disisipkan dalam kaset Anda, umpama BH? Mengapa tidak sekalian vibrator, penis buatan, atau manekin yang ada vaginanya?

Mbak Julia, cobalah belajar akting yang hebat dan tak cuma cengengesan. Saya cukup pemurah dengan memberikan doa-doa kepada Anda agar masa depan Anda cerah. Saya tak ingin Anda dikenang melalui payudara tatkala kelak Anda dikebumikan.

Salam.

21 Apr 2008

GEDUNG REOT PULSA


PULSA pernah membuat saya ternganga.

Awal 2007 saya ditugasi untuk pertama ke Jakarta oleh Tabloid Bolamania. Dari bandara saya bayangkan gedung megah dengan satpam yang matanya penuh selidik. Bangunan yang bakal saya datangi itu – di Jalan Raya Ragunan 27, Pasar Minggu – adalah redaksi Pulsa serta kantor artistik Intelijen, Khalifah, dan Bolamania.

Saat taksi melintasi gerbang, saya kaget bukan kepalang. Inikah kantor Tabloid Pulsa? Keterkejutan ini saya pendam dulu karena saya harus membayar taksi. Di dalam gedung, hati saya kian melolong menyimak betapa ‘miskin’-nya kantor Redaksi Pulsa, yang oleh kalangan Grup Kompas-Gramedia pernah disebut-sebut sebagai rissing star itu. Ruangan-rungan berjejal. Satu unit usaha dengan anak perusahaan lain -- sejumlah unit perusahaan di luar penerbitan pers milik Group Indomedia ketika itu seatap dengan Pulsa -- disekat tembok ala kadarnya.

Dinamika media massa memang tampak. Ada komputer yang di depannya duduk takzim orang-orang dengan tampang serius. Ada gelak tawa Ari Gendut dan Mas Harry di ruang sebelah (keduanya saat itu masih mengabdi di Comunique. Comunique sekarang berpindah ke Graha Indomedia di Limo 39, Kebayoran Lama, yang megah). Juga ada aktivitas pendesainan koran di belahan lain gedung ini.

Tetapi tetap saja saya ragu, apa benar ini koran beneran, meski tempat-tempat nelangsa pernah pula saya jumpai di lembaga yang menelurkan karya besar, umpama Penerbit Galang Yogya yang menghasilkan buku laris Jakarta Undercover? Galang lebih tepat rumah reot, ketimbang kantor penerbit.

Belakangan kondisi ini mendewasakan pikiran dan paradigma saya. Saya dan teman-teman di Semarang pernah merasa perih tatkala tiap hari harus bekerja dengan keringat yang berlelehan lantaran kantor Redaksi Bolamania tidak memiliki AC. Kantor lama itu – di Jalan Kelud Raya, dan kini sudah hengkang ke Jalan Tegalsari Raya – bisingnya minta ampun. Tak ayal kami bekerja dengan kalimat-kalimat yang harus diteriakkan untuk menyaingi suntuk jalan raya depan kantor!

Dari Pulsa saya belajar banyak. Bukan saja dari Mas Dhony, Pemred, yang selalu kalem dan bersahaja, melainkan juga bagaimana dari telur burung kenari menetas garuda. Bagaimana dari sejumput jerami tumbuh padi dengan bulir-bulir biji yang ranum.

Pulsa memang membekap momen yang pas tatkala negeri ini mulai tergila-gila ponsel. Namun ada latarbelakang yang menyertai, mengapa Pulsa menohok dengan jitu pasar Indonesia yang susah ditembus, yakni ketika Pak Legiman cs sudi menjadi tukang sirkulasi ‘gadungan’. Ketika hasil karya disetubuhi dengan kesungguhan. Ketika kita ‘bisa melihat’ sesuatu sebelum terjadi.

Jujur, saya belum memberikan apa-apa. Saya belum membayar lunas apa yang sudah diberikan Pulsa. Saya menjadi lokomotif kawan-kawan di Semarang, dengan gerbong yang penuh muatan …

Hari ini, saya mewakili teman-teman memberi sesuatu yang, mungkin, nilainya tak seberapa: “Selamat ulang tahun, Saudara Tua!” Semoga panjang umur.

GAJI


ULIES di http://ulies.blogs.friendster.com/ulies/ edisi 17 April menulis: “3 bulan terakhir ini tema ngerumpi dan chatting dikalangan temen kantor ga jauh-jauh dari soal kenaikan gaji dan Bonus. Status YM pun rame berisi curhat colongan temen-temen yang mulai lelah menanti kenaikan gaji dan bonus, "Kerja Rodi, seperti jaman Belanda", "Karyawan Butuh bantuan sosial", dll...dlll...sedap!! Tak sekali dua kali chatting diawali dengan kalimat "ada kabar baik ga bulan ini??" hehehehe..


Bulan lalu, sehari menjelang gajian, bahkan ada yang tega membangunkan tidur nyenyakku cuma buat nanya " Ada kenaikan gaji ga bulan ini?" Whattsss....kenapa nanya berita-berita macem begini ama gw????...gw juga ga tauuuuuu....dan sama!!!! gw juga NGAREPPPP!!!”

Olala, pagi-pagi ketika musim gerimis tiba telah datang satu persoalan ribet yang, terus terang, menggelitik syaraf motorik saya. Saya pun tak jadi mem-bluetooth lagu-lagu dari laptop ke HP Nokia E90 yang baru beberapa hari lalu saya beli.

Baik, mari bicara persoalan gaji. Gaji itu reward, alias imbalan atas hasil jerih payah kita lakukan: Melek (untuk mereka yang lembur di perusahaan koran tatkala deadline tiba), luruh pada tugas, integritas, mengerahkan tenaga dan pikiran dengan kesungguhan untuk perusahaan, menyanggupi semua pekerjaan yang dibebankan, loyalitas, tidak banyak mengeluh, menghitung angka dengan cermat (bagi yang bekerja di lingkungan uang), berangkat tepat waktu dan pulang sesuai aturan, tidak chatting ketika sedang bekerja kecuali perlu-perlu amat, dan kembali ke meja setelah makan siang tanpa ngerumpi berlebihan.

Itu masih diembel-embeli pula dengan: jangan pacaran ketika bekerja, jangan SMS-an sambil cekakak-cekikik di sudut ruangan, dilarang melakukan BBS (alias bobo-bobo siang dengan pacar di sebuah motel) saat kerja, dan jangan korupsi (waktu, duit, benda-benda kantor, dsb).

Berat? Benar! Untuk mendapatkan gaji, seorang karyawan diatur dalam klausul hak-kewajiban, yang tak jarang kita terima dengan berat hati. Hak itu termasuk gaji. Mungkin juga bonus, uang makan, transport, dan sebagainya. Berapa nominal yang bisa diterima seorang karyawan disepakati tatkala teken kontrak atau surat pengangkatan. Dalam klausul kontrak biasanya tak disebut berapa kenaikan gaji, secara berkala atau enggak, dan sebagainya, termasuk bonus pun tak disertakan, kecuali surat kontrak para pemain sepakbola profesional.

Nah, ada reward, juga ada punishment, alias hukuman. Siapa saja yang mendapat sanksi? Tentu mereka yang tidak menunaikan kewajiban, umpama absen dari pekerjaan tapi tak ada pemberitahuan, nyolong duit kantor, atau perbuatan lain yang merugikan perusahaan dan mengganggu stabilitas kinerja kawan-kawannya. Hukuman bisa hanya surat peringatan, tapi tak menampik kemungkinan PHK.

Mengenai gaji/penghasilan, saya super yakin berlaku teori relativitas. Seorang kawan, sebut saja Irwan, bekerja di sebuah perusahaan leasing yang notabene lebih pinter dari saya, tahu-tahu mengeluh via SMS. Dia bilang: “Mulai bulan ini aku dimutasi ke Kendal. Daerah garing tuh. Aku nggak bisa dapet sabetan lagi.”

Di belahan lain Kota Semarang, seorang teman yang hanya lulus SMA punya penghasilan minimal Rp 5 juta saban bulan karena ia ulet mengelola toko handphone-nya. Ada pula kawan lain yang yang tamat SMA saja tidak, tapi ia dipercaya bosnya untuk mengurusi pabrik kayu, sehingga sebulan tak mati mendapatkan Rp 3 juta.

S1 maupun ahli madya, dan mungkin S2, sekarang ini bukan garansi. Banyak yang sekolahnya pas-pasan tetapi mengantongi duit tebal karena faktor keberuntungan. Di luar sana, banyak lulusan perguruan tinggi yang keluar masuk kantor tetapi lamarannya ditolak. Banyak pula pula yang bertahun-tahun kuliah namun memble dan saban hari dimaki orang tuanya.

Jadi, jika keluhan hadir di tengah-tengah kita yang sudah jelas-jelas telah menggenggam pekerjaan, sebaiknya tarik napas, lalu perlahan-lahan hembuskan lewat hidung. Kenaikan gaji yang seret serta bonus yang tak kunjung mengalir, sikapi saja dengan tersenyum, meski getir.

Maka, tak salah Ulies mengetik bagian ini dalam blog-nya: Berdoa aja friends...cuma itu khan yang bisa kita lakukan ... Mengutip perkataan seorang motivator terkenal yang aku liat di televisi: (kurang lebih seperti ini) kalo saat ini Anda kurang beruntung bekerja di sebuah perusahaan yang kurang baik manajemennya ... percayalah bahwa Manajemen TUHAN itu tidak pernah salah. So....tanpa mengurangi rasa NGAREPku, aku menganggap penghasilanku yang sekarang tanpa kenaikan dan bonus adalah TAKARAN TEPAT yang sudah DIBERIKAN ALLAH buat gw. ALLAH MAHA TAU berapa uang yang kubutuhkan dalam bulan ini. ALLAH MAHA TAU bahwa gajiku ini akan cukup memenuhi kebutuhanku dan membahagiakan orang-orang tercintaku. Alhamdulillah..Bersyukur...bersyukur dan bersyukur.


*Ilustrasi tabel gaji di atas dicomot dari draft gaji China National Offshore Oil Corporation (CNOOC), tahun 2006


19 Apr 2008

POLISI


POLISI negeri ini selalu berselimut nyinyir. Setiap ada sekelompok polisi berdiri di tepi jalan, kita disergap tanda tanya: “Wah, ada apa lagi ini?”

Tetapi tadi pagi saya menemukan fenomena. Seorang polisi berlari kencang mendekati seorang tuna netra yang terjebak padatnya perempatan Dr Cipto, Semarang. Pria tuna netra ini sudah mengayun-ayunkan tongkatnya agar diberi jalan, tatkala ia mau menyeberang dari arah Dr Cipto menuju Bangkong. Namun pengendara motor berulangkali nyaris menyambarnya karena pagi hari di area ini memang kawasan sibuk.

Polisi tadi – deskripsinya, muda, rada ganteng, sawo matang, dan gaul (pakai kacamata hitam) -- secepat kilat menjumput lengan bapak yang tengah terjebak, kemudian menuntunnya ke trotoar seberang jalan.

Saya nyaris bertepuk tangan. Sumpah bukan menyindir, tetapi sangat salut. Saking terpana, saya kelupaan menyambar kamera (lagipula tustel itu ada di tas laptop, dan perlu merogohnya ke kedalaman tas untuk mendapatkannya), sehingga momen ‘besar’ ini terlewat begitu saja (untuk hal ini jujur saya akui naluri kewartawanan saya mandeg dan perlu dikasih rapor merah).

Peristiwa campur tangan polisi untuk hal-hal krusial seperti ini bukan sekali saja saya jumpai. Di tempat yang sama, beberapa bulan sebelumnya, terjadi tubrukan antar dua sepeda motor. Pengendaranya siswi SMA, melawan seorang bapak. Siswi ini terlempar sekian meter dari titik tabrakan, dan pingsan.

Dua orang polisi yang mangkal di pos perempatan ini secepat angin menyambar tubuh korban, lalu membobongnya ke keteduhan terdekat. Sang polisi memprioritaskan korban kecelakaan, karena ini kaitannya sama nyawa, sedangkan si bapak yang langsung bangkit setelah benturan diurusi belakangan. Salut! Sayang, lagi-lagi saya tak mampu cepat-cepat memotret momen penting ini, padahal saat itu kamera digital menggantung di gesper saya.

Ada sisi-sisi baik polisi kita, di luar ribuan makian yang tertuju ke pengayom masyarakat tersebut lantaran: “urusan dengan polisi, pasti melibatkan uang”.

Saya melihatnya dari sisi positif kepedulian polisi atas dasar kemanusiaan. Nah, perkara nanti ternyata berbuntut duit (atawa sekadar mencari muka) atas dua kejadian yang saya ilustrasikan tadi, wallahu alam bisawab!

15 Apr 2008

RAISE YOUR VOICE


SENIN malam lalu saya sangat sulit tidur. Barangkali ‘salah obat’. Saya nenggak dua butir vitamin beda merk. Terasa bugar, tapi jadi sulit tidur.

Daripada bengong atau merokok berbatang-batang, iseng saya pindah-pindah channel TV. Berhenti di SCTV karena ada film. Ini di luar kebiasaan. Biasanya saya melewati SCTV dengan cepat karena stasiun ini diguyuri sinetron yang memualkan.

Raise Your Voice. Itu judulnya (saya tahu judul itu setelah film ini berakhir, melalui kredit titelnya). Kisahnya biasa saja, yakni tentang gejolak kawula muda. Perihal hasrat bermusik yang susah dibendung. Mereka mendaftar di sebuah perguruan musik di Kota Baltimore, Amrik, dengan kemungkinan diterima super sulit. Itu mengapa siswa-siswi di akademi ini sedikit. Meski jumlahnya terbatas, tapi luar biasa sekali bakat mereka di berbagai bidang, menyanyi, bermain gitar, biola, sintesiser, piano, dan sebagainya.

Tak perlu panjang lebar mengurai jalan cerita. Butir-butir yang patut dipetik dari film ini ialah mengenai kesetiaan seseorang pada sesuatu. Terri (yang diperankan oleh Hillary Duff) bela-belain ‘membohongi’ ayahnya hanya untuk memasuki sekolah ini. Idealisme yang tak sekadar berharap mendapat beasiswa, tapi berpondasi cinta. Jaman sekarang orang menjadi kapitalis karena uang adalah berhala. Tapi Terri dan kawan-kawan membantahnya dengan kesenimanan.

Kesetiaan, kesetiakawanan, rasa persaudaraan yang amat kental, dedikasi, integritas, adalah aroma film indah ini. Diselingi beberapa adegan bermusik yang rancak dan membuat kepala bergoyang tanpa sadar, Raise Your Voice pantas ditonton, terutama oleh kaum bapak yang arogan, ibu yang demokratis, dan kawula muda yang sedang mencari jatidiri.

Film tentang musik biasanya berat. Amadeus, misalnya, mengisahkan tentang Mozart, atau Impromptu yang menceritakan soal Chopin. Lalu ada Impromptu in Highly (dibintangi Hugh Grant), The Sound of Music, The Pianist, Together (dimainkan Tangyun, violis dari China), dan Shine.

Raise Your Voice enteng namun berisi. Angle maupun kastingnya tidak kampungan. Pita seluloid menjadi kekuatan film ini sehingga gambarnya sungguh detail dan indah.

Hillary Duff juga bermain ciamik dan dingin. Berbeda saat ia bermain di Material Girls yang bertingkah kekanak-kanakan, di Raise Your Voice ia menunjukkan akting brilian dan bikin gemas, terutama saat ia bernyanyi di panggung dalam adegan terakhir yang menguras airmata.

8 Apr 2008

SINETRON


KALAU Anda memencet tombol remote, kemudian di TV keluar tayangan/adegan seperti disebut di bawah ini:

  1. Perempuan berteriak-teriak atau tertawa terbahak-bahak,
  2. Perempuan lari menghambur ke kamar lalu menelungkup di atas kasur mewah kemudian terisak-isak,
  3. Perempuan memakai bedak tebal plus gincu menyala meski ia bangun tidur atau menanak nasi di dapur,
  4. Sebuah mobil mewah meluncur dari gerbang menuju pintu utama rumah super mewah
  5. Sebuah mobil menabrak perempuan atau orang tua yang mau menyeberang jalan, lalu orang yang ditabrak itu tergeletak dan kemudian ditolong oleh si pengendara mobil,
  6. Darah mengucur dari dahi dan tidak alami lantaran darah itu mungkin cat air atau cat minyak yang sekadar ditempel,
  7. Semua wanita tampak cantik karena dipoles make up, sehingga tak ada beda pembantu rumah tangga atau juragan,
  8. Seseorang menampar lawan bicara, lalu yang ditampar terjengkang ke tanah,
  9. Rebutan warisan,
  10. Rebutan pacar,
  11. Anak-anak SMP sibuk ngerumpi tentang pacar
  12. Direktur/manajer tampak muda belia. Dia duduk di meja kerja sambil telepon-telepon ibu, pacar, atau selingkuhannya
  13. Seseorang tergeletak di rumah sakit, lalu beberapa orang mengerumuni di sekelilingnya sambil bertengkar atau menangis,
  14. Setiap ruangan terang benderang, entah pagi atau subuh, entah di dapur atau di gudang, entah adegan mencekam atau biasa-biasa saja,
  15. Seseorang yang lagi terdiam mendadak ada narasinya. Mungkin dimaksudkan untuk bergumam,
  16. Ceritanya melingkar-lingkar, seolah tanpa pangkal ujung,
  17. Kisahnya dibikin serba kebetulan, seolah dunia ini sesempit kamar mandi,
  18. Penjahatnya gondrong atau memakai rompi,
  19. Penjahatnya senang tertawa,
  20. Penjahatnya nongkrong di pertigaan sebelum mengejar sasaran dengan trail atau RX King,
  21. Kalau lagi marah mulutnya dimencong-mencongkan,
  22. Sering ada kata-kata: “Huh, sebel!”, “Awas pembalasanku!”, atau “Kamu memang bajingan!”, dan sebagainya, sehingga tak ada lagi bahasa tubuh yang bernilai teaterikal tinggi,

Maka, itulah SINETRON!

5 Apr 2008

WORLD TRADE CENTER


TENGAH malam tadi, di sela-sela menggarap Bolamania saya iseng memutar DVD di laptop. Judulnya World Trade Center.

Awalnya saya mau menyewa film ini (dari 10 keping yang saya bawa pulang dari rental) karena empat hal. Pertama, film ini dibintangi Nicolas Cage (selain itu ada nama-nama Michael Pena, Maggie Gyllenhaal, dan Maria Bello). Kedua, WTC dibesut Paramount Pictures, produsen film favorit saya di luar Warner Bros dan Universal.

Ketiga, sutradaranya Oliver Stone! Maklum, Pak Oliver ini mahir bikin film kelas Oscar yang hampir semua saya lahap macam Platoon, Born On The Fourth Of July, JFK, Natural Born Killers, Alexander, Wall Street, U Turn, Scarface, Looking for Fidel, dan masih bejibun lagi.

Dan keempat, rasanya saya kena bujuk rayu mbak penjaga rental. Dia bilang begini: “Ini film bagus, loh Mas. Saya saja sampai menangis saat menonton,” ujarnya dengan mimik muka serius. Wah, untuk urusan tangis-tangisan saya memang nomor satu. Iya dah, saya ambil! Begitu respon saya.

WTC diangkat dari kisah nyata Tragedi WTC, 11 September 2001. Film ini mengisahkan dua orang polisi PAPD, John McLoghlin (Nicolas Cage) dan Will Jimeno (Michael Pena), yang tertimbun reruntuhan WTC dan terluka parah saat mencoba mengevakuasi korban.

Saat-saat dekat dengan maut, John dan Will menampakkan sisi-sisi terbaik kemanusiaan yang mereka miliki. Keberanian, semangat, doa, cinta keluarga, dan setia kawan.

Suasana psikologis para istri, Donna yang ibu dari 4 anak (istri John) dan Allison, ibu 1 putri kecil dan tengah hamil tua (istri Will), juga digambarkan sangat natural.

Terlepas dari apakah ini film propaganda atau bukan, tapi di sini mengungkapkan kekuatan keberanian, kesetiakawanan, dan cinta kasih.

Mencekam dan mengharu biru. Dalam percakapannya dengan John McLoghlin di tengah beton yang menghimpit tubuhnya, Will Jimeno menyentak airmata pemirsanya dengan kalimat yang amat menyayat: “Aku boleh mati setelah melihat anak pertamaku lahir …”

Saya malu mengutarakannya sebab istri saya sering meledek bahwa saya cengeng. Tapi, tadi malam saya memang benar-benar menangis …

3 Apr 2008

SERIBU BIRU KUPU KUPU


AISYA memunguti butir-butir pasir di punggung kakinya yang basah. Asyar telah lewat. Matahari beringsut ke barat. Aisya membeku dalam gejolak batin yang membiru, melebihi gelombang pasang lelautan di depannya.

Ia telah memasukkan handphone-nya di ruang paling ujung laci. Tak mau ia dengar lagi suara menyelinap dalam telinganya. Suara terakhir yang meneleponnya tadi pagi adalah gemuruh pohon tumbang. Suara lelaki yang pernah ia dambakan, tetapi kini berubah menjadi monster menjijikkan dengan balut cairan kental yang setiap saat menetes dan menguarkan bau busuk!

“Boleh mengutarakan sesuatu? Mengganggu enggak?” Suara pria itu. Suara yang mengerjap-ngerjap. Suara yang membuat kelenjar darah Aisya pernah mendadak biru lantaran dibanjiri cinta.

“Lagi istirahat, nih, kebetulan sekali. Emang mau ngomong apa?” Pekik kecil Aisya. Ia tak sadar telah menggantung segenap asa padanya, sehingga hari-hari adalah lamunan dan penantian. Maka suara pria ini adalah kunci yang membuka gembok gerbang yang seolah telah tertutup selama seribu tahun.

“Kamu jangan marah.”

“Mengapa mesti marah?”

“Karena ini akan menyakitkan.”

Aisya menerawang. Ada firasat buruk menyelinap. “Ayolah, jangan bermain teka-teki.” Hardiknya.

“Aku menarik ucapanku dua hari lalu .. “

“Maksudmu?”

“Telah aku putuskan untuk putus darimu.”

Aisya ternganga. “Jangan becanda!”

“Aku serius, bahkan lebih serius ketimbang biasanya.”

“Jadi?”

“Ya, kita akhiri saja.”

Bumi seperti menahan puting beliung. Aisya terhuyung. Tak sadar lengannya menyenggol cangkir, memunculkan ribut kecil di meja kerjanya. Ia menghambur ke dapur, menyembunyikan dukanya di sudut yang basah. Ia tak peduli pada dirinya lagi, juga tak mempedulikan ucapan-ucapan minta maaf dan sejenisnya yang berhamburan dari mulut pria itu. Aisya tersengal-sengal dan merasa karam.

“Mengapa memilihku?” Itu pertanyaan setahun lewat, ketika si pria menjentik semut di pundak Aisya.

“Kamu unik.”

“Bukankah umumnya pria senang perempuan cantik?”

“Kamu punya kecantikan yang merembes dari hati. Aku selalu terpana tiap kali melihatmu melenggang dengan kaki-kaki yang lurus ke bumi.”

“Kamu memang pintar merayu.”

“Hanya kepada seseorang yang benar-benar aku sayangi rayuan itu aku tujukan. Padahal hanya kamu yang aku cintai.”

“Gombal!”

Tiga bulan berselang, si pria tidak menunjukkan konsistensinya. Ia mulai melupakan Sabtu malam. Ia tak lagi dengan gagah mengendarai motor, meliuk di kemacetan dengan tangan-tangan Aisya mendekap erat di punggungnya.

“Kita berteman saja, ya.” Lontar pria ini suatu ketika.

“Kok begitu?”

“Aku takut tak bisa membahagiakanmu.”

“Kebahagiaan tidak bisa datang tiba-tiba. Kita bisa merajutnya.”

“Tapi tidak untuk saat ini, Aisya.”

Aisya mulai mengenali diri sendiri dan seberapa jauh pria itu memiliki relung indah buatnya. Perlahan-lahan Aisya sadar kekasih hatinya belum dewasa. “Oke, Tuhan, aku akan menunggunya sampai ia menemukan jalan yang lempang menuju kepadaku,” bisik Aisya dalam salat malamnya, suatu ketika.

Mendadak angin itu berkesiur lembut. Dua hari lalu Sang Arjuna menelepon Aisya dengan penekanan yang mengayun-ayunkan perasaan Aisya. “Kita pacaran lagi yuk. Aku tak bisa tidur tanpa terlebih dahulu mengingatmu.”

“Terima kasih, Tuhan,” pekik hati Aisya.

Dan dua hari berikutnya, tadi pagi, beton berton-ton menimpa Aisya sehingga ia terpuruk dan tenggelam …

“Bolehkah aku mati sekarang, Tuhan?”

“Jangan, anakku!”

“Tetapi Engkau telah memberiku beban yang terlalu berat.”

“Kau salah satu zat yang terpilih.”

“Aku tak mempercayaimu lagi.”

“Jika kau tak mempercayaiku, siapa lagi yang akan melahirkan anak-anak dengan kekuatan gempa?”

“Aku tak akan punya anak karena aku beranjak layu.”

“Kau salah menafsirkan isyarat-isyarat. Ingatlah bahwa ajaran yang aku berikan adalah kekal. Kau menganggap beban asmara adalah segala-galanya, sehingga ketika seseorang mencampakkanmu maka kau sontak roboh dan merasa tenggelam. Padahal surga aku ciptakan bukan untuk manusia yang semata-mata mengejar atau dikejar cinta, melainkan untuk mereka yang tegar dalam badai guna bersiap dijemput malaikat menuju keabadian yang sangat indah.”

“Maafkan aku, Tuhan.”

“Ya, nak, kau boleh pulang sekarang, dan siramilah bunga-bunga di bawah kusen jendelamu. Belajarlah pada kupu-kupu. Akan kau temukan saat-saat indah ketika kau melayang-layang di udara dengan senyum yang senantiasa terkembang .. “

BERCINTA DENGAN SERIGALA


BANYAK yang menuduh saya porno karena menggunakan judul “Bercinta dengan Serigala” untuk blog ini. Seorang kawan di Batam malah ekstrem bertanya: “Wah, blog cabul ya Mas?”

Baik, mari saya beri sedikit gambaran tentang ini. “Bercinta dengan Serigala” sejatinya adalah salah satu judul cerpen saya yang dimuat di sebuah harian di Jakarta, kisaran Agustus 2004. Perkaranya adalah, mengapa harus itu judul blog ini? Mengapa tidak yang lain, yang lebih ‘santun’? Mengapa harus ‘bercinta’? Bukankah banyak ungkapan dan istilah yang puitis dan keren?

Menurut saya, “Bercinta dengan Serigala” cukup keren. Pertama, orang segera terangsang untuk menduga-duga, “Wah, ini pasti situs porno!” Rasa penasaran merupakan elemen penting bagi (calon) pembaca (suratkabar, majalah, tabloid, situs, etc) guna berinteraksi dengan media yang menyedotnya untuk membaca.

Kedua, “bercinta dengan serigala” sesungguhnya adalah kiasan. Asal tahu saja, serigala adalah hewan buas bin kejam. Ia sanggup mencabik-cabik daging dengan gigi taring. Ia melolong di tengah malam, membuat berdiri bulu kuduk.

Serigala adalah gambaran masyarakat terkini yang sadis, main pukul, suka membakar rumah, memecahi kaca kampus, menempeleng istri, mencincang keponakan, memperkosa ipar, mencuri duit rakyat, menyekutukan Tuhan!

So, deretan huruf-huruf dalam blog “Bercinta dengan Serigala” boleh saja dianggap cermin, onggokan fakta, kejujuran, gelinjang hati, atau visualisasi peradaban sekarang guna menumbuhkan sikap awas dan was-was.

2 Apr 2008

TITIP RINDU BUAT BAPAK


TADI malam saya merasa malu pada Ravenska dan Rivenski Atwinda Difa, serta Syavergio Avia Difaputra. Mengapa? Apa sebabnya?

Ketiganya adalah putra-putri Fariz RM. Saya mengenal mereka? Tidak. Hanya sang ayah, Fariz itu, yang sangat saya kenal. Saya pernah mewawancarainya ketika ia konser di Semarang, awal 90-an. Saya juga mengikuti perkembangan asmaranya dengan Oneng Diana Riyadini, istri yang memberinya tiga anak cantik-cantik dan ganteng itu.

Sewaktu kuliah, di kamar kos saya kerap menyetel Barcelona dan Sundown at Midnight, dua lagu penuh aroma sintesiser yang menyayat dan membahana. Lagu Sakura juga masih sering saya tuang ke kuping tatkala saya sudah beranak pinak sekarang ini.

Saya juga pernah ‘mencuri’ Rustam Munaf (kepanjangan dari RM, nama belakang Fariz) pada saat pertama-tama saya menulis di suratkabar, supaya “Arief Rustam Munaf” tampak keren. Akhirnya “RM” di belakang nama saya itu saya gusur lebih karena saya muak karena mendompleng popularitas Fariz (untuk itu, saya mohon maaf, Mas Fariz).

Kembali ke Ravenska, Rivenski, dan Syavergio. Kenapa saya malu kepada mereka, sebab ketiganya adalah anak-anak yang patut diteladani. Pernyataannya dalam acara "Empat Mata" edisi Selasa (1/4) tadi malam, seakan meledek saya.

Dalam perbincangannya dengan Tukul, tiga anak yang beranjak ABG ini mengatakan: “Biarpun dipenjara karena narkoba, Ayah tetaplah idola kami. Ayah tetap bapak yang memberi teladan, karena ia adalah guru dan sahabat paling dekat. Kami bangga pada Ayah … “

Terus terang saya menitikkan airmata. Saya pernah membenci Bapak karena menikah lagi, beberapa tahun setelah Ibu wafat. Dalam batin saya, buat apa kawin untuk yang kedua kalau Bapak masih menyisakan cintanya pada Ibu? Buat apa menikah lagi jika Ibu menanam cinta yang kekal kendati telah kehilangan nyawa?

Karena kebencian itu, saya pernah tidak sungkem pada Bapak di tiga kali Lebaran. Saya tak mau bersalaman dengan orang yang mengkhianati Ibu!

Tetapi dalam beberapa tahun terakhir saya menyadari satu hal bahwa kebencian itu tidak ada maknanya. Tak ada satu pun agama yang mengajarkan kebencian. Ibu – yang lulusan sebuah pondok pesantren di Jawa Timur – pernah menyelipkan satu ajaran yang sampai sekarang masih pada tahap hendak saya lakukan, ketika beliau mengajari kami, anak-anaknya, mengaji. Beliau pernah bilang: “Nak, berikan pipi kirimu setelah pipi kananmu ditempeleng orang.”

Saya juga menyadari bahwa usia Bapak masih produktif, masih punya kebutuhan biologis yang tak bisa ditunda. Bapak perlu mendapat sentuhan perempuan karena keempat anaknya sudah berumahtangga. Ia pastilah kesepian berada sendiri dalam rumah, siang maupun malam. Dan bukankah saya adalah sperma Bapak? Bukankah Bapak adalah sosok yang sering tersengal-sengal ketika pulang subuh atau dinihari setelah ke luar kota untuk mencari nafkah? Waktu kecil saya yang membukakan pintu untuknya di tengah malam, dan mendapatkannya basah kuyub dengan napas satu-satu ...

Akhir-akhir ini Bapak diserang gula. Tubuhnya kurus, gairah hidupnya meredup. Itu mengapa ketika terdengar lagu-lagu macam Yang Terbaik Bagimu (Jangan Lupakan Ayah) milik ADA Band, atau Titip Rindu Buat Ayah yang dilantunkan Ebiet G Ade, saya suka terisak-isak di sudut kamar.

Sebulan sekali, belakangan ini, Bapak menelepon untuk satu hal yang membuat saya bergegas ke BNI. Bunyi telepon itu: “Rief, tolong kirimi Bapak 300 ribu saja, untuk beli obat … “