Search

23 Feb 2008

PESAN DARI SURGA


SECARIK kertas yang tidak menarik. Ia digantung di sudut monitor komputer Ulie dengan rekat solasi. Ulie tadinya tak peduli. Pagi hari selalu ia temui kertas-kertas kecil berserakan di sekujur meja, atau di komputer. Pesan-pesan ringan, atau setengah berat, dari rekan-rekannya. Baru setelah menyalakan CPU, Ulie biasanya mulai membaca satu persatu pesan itu.

Tetapi kertas mungil warna pink ini melambai kecil. Bukan oleh hembusan AC, karena AC ada di sudut lain lantai 3 ini. Sebentar Ulie takjub. Ia mengulurkan lengan, merenggut memo itu dari tempat asal. Sederet tulisan tangan, tapi ini lebih halus dan tegas dibanding biasanya. Puisi? Siapa pagi-pagi menebar pesona? Ah, bukan. Ini lebih mirip pesan!

“.. danau diciptakan untuk siapapun yang ingin mengambang di atas bening airnya, seperti angsa yang berkecipak kecil tatkala menyapa kawan-kawannya. tak ada amarah yang disampaikan air terjun, melainkan keindahan atas air yang mengucur deras ke bawah. wahai hujan, berikan payung-payung. wahai mendung, tanamkan rasa percaya bahwa kelam bukan berarti mencekam, gelap bukan membuat mata silap …

Ulie termangu. Kepada siapa pesan ini ditujukan? Untuk apa rangkaian kata itu ditaruh di komputernya? Siapa? Ini tulisan siapa?

***

WINA mendengus. Hitungan uang selisih. Tak seperti biasa ini terjadi. Diam-diam ia melirik pintu ruang di sudut lain lantai ini melalui kaca loket di sisinya. “Bu Mawa bisa marah kalau begini. Di mana letak kesalahanku, ya? Ah, aku harus menghitung ulang sebelum melaporkan pengeluaran,” bisik hati Wina risau.

Lalu ia memencet tombol CPU. Kemudian tombol serupa di monitornya. Sejenak layar menayangkan logo Window XP. Tetapi berikutnya di monitor 14 inci itu muncul rangkaian kata dengan huruf-huruf tegas. Wina terperangah, tapi menyimaknya dengan seksama.

“ … mengapa harus kau keluarkan energi sia-sia, anakku? mengapa kau tumbuk merica ke segenap auramu kalau kau tahu akibatnya, yakni membuatmu menjadi pedas dan pedih di mata orang lain? telah aku berikan tanda-tanda. telah aku katakan kepadamu bahwa kau akan dilindungi peri kalau tak kau butakan mata. kau akan menjadi bidadari kalau kau terangi sendiri hati. aku menyayangimu, anakku, aku tak lekang mengajarimu makna cinta … “

Angin berkesiur lembut, menarik mata Wina untuk menerobos keluar melalui kaca, mengirimkan sebait puisi rindu ke kelopak mata Ulie yang pada saat bersamaan juga mendadak sangat ingin menatap Wina …

21 Feb 2008

WAGE


JANTUNG saya serasa dibetot. Saya amati dengan seksama foto pria berkacamata yang sedang menatap kamera dengan kedua tangannya menggenggam sepatu itu. Koran Radar Semarang di jemari saya pun rasanya mau merosot.

Wage? Wage Teguh Wijono yang dulu garang itu? Benar adanya! Dialah Wage!

Tetapi mengapa berkutat dengan sepatu? Mengapa wajahnya tampak begitu tua? Mengapa ia berganti nama menjadi “Lek Wage”? Paparan dalam berita di koran itu mengabarkan duduk perkara: Wage sekarang menjadi tukang sol sepatu di kawasan Jatingaleh, Semarang!

Lima belas tahun lalu, Wage sekamar dengan saya di Sanggar Aktor Studio, milik Mas Djawahir Muhammad, salah satu seniman di Semarang. Sanggar yang tak hanya memproduk para pemain teater, melainkan juga kumpulan para pelukis, penyair, penulis, bahkan tukang becak boleh numpang tidur.

Dalam keseharian, Wage bicara ceplas-ceplos dan idealis, seolah dunia ini enteng di tangannya. Ia mengobrolkan WS Rendra hingga Sitok Srengenge. Ketika bicara tentang kesenian, ia fasih melontarkan istilah-istilah susastera. Beberap kali ia saya pergoki pagi-pagi merentangkan tangannya seraya menghadap matahari, seakan ia hirup energi alam semesta.

Karena saya masih hijau, ada beberapa hal yang saya adopsi dari Wage, umpama sikap pedenya menghadapi apapun. Ia juga secara tak langsung mengajari saya untuk kuat, meski waktu itu saya sangat marah tatkala ditugasi mengepel lantai. Sampai usia belasan, saya tak pernah mengepel. Hidup saya cukup borju untuk ukuran kampung, karena bapak adalah carik di sebuah desa di Demak sana.

Setelah sekian tahun tak terdengar kabarnya, tahu-tahu pagi-pagi saya membaca ulasan mengenai Wage, dengan sorot mata optimis ketika mengelus sol sepatu,
untuk menghidupi tiga anak serta satu istrinya!

!

14 Feb 2008

INGIN 'PULANG' KE MASA SILAM


DI kantor, tatkala ‘adik-adik’ saya sibuk dengan Ungu, Repvblik, atau Kangen Band, saya cuek saja nyetel lagu Bimbang atau Rela Andi Meriem Matalatta. Terkadang bahkan Jujur, milik Bram Moersas itu.

“Lagu apaan tuh, Mas?” Tanya seseorang di antara mereka keheranan, suatu ketika.

Jujur.” Jawab saya pendek seraya menyunting naskah.

“Radja itu ya? Kok suara penyanyinya beda?”

Saya tatap dia setengah kesal. “Radja yang sekarang itu pakai judul Jujur dengan menjiplak Bram Moersas tahun 1989! Jujur yang asli itu ciptaan RH Bramantio, waktu kamu mungkin masih SD!” Dia pun manggut-manggut, entah mengerti entah enggak, lalu berlalu dari meja saya dengan muka takut-takut.

Tiba-tiba pikiran saya mengembara. Tahun 1988, semasa SMA, saya kos di Wijaya Kusuma II. Itu nama perumahan di belakang SMA 1 Demak, sekolah saya. Sore saat menyeterika seragam, radio kami setel kencang-kencang. Sebuah radio mungil, yang sekarang mungkin tak lagi bisa dijumpai di toko elektronik. Lagunya? Jujur (Bram Moersas), Catatan si Boy (Ikang Fawzi), Seandainya Kita Selalu Satu (Harvey Malahiholo), dan semacamnya.

Meski era 80-an itu memberi kandungan kenangan yang luar biasa bagi saya (jatuh cinta dengan teman sekelas, meledek kawan yang ngebet guru Prancis, menyaksikan teman berkelahi karena rebutan cewek), namun saya tetap mengapresiasi generasi sekarang dengan romantismenya sendiri.

Jujur saja, di laptop saya ada daftar lagu Samsons, Tangga, Padi, Nidji, Naff, atau Letto. Tetapi penyanyi yang masih sanggup menyentuh relung paling jauh hati saya terus terang KLA Project, Tika Bisono, Iwan Fals, Andi Meriem, Bram Moersas, Trie Utami, 2D, atau Paramitha Rusady!

9 Feb 2008

PARAMITHA RUSADY


PARAMITHA RUSADY menurut saya salah satu perempuan cantik di Indonesia. Suaranya mendesah, seolah terlunta-lunta, sebanding dengan wajahnya yang tampak ringkih dan patut dilindungi. Nyaris tak ada beda saat ia menangis atau tertawa, karena keduanya sama-sama memelas.

Semasa SMP, saya pernah naksir cewek, namanya Ana. Ia termasuk kembang kelas, tapi saya minder karena saya ndeso dan belum akil baliq, ditambah pula Ana itu anak kapolsek.

Saat perpisahan menjelang lulus, Ana menyanyi di panggung. Suaranya enak didengar dan menakjubkan. Lagunya Nostalgia SMA yang waktu itu amat populer. Kasetnya laku keras. Penyanyi aslinya? Paramitha Rusady.

Saya tak pernah berhenti mengenang Ana gara-gara lagu ini. Seakan sudah diatur, Ana sekampus dengan saya. Sekian tahun tak bertemu, penilaian saya terhadapnya berubah. Ia tak lagi lugu. Di kampus ia pakai lipstik menyala. Alisnya ditekuk. Sepatunya hak tinggi. Tasnya bukan tas kuliah, melainkan tas plesir, entah apa isinya. Barangkali di kandungan tas itu tak hanya ada buku dan diktat, melainkan ‘perkakas’ lain yang membuat saya merinding.

Saya tetap menghargainya sebagai teman, tapi cinta saya kandas. Namun Paramitha Rusady tetap ayu di mata saya!

[Thanks untuk radio yang pagi tadi mengudarakan Merpati Tak Pernah Ingkar Janji, salah satu lagu populer Paramitha, saat saya merayap dalam mendung dan macet, menuju kantor]

7 Feb 2008

TIKUS


SEOLAH sudah diatur, saat Imlek yang berlambang shio tikus jatuh pada Kamis (07/02/08), rumah saya juga kebanjiran tikus.

Tadinya saya tak mengira lubang kecil di kusen pintu kamar mandi itu biang keladinya. Cuma kira-kira berdiameter 10 cm dan letaknya tak terlalu menyolok karena di bagian bawah kusen. Tetapi ternyata inilah akses utama rombongan tikus masuk ke rumah.

Mereka menerobos terowongan lewat got depan rumah, meliuk-liuk pralon, lalu menemukan lubang menuju kamar mandi yang (bodohnya) saya biarkan menganga tanpa saringan. Dari kamar mandi, mereka menyusup ke dalam rumah melalui lubang di kusen itu.

Kemudian mereka mengendap-endap menuju ‘persinggahan’ masing-masing. Ada yang nangkring di belakang lemari lewat pigura foto yang saya geletakkan di sana, di bawah lemari dapur, meringkuk di dekat tabung gas, bahkan, kurang ajarnya, sebagian bobo di tumpukan piring dalam lemari lewat lubang yang mereka kerat seraya buang hajat di sana! Bangsat!

Tentu saya marah. Sudah berisik malam-malam mereka mengerat papan, tahinya juga menebar aroma busuk!

Terus terang saya bingung bagaimana cara membunuh mereka. Dijebak? Diracun? Dihalau dengan linggis? Atau sekadar dikagetkan dengan menggedor pintu lemari ketika mereka mengerat?

***

Di tengah amarah, saya lari ke internet. Mencoba menggali sesuatu mengenai tikus. Siapa tahu saya mendapatkan beberapa alasan untuk memberi maaf kepada tikus-tikus ini.

Dari Sciencedailiy.com saya menemukan sejumlah hal yang sedikit menekan amarah saya pada tikus. Sedikit! Tolong dicatat: saya hanya sedikit memaafkan mereka.

Di sela sikap memusuhi tikus oleh masyarakat, para ilmuwan justru menyanjung binatang ini, seperti halnya Dr Kristina Kalivoda dari Universitas Texas A&M, yang menyebut tikus sebagai binatang yang sangat pintar, dan bahkan bisa jadi binatang peliharaan yang menyenangkan. Sial!

Ada beberapa fakta unik yang mungkin tak banyak diketahui tentang tikus ini, karena mayoritas orang lebih suka melabeli tikus dengan binatang menjijikkan. Menurut Kalivoda, tikus adalah hewan pintar dan memiliki banyak keunikan, seperti:

1. Memiliki rentang hidup antara 1-3 tahun
2. Tidak memiliki kantung empedu
3. Tidak bisa muntah
4. Tikus juga dikenal sebagai binatang yang produktif untuk urusan beranak. Sepanjang hidupnya, mereka bisa beranak 15 ribu ekor dan bisa dibilang tikus betina menghabiskan sepanjang hidupnya hanya untuk hamil dan beranak
5. Tikus memiliki gigi yang menakjubkan, tak salah jika tikus dijuluki binatang pengerat bergigi paling tajam
6. Tikus juga memiliki beragam warna, ada yang hitam, abu-abu, pirang, perak, dan albino, entah itu yang bertelinga pendek atau panjang
7. Tikus paling besar hidup di Afrika, tingginya bisa mencapai 3 kaki (91,44 cm) atau hampir setinggi anjing kecil
8. Tikus juga dikenal sebagai perenang tangguh
9. Tikus dikenal sebagai binatang ekspresif, yang tertawa atau mencicit saat mereka bingung
10. Tikus adalah hewan favorit para ilmuwan sebagai objek penelitian mereka

"Tikus itu binatang yang cerdik dan pintar. Mereka juga memiliki kemampuan menyelesaikan masalah. Jika Anda meletakkannya di dalam sebuah labirin, ia akan menemukan jalan keluarnya dengan cepat. Tikus termasuk hewan sosial dan bisa jadi sangat jinak, dapat dilatih, dan melakukan banyak trik sulit, yang belum tentu bisa dilakukan binatang lain," jelas Kalivoda.

Itu hanya sekilas info biologis tentang tikus. Lalu bagaimana pandangan tikus itu sendiri dalam kaca mata astrologi China? Seperti dilansir Chiff.com, bagaikan tikus, tahun ini mayoritas orang akan disibukkan dengan tujuan pribadi dan ambisi yang belum tercapai di tahun lalu. Maklum tikus sendiri dianggap sebagai simbol kerja keras dalam astrologi China.

Dan bagi mereka yang lahir di tahun tikus (1912, 1924, 1936, 1948, 1960, 1972, 1984, 1996), tahun tikus ini bisa jadi tahun penuh hoki, entah dalam kehidupan personal maupun profesional, kesempatan bagus terbuka lebar. Meski beberapa kesialan juga mengikuti mereka yang bershio tikus, karena kecenderungan berspekulasi nekat.

Persetan! Saya tetap benci tikus!





6 Feb 2008

DHANI


APA yang istimewa dari Dhani? Lirik dan melodinya puitis. Ia juga pintar mempengaruhi orang lewat diplomasi 'preman'-nya.

Tahun 1992, ketika DEWA konser untuk pertama di Semarang, di lapangan Tri Lomba Juang, saya bergetar. Tentu itu getaran yang jujur, pasalnya saya masih ingusan dan lugu. Menjadi wartawan freelance pun semata untuk mencari uang buat bayar kos.

Lengking senar Andra, jerit Ari Lasso, dan aksi Dhani yang macho, menciptakan histeria massa. Para ABG memiliki idola baru. Saya juga. Mendadak saya jatuh cinta, terlebih usai konser itu mereka mau-maunya difoto dengan backdrop DEWA yang saya copot dari background panggung.

Tahun 2002 saya kos di Yogya, saat saya bekerja di Grup Kedaulatan Rakyat. Anas, teman yang saya kosi, kebetulan Baladewa (sebutan untuk fans DEWA). Maka terjadilah interaksi sharring. Kami mendiskusikan lirik hingga tabiat Dhani yang keras dan tanpa kompromi. Sejauh itu, saya masih cinta DEWA. Lagu-lagunya masih kerap saya stel di kamar, terutama menjelang tidur.

Sampai akhirnya DEWA kesandung masalah, April 2005. Dalam konser "Laskar Cinta" di Trans TV, mereka beraksi di atas karpet motif kaligrafi yang bertuliskan "Allah" dalam bentuk bintang.

Reaksi dari para ulama membuat heboh, melebihi geger "Arjuna Mencari Cinta" yang diprotes penulis novel Yudhistira AM Massardi itu.

Dhani mulai dikenal sebagai pria keras kepala sewaktu ia berkomentar enteng mengenai protes-protes dan komplain itu. Di corong infotainmen, ia begitu innocent, begitu tanpa dosa. Seolah dunia dan seisinya sudah ia genggam dalam tangan. Banyak kalangan menilainya arogan, kemlinthi, sok gentle, bergaya menteri, sampai ada yang merutuknya dengan label playboy.

Label terakhir itu mulai gencar merebak saat ia bermasalah dengan Maia, istrinya, dan ditingkahi pula kabar mengenai keterlibatan asmara antara dia dengan Mulan Kwok (belakangan namanya diubah menjadi Mulan Jameela).

Perseteruan Dhani-Maia mendongkrak kembali popularitas program infotainmen di hampir seluruh televisi di negeri ini. Orang menunggu-nunggu kabar lanjutan. Masyarakat tak segan mengeraskan volume TV hanya untuk mendengar komentar Dhani, atau sekadar menyimak kisah tentang kamar tidurnya, dimana ia di sana sedang bergulingan dengan ketiga anaknya menjelang konser tahun baru 2008!

Dhani memang layak jual. Sebab itu ia tak henti membangun sensasi. Bayangkan andaikata tiba-tiba tak lagi terdengar kabar tentang dirinya, apakah manajemen "Republik Cinta" bakal bertahan hidup?

Dhani adalah satu di antara sederet orang fenomenal di negara ini. Ia butuh makan dan memakani anak. Ia perlu mengumpulkan deposito untuk hari tua. Ia harus memenuhi targetnya, sehingga jika nanti generasi telah berganti sehingga anak-cucu kita tak lagi mengenal DEWA, ia cukup mendirikan perusahaan rekaman atau menyewakan alat-alat band, seraya melamun di beranda.

Dhani itu manusia biasa. Kita cukup tersenyum saja ketika ia berkomentar di televisi. Tak perlu diambil hati, apalagi membencinya. Perkara mau beli CD DEWA atau tidak, terserah Anda.

Terus terang belakangan saya tak lagi mengoleksi album-albumnya ...

5 Feb 2008

DUNIA SEMPIT


DUNIA tak selebar daun pintu. Di bandara, Minggu (3/1) pagi lalu, saya bertemu teman kuliah. Namanya Joko. Ia tampak asyik dengan laptop putih susu di pangkuannya, di sebuah sudut ruang tunggu Cengkareng. Tadinya saya ragu, apa benar itu Joko. Sampai kemudian ketika kami sudah memasuki kabin Sriwijaya Air, senyumnya yang mengembang memupus keraguan saya.

Sepuluh tahun tak bertemu mengubah segalanya. Tubuhnya tampak gemuk. Ia juga terbelalak melihat saya lebih tambun. Saya merasa berdosa ketika bertanya soal rumah tangganya. Tadinya saya berharap mendapat jawaban standar, misalnya: "Baik-baik saja. Anak-anakku mulai besar. Istriku masih bekerja di perusahaan lama." Kebetulan saya kenal istrinya. Ternyata, mereka telah .. cerai!

Tak sekali ini fakta membuktikan bahwa dunia itu sempit. Di Seoul, tahun 1999, saya tak menduga bertemu tetangga di Demak sana. Ketemuanya sepele. Saya sedang jalan-jalan di Dong Daemun (semacam toserba, letaknya di bawah tanah jalan protokol Seoul), memilih-milih wallpaper, senter, dan barang-barang unik yang tak ada di negeri ini.

Saat menimang-nimang speaker active bermotif bola di sebuah gerai, seseorang tiba-tiba mengomentari, "Yang itu bagus, Mas. Saya jamin di Indonesia tak ada." Saya menoleh. Mendapati wajah Jawa yang rasa-rasanya tak asing. Saya hanya manggut-manggut, dan segera membayar.

Tak lama kami akrab. Merasa ada orang senegara, saya menguntit langkahnya, dan tiba-tiba merasa aman. Tibalah waktunya bertutur asal-usul. Namanya Syaiful. Ia mengaku kelahiran Demak. Saya terkejut. "Demaknya mana?" Kejar saya.

"Wonosalam, Mas, desanya Getas," katanya, enteng banget, seakan tak menghormati kekakegatan saya.

"Ah, yang bener! Kamu Syaiful anaknya Lik Mardi, rumahnya deket SD itu?" Ujar saya membabi buta.

Gantian ia yang tampak terperanjat. "Loh, kok tahu, Mas? Ini Mas Arief anaknya Pak Carik ya?" Serunya senang. Kami pun segera bereuni, karena ia adik kelas saya sewaktu SD.

Tak perlu saya kisahkan 'nasib' Syaiful yang 'tersesat' di Korea, menjadi TKI selepas SMA. Tak perlu pula saya ceritakan kemana saja kami menghabiskan waktu selama perjumpaan di Seoul itu, di sela tugas jurnalistik saya. Yang ingin saya tandaskan, dunia memang sempit!


 

4 Feb 2008

WE ARE THE WORLD



PAGI masih menggeliat dari peraduan, ketika tangan saya mendadak tergerak untuk menyusuri folder Sweet Memories di laptop. Entah, tiba-tiba saya mual dengan Ari Lasso, NAFF, atau DEWA. Ingin lagu yang benar-benar menyentak spirit! Pokoknya jangan sekadar Akhirnya Kumenemukanmu punyanya NAFF itu, atau Hitam Putih-nya DEWA. Jangan! Jangan yang cengeng! Tapi lagu yang bener-bener LAGU!

Maka, ketemulah We Are the World dari deretan lagu sweet memories. Ups! Bukankah ini lagu semasa aku di SMP. Bukankah lagu ini yang pernah membuatku menangis karena dikabarkan bahwa We Are the World diciptakan untuk membantu warga Afrika yang kelaparan?

Adalah USA for Africa (United Support of Artists for Africa). Ini nama kelompok artis terkenal dari Amerika Serikat di bawah pimpinan Harry Belafonte, Kenny Rogers, Michael Jackson, dan Lionel Richie. Mereka merekam singel hit We Are the World di tahun 1985. Lagu ini berhasil menjadi hit di AS dan Britania pada bulan April 1985.

Keuntungan dari penjualan singel ini diberikan kepada USA for Africa Foundation untuk penanggulangan kelaparan dan penyakit di Afrika. Rekaman pertunjukan live kelompok ini disertakan dalam set DVD Live Aid yang dirilis tanggal 8 November 2004.

We Are the World ditulis Michael Jackson bersama Lionel Richie, dan direkam 28 Januari 1985 dengan Quincy Jones sebagai produser. Pada awalnya, proyek ini diberi nama United Support of Artists agar memiliki singkatan "USA", tapi akhirnya dinamakan USA for Africa. Lagu dirilis tanggal 8 Maret 1985 dan berhasil menduduki puncak tangga lagu di banyak negara di dunia.

Tahun 2004 terbit DVD ulang tahun ke-20 tahun "We Are The World" yang diberi judul “We Are The World The Story Behind the Song”. DVD ini berisi berisi dokumentasi rekaman lagu We Are the World.


Inilah daftar panjang Band AID yang membuat dunia berlinang airmata itu:
Dan Aykroyd (satu-satunya orang Kanada sekaligus salah satu dari 2 orang peserta yang bukan orang Amerika), Harry Belafonte, Lindsey Buckingham, Kim Carnes, Ray Charles, Mario Cipollina (Huey Lewis & The News), Johnny Colla (Huey Lewis & The News), Bob Dylan, Sheila E., Bob Geldof (satu-satunya orang Irlandia sekaligus salah satu dari 2 orang peserta yang bukan orang Amerika), Bill Gibson (Huey Lewis & The News), Hall & Oates, Sean Hopper (Huey Lewis & The News), James Ingram, Jermaine Jackson, Jackie Jackson, LaToya Jackson, Marlon Jackson, Michael Jackson, Randy Jackson, Tito Jackson, Al Jarreau, Waylon Jennings, Billy, Joel, Cyndi Lauper, Huey Lewis, Kenny Loggins, Bette Midler, Willie Nelson, Jeffrey Osborne, Steve Perry, The Pointer Sisters, Kenny Rogers, Diana Ross, Lionel Richie, Smokey Robinson, Paul Simon, Bruce Springsteen, Tina Turner, Dionne Warwick, Stevie Wonder.


Dan inilah liriknya:

There comes a time when we hear a certain call
When the world must come together as one
There are people dying
and its time to lend a hand to life
There greatest gift of all

We cant go on pretending day by day
That someone, somewhere will soon make a change
We are all a part of Gods great big family
And the truth, you know,
Love is all we need

We are the world, we are the children
We are the ones who make a brighter day
So lets start giving
Theres a choice we're making
We're saving out own lives
its true we'll make a better day
Just you and me

Send them your heart so they'll know that someone cares
And their lives will be stronger and free
As God has shown us by turning stones to bread
So we all must lend a helping hand

We are the world, we are the children
We are the ones who make a brighter day
So lets start giving
Theres a choice we're making
We're saving out own lives
its true we'll make a better day
Just you and me

When you're down and out, there seems no hope at all
But if you just believe theres no way we can fall
Let us realize that a change can only come
When we stand together as one

We are the world, we are the children
We are the ones who make a brighter day
So lets start giving
Theres a choice we're making
We're saving out own lives
its true we'll make a better day
Just you and me


(dan, lagi-lagi, saya tersedu … )

SINETRON


Tabung televisi sungguh dahsyat untuk pelipur lara. Seorang pengangguran (yang 5 tahun tak kunjung mendapat pekerjaan sejak ia lulus D3 akuntansi) mengaku begini kepada saya suatu ketika: untuk mengobati kecemasan, ia betah duduk seharian di depan TV, sampai hapal judul sinetron plus bintangnya.

Beberapa tetangga tampak sering berkerumun hampir setiap sore, berdebat soal episode terakhir sebuah sinetron. Sesekali di antara mereka ngotot mempertahankan pendapatnya perihal kelanjutan sinetron tersebut, dengan mimik muka meyakinkan, seolah dialah penulis skenarionya. "Kasih itu bakal senang di akhir cerita. Dia emang nelangsa, dipermainkan nasib, disia-siakan. Tapi kalian masak ngga percaya ia akan bahagia?" Ujarnya berapi-api, tentang sinetron "Kasih" di RCTI yang dibintangi Nabila Syakieb itu.

Bahwa sinetron menyalahi logika, kisahnya diulur-ulur, pamer glamour, karakter pemainnya nggak jelas, kisahnya melulu selingkuh, rebutan warisan, cinta monyet anak-anak SMP, itu sudah klise. Saking klisenya kritik, sampai-sampai para sineas tak lagi punya pembelaan (atau bahkan malah mereka merasa tak perlu lagi membela karena nyata-nyata sinetronnya digemari).

Perkara yang patut dicermati adalah sikap meniru para pecandunya terhadap sifat-sifat tokoh dalam sinetron. Sikap meniru (imitation stage) sesungguhnya adalah salah satu tahap dari tiga tahapan anak-anak menuju ke remaja. Seingat saya, imitation stage adalah tahap dimana manusia masih benar-benar meniru–terkadang sama persis–orang yang berada di sekitarnya. Bisa ayah, ibu, kakak, kakek, bisa juga teman atau siapa pun. Saat menjalani tahap ini manusia berada pada usia, kurang lebih, balita. Tahapan lain ialah play stage (SD) dan game stage
(SD-SMP).

Nah, jangan heran sekarang ini perempuan (makin) berani dengan suami, ABG bergaya borju, anak-anak tak segan menempeleng teman, bahkan bapaknya, dan banyak lagi pergeseran nilai-nilai.

Sinetron memang tidak sendiri. Banyak tayangan lain televisi yang rese, yang mengerutkan dahi nenek saya lantaran para muda berani kurang ajar pada yang tua. Namun, sinetron menempati ranking pertama perubahan gila ini, sebab ia menjadi kekuatan televisi negeri ini untuk mendongkrak iklan. "Kami memang mendudukkan sinetron sebagai tayangan unggulan," kata seorang staf marketing SCTV, beberapa waktu lalu, di Semarang. Olala!



 


 

2 Feb 2008

IKLAN


Iklan dulu sopan, tapi cara penyampaiannya begitu sederhana. Seolah calon konsumen itu ibu-ibu katrok yang tak perlu bertele-tele saat menyapanya. Itu jaman negeri ini hanya punya TVRI.

Kini, iklan digelar dengan bahasa kiasan (macam Sampoerna di baliho-baliho itu), atau pengungkapan yang blak-blakan namun dibungkus efek-efek bagus di televisi.

Pemirsa televisi sekarang ini kritis. Mereka sudah bisa membedakan mana iklan megah, mana iklan kacangan. Iklan-iklan shampo maupun sabun (mandi atau cuci) rata-rata menganggap bodoh pemirsa (atau malah membodohi?).

Farhan menuturkan betapa dahsyatnya sabun deterjen dengan bahasa paling sederhana dan 'narsis'. Krisna Mukti setali tiga uang. Naskah iklannya begitu jelek, sehingga kentara bahwa sabun yang ia iklankan memang hanya untuk ditonton kaum ibu yang (dianggap) bebal!

Iklan shampo lain lagi. Banyak berjejal istilah istilah asing macam cocoba, acid, volumizing, dsb, seolah semua kuping konsumen itu borju dan terpelajar. Perempuan di ujung pulau, atau di pelosok pedesaan ngertinya cuma shampo kemasan plastik kecil seharga Rp 500-an!

Shampo dan sabun tidak sendiri. Motor dan mobil (yang segmentasinya menengah ke atas) juga berlarian di sekitar pamer suspensi atau daya kencang yang sanggup merobek baju pengendaranya. Penonton dirayu dengan kedahsyatan yang kelewat batas, sampai-sampai tak ada penghargaan terhadap nalar. Begitu telanjang dan blak-blakan, seakan penonton televisi adalah orang-orang bodoh yang kaga pernah 'makan' sekolahan!

Iklan pada dasarnya menyampaikan pesan. Pesan yang dikandung memang punya alasan untuk merayu konsumen untuk membeli. Sebab itu, jika ada penghargaan kepada pariwara, tentu ini untuk menyampaikan kabar bahwa pembikinan iklan pun perlu menghargai seni.

Pada bagian itu, mari kita angkat topi pada iklan-iklan rokok yang rata-rata kreatif, megah, menyita selera, dan menggelitik. Mereka tak perlu mengatakan: "Isaplah Rokok Anu, karena rokok ini membuat Anda sehat!"