Search

27 Apr 2007

INFOTAINMEN


Pagi, siang, malam, masyarakat dibenamkan pada persoalan-persoalan bintang, atau mereka yang mengaku bintang, selebriti, atau setengah selebriti. Pagi, siang, malam, seolah tak ada berita kosong tentang mereka.


Infotainmen merayu remaja dan ibu-ibu untuk tersedu, menitikkan airmata, kecewa, penasaran, kesal, gembira, sekaligus lupa bahwa yang berperkara itu bukan sanak famili, apalagi anak-bini.

Infotainmen yang (konon) mengaduk-aduk perasaan itu sesungguhnyalah alat pengelabuan massal yang digerakkan industri televisi. Dengan demikian, program ini menjadi alat paling efektif untuk sensasionalisasi figur publik dan 'bisa diatur'.
Dalam artian, karena bersifat 'mengikat' (karena ditunjang oleh pengidolaan kepada bintang), maka dimanfaatkan secara semena-mena oleh mereka yang perlu mendongkrak popularitas.

Lihatlah mereka yang keluar masuk Pengadilan Agama. Tengok mereka yang rebutan anak dan hak asuh, coba juga telaah pecat memecat personel grup band, sampai cakar-cakaran antarteman. Warna apa cat kuku mereka, model rambut, hingga isi WC artis pun dipublikasikan. Omong kosong!

Isu dihembuskan tanpa malu-malu. Gosip diletupkan sampai harga diri tak dipedulikan lagi. Yang penting komoditi. Yang penting raihan perhatian. Bintang, atau orang-orang yang mengaku bintang, kelabakan karena tak lagi disiarkan televisi, jarang diberitakan koran maupun tabloid. Padahal mereka mencari nafkah dari sana, atau berharap mengasi rejeki dari pemberitaan kontinyu.

Maria Eva diundang ke banyak talkshow usai kasus video porno. Angel Lelga mendadak mahal sesudah kawin siri dengan Aman Jagau. Padahal, siapa Angel? Siapa Maria Eva?

Mungkin kalau saya artis dan mulai tak dikenal publik lagi (atau pengangguran yang pengin cepet terkenal), jalan yang saya tempuh paling-paling ya infotaimen itu ...

23 Apr 2007

PENALTI


Penalti itu nisbi. Pelanggaran dalam kotak terlarang bisa subyektif, karena hanya berada di bawah rekomendasi wasit dan salah satu asistennya yang terdekat. Itupun sering asisten tak digubris lantaran keputusan mutlak di tangan wasit.

Subyektif, sebab penafsiran tentang pelanggaran bisa bermacam-macam. Tim yang dijatuhi penalti bisa saja memprotes, sebab handsball tak terjadi karena tangan pemain sedang tidak aktif (rapat dengan tubuh) saat tersentuh bola. Protes juga bisa mengucur karena lawan yang diganjal sebenarnyalah pura-pura jatuh, alias diving, sehingga tidak patut mendapat hadiah penalti.

Penalti itu nisbi dan keadilan. Peraturan FIFA tidak selamanya ampuh. Penafsiran bisa hanya akal-akalan wasit untuk kepentingan tertentu. Kalau sudah begitu, buat apa ada tendangan penalti?

PLAGIATOR



Percayalah, rambut pirang hanya tepat di kepala orang-orang bule. Lihatlah di mal, kafe, warnet, atau pusat-pusat kongkow, di sana bertebaran banyak perempuan (muda, setengah muda, setengah baya, hingga berusia senja) menyemir rambutnya warna kuning, merah, atau perak.

Pantaskah? Enakkah dilihat? Tidak! Kulit sawo matang (bahkan hitam), tidak layak memanggul rambut blonde. Bahkan itu juga berlaku untuk kaum hawa kita yang kulitnya putih sekalipun, atau dengan lensa kontak cokelat/biru sekalipun.

Negeri kita sungguh memprihatinkan lantaran benar-benar plagiator. Tindik lidah/bibir/cuping hidung, kawat gigi, tato, kaus kelihatan pusar, celana cut bray, sampai ponsel, adalah daftar panjang kenyataan bahwa orang-orang kita berada dalam kegelapan. Ketika ada gejala baru, gelombang plagiat pun bermunculan. Herannya, mereka pede saja melakukannya.

Pertengahan 90-an, ada istilah KDM, alias 'korban Demi Moore', gara-gara rambut cepak Demi Moore dalam film Ghost. Lalu, wanita-wanita kita ramai-ramai memendekkan rambutnya plus semi poni di sekitar dahi. KDM berlalu, kemudian ada tren-tren baru yang diikuti tanpa kita berkaca, pantas enggak ya saya memakainya?

Percayalah, rambut hitam alami lebih enak dipelototi. Tubuh mulus tanpa tato lebih eksotis. Lidah polos tanpa tindik tidak membuat jijik. Kawat gigi hanya membuat orang ngeri. Kaos standar tak memancing birahi. Celana biasa-biasa saja tak menghilangkan kesegaran. Bicara dengan tutur kata Indonesia justru mempesona.

Mari kita cari jatidiri!

21 Apr 2007

PENYANYI DANGDUT


... Dangdut adalah impian-impian. Mereka menghibur dan butuh pengakun. Betapa rentannya ia tatkala goyangan diartikan sesuatu yang bisa dibeli. Citranya begitu murah, padahal ia perlu beli susu, beras, dan baju.

Penyanyi dangdut merasuk dari kampung ke kampung. Mengamat-amati dengan was-was para pejoget yang teler. Ia dijemput dan diantar, selayaknya dai. Ia menyerahkan kemolekan tubuhnya dalam bungkus hubungan saling menguntungkan: penonton puas, honor diberikan.

Penyanyi dangdut adalah miniatur sakwasangka, tetapi tetap dibutuhkan. Ia tak perlu bikin album atau disiarkan televisi. Ia hanya perlu uang untuk mempertahankan hidup, kendatipun tak sedikit penyanyi yang mengartikan kiprahnya sebagai sarana aktualisasi menuju transaksi lain, transaksi yang memusnahkan norma, sebab dalam benaknya uang adalah berhala dan kesenangan.

Penyanyi dangdut adalah pinggul, suara, uang, dan penisbian tata krama. Tetapi mereka (seharusnya) tetap manusia ...

19 Apr 2007

HANDPHONE


... bukankah kita berselingkuh dengan angin, kasih, tatkala dering telepon membangunkan syaraf kita yang merepih ...

... terkadang kita marah karena hari-hari diperbudak sinyal dan keypad yang menuntun jari-jemari merancang pengkhianatan ...

... kita terjebak dalam udara yang mengambang, menjejalkan teknologi dalam benak yang telah sesak dengan kesombongan ...

18 Apr 2007

IWAN FALS


... hari-hari purnama itu saya lewati di sebuah desa sepi bernama Doreng, Kabupaten Demak. Pagi hari Minggu atau sore di hari-hari biasa, kami (saya, kakak sepupu, sejumlah paklik) menggerombol di pos ronda. Ada gitar yang menemani. Salah satu paklik cukup mahir memetik dawai.

Kami menyanyikan Sumbang, Ambulans Zig-zag, Bung Hatta, Galang Rambu Anarki, Sarjana Muda, Asmara Tak Secengeng yang Kukira, Sore Tugu Pancoran, Damai Kami Sepanjang Hari, Ethiopia, Guru Oemar Bakrie, Jendela Kelas Satu, Kereta Tiba Pukul Berapa, hingga Lonteku.

Hanya Iwan Fals. Ya, kami cuma menyanyikan lagu-lagunya. Mungkin telinga orang-orang lewat dibuat pekak. Mengapa bukan lagu-lagu Rhoma Irama, Elvy, atau Rita Sugiarto? Mengapa gembar-gembor nyanyi lagu-lagu yang asing di kuping? Itu batin mereka waktu itu. Kami cuek karena kami hanya menyukai lagu-lagu Iwan.

Iwan ditempel di tembok kamar salah seorang paklik. Bukan bentuk poster belaka, tetapi bahkan stiker menyolok di pintu. Gitar pun tak luput seru dengan stiker-stiker kecil Iwan. Lebih ekstrem, salah satu paklik lain menulisi pintu bagian dalam WC-nya dengan tulisan 'norak' tetapi jujur: "Iwan Fals". Hanya itu, tak ada kata lain. "Iwan Fals", bagi kami, cukup melukiskan banyak hal, tentang keteladanan, tentang kekaguman, tentang unggun yang tak pernah padam.

Hingga hari ini, tatkala lebih 20 tahun kami meninggalkan purnama desa yang lengang itu, Iwan masih bersemayam. Kami tak lagi sering-sering bertemu, tetapi saya yakin mereka tak mudah menghapus Iwan Fals dari lubuk hati paling dalam, sebagaimana saya masih bersemangat menempelkan poster berukuran besar Iwan Fals di sisi Dhani Dewa, Kikan, Erros, Harry Roesli, Piyu, Azis, pada proyek keroyokan In Collaborations With, di tembok ruang tengah rumah.

Inspirasi dan imajinasi. Kreativitas dan loyalitas. Keyakinan dan keberanian. Prinsip dan inovatif. Temaram dan tenteram. Karya dan cipta. Remuk dan terpuruk. Bangkit dan spirit. Manusia macam apakah kau, Iwan, sehingga saya terisak-isak tiap kali mendengarmu menyanyikan Kesaksian dan Nyanyian Jiwa? ...

9 Apr 2007

KONTLEMPLASI & RELOAD


... Mas Untung Surendro mukim di jalan sederet dengan kantor kami. Jangan pernah berpikiran bahwa meskipun berjarak hanya 100 meteran kami bisa setiap saat bertemu. Maklum, saya punya kesibukan yang sangat padat, sementara Mas Untung pastilah memiliki dunianya sendiri yang menghambat kami untuk berjumpa saban kami inginkan.

Tetapi hambatan kuantitas justru mendongkrak kualitas pertemuan. Setiap bertatap muka, kami langsung in, seolah intrance. Banyak hal kami bicarakan, mulai remeh temeh hingga persoalan berat. Malam, ketika kami biasa bertemu itu, suasana magis menyelimuti. Gempuran lalu lintas padat di depan rumahnya seolah hanya angin lalu yang berkesiur.

Kami melakukan kontemplasi, mempercakapkan bagaimana Tuhan berkehendak, dan bagaimana kita menyeimbangkan diri dalam pusaran alam. Pulang dari sana, hati saya seolah di-reload, terisi kembali dengan hamparan positif sehingga langkah menjadi enteng.

Beruntung sekali saya mengenal Mas Untung ...

1 Apr 2007

BELAJAR DARI KEKALAHAN


... saat duduk di mimbar sarasehan kelompok Suporter SPINK bersama pelatih Persipur Purwodadi Edy Paryono, Februari lalu, benak saya bertanya: "Buat apa sih susah payah jadi suporter? Toh yang digaji besar adalah pemain dan pelatih."

Tetapi bergegas pikiran tadi saya lumat. Suporter adalah pengejawantahan eufiroa yang sesungguhnya, seperti ketika kita bersorak lantaran tetangga memenangi sebuah undian sepeda motor.

Suporter adalah katarsis 'orgasme' atau 'ejakulasi dini' yang diberangkatkan oleh primordialisme dan fanatisme. Kemenangan tim pujaan membuat mereka tidur pulas, sementara jika kalah tak habis-habisnya mereka menggerutu di pos ronda.

Barangkali angka kepuasan yang mereka peroleh melebihi nilai nominal kontrak yang diterima oleh pemain maupun pelatih. Itu mengapa ada sebagian yang melampiaskan kekesalan lewat tawuran. Itu mengapa sebagian dari mereka mengamuk karena terlambat memahami arti sportivitas dan fairplay.

Di mimbar yang sama, saya berulang mengatakan, "Who am I, are something that looked from the mirror!", wajah kita adalah bopeng atau mulus saat terlihat dari cermin. Jangan merusak karena fanatisme, kawan! ...

PELAJARAN DARI KOREA


… terpaan suhu 8 derajad celcius di Kota Suwon, Korsel, 1 September 1999, seolah permadani merah bagi PSIS yang dibekuk tuan rumah Suwon Samsung Bluewings 2-6. Saya membeku, pilu, tetapi bukan saatnya meratapi kekalahan lantaran kasta Suwon memang dua trap di atas Mahesa Jenar.

Partai leg kedua Piala Champions Asia yang dipimpin wasit Chan Siu Kee (China) itu mencatat 6 gol Suwon dicetak oleh Olariou (16), Ji Hyun Chang (20), Park Ku Ha (39), Vitaly (50), Sasha (56), Shin Hong Gi (83). Sedang PSIS membukukan gol melalui Simon Atangana (55) dan Tugiyo (71).


Sepakbola kita, dengan demikian, memang masih tercecer jauh dibanding negara Asia lain macam Korea Selatan. Tahun sebelumnya, PSM di ajang yang sama dilumat 0-12 oleh Suwon.

Pulang dari Korea, saya memperoleh pelajaran berharga mengenai bagaimana menyuguhkan tontonan bermutu, kendatipun World Cup Stadium Suwon, tempat menjamu PSIS yang megah itu, hanya terisi tak lebih seperempat dari kapasitas stadion. Itupun penonton hanyalah bocah-bocah SMP dan SMA setempat. Di negeri ini, stadion kerap tak bisa menampung belasan hingga puluhan ribu suporter. Namun, sepakbola kita seolah terus menerus balita yang jangankan berjalan, merangkak saja masih tertatih-tatih ...